Begini Dalil Penggagas Salat Jumat Virtual
Sejak pemerintah menetapkan PPKM Darurat, sejumlah aktivitas yang dianggap berpotensi menularkan COVID-19 dilarang dilakukan. Salah satunya adalah salat berjemaah di masjid. Termasuk melaksanakan salat Jumat berjemaah.
Namun, atas pelarangan melaksanakan salat berjemaah ini, ada sebagian umat Islam yang tak sreg. Pasalnya, ada yang meyakini apabila tiga kali secara berturut tak melaksanakan salat Jumat secara berjemaah, maka dianggap keluar dari Islam.
Untuk menjembatani kegelisahan tersebut Wawan Gunawan Abdul Wahid, Lc. M.Ag megajukan usulan untuk melaksanakan salat Jumat secara virtual.
"Salat Jumat secara online intinya jemaah sebagai makmum salat Jumat di rumah masing-masing sementara imam dan khatib berada di masjid. Pengajuan usulan ini semata-mata untuk mewadahi keinginan ummat tetap shalat Jumat tetapi dengan cara yang tidak biasa," ujar Wawan.
Terhadap situasi penolakan sebagian kecil umat tersebut di atas Wawan usulkan untuk memilih melaksanakan shalat jumat secara online. Salat jumat secara online intinya jemaah sebagai makmum salat Jumat berada di rumah masing-masing sementara imam dan khathib berada di masjid.
Alasan yang dikedepankan untuk usulan ini adalah: Pertama, memposisikan rumah sebagai masjid dengan merujuk hadis Nabi SAW yang menyebutkan bahwa salah satu keistimewaan yang dianugerahkan Allah kepada Rasulullah adalah menjadikan seluruh tanah suci yang karenanya dapat dijadikan tempat sujud untuk shalat.
Rumah sebagai salah satu entitas yang menempati tanah dapatlah dimasukan kategori tempat sujud itu.
Kedua, alasan analogi pada hukum pelaksanaan akad nikah secara online. Akad nikah adalah peristiwa sakral (mitsaqan ghalizha) yang berkualifikasi ibadah dan disaksikan sekian banyak orang.
Sementara salat Jumat pun peristiwa ibadah yang melibatkan lebih dari satu orang. Ada yang mengatakan bahwa akad nikah itu bukan ibadah itu bidang muamalah. Pandangan ini dianggap bermasalah karena jika akad nikah itu masalah muamalah maka unsur-unsur dalam akad nikah itu bisa diutak-atik. Misalnya wali nikah dan mahar yang menyertai akad.
"Setelah usulan itu di-publish , ternyata ada seorang sahabat yang memberitahu bahwa ide yang diajukan itu sejalan dengan tulisan pikiran seorang faqih dari Maroko yang menuliskan pikirannya enam puluh enam tahun yang lalu dalam karyanya yang berjudul al-Iqna’ bi Shihhati Shalat al-Jumu’ah fil Manzili Khalfal Midzya’ (Menegaskan Keabsahan Shalat Jumat di Rumah [Yang dilaksanakan] di Depan Radio)," kata Wawan.