Begini Cara Kemenpar Menangani Krisis
Selain menggenjot kunjungan wisatawan, Kementerian Pariwisata juga mengantisipasi masalah krisis. Standard yang digunakan adalah UNWTO. Baik untuk krisis yang disebabkan oleh alam ataupun non alam.
Staff Khusus Menteri Pariwisata Bidang Komunikasi dan Media Don Kardono, mengurakan pentingnya masalah ini saat Forum Komunikasi Krisis Kepariwisataan di AOne Hotel, Jakarta.
“Industri pariwisata begitu ringkih dengan krisis. Semua orang sangat terganggu dengan krisis, apalagi pariwisata. Tapi, kita sudah menerapkan standard UNWTO. Bila saat itu terjadi, kita tidak boleh mengundang dan berpromosi untuk mendatangkan wisatawan mancanegara ke Indonesia,” ujarnya.
Dalam Forum Komunikasi yang digelar Biro Hukum dan Komunikasi Publik Kemenpar, Don Kardono mengatakan, pariwisata itu bertumpu pada services. Karena, custumer membutuhkan kenyamanan.
Setiap krisis menimbulkan ketidaknyamanan. Disitulah pentingnya para stakeholder pariwisata, dengan unsur ABCGM (Academician, Business, Community, Government, Media), untuk bisa me-recovery dengan cepat.
“Benchmark ke Thailand dan Singapura. Contohnya, di objek wisata yang ada di Thailand terdapat pembunuhan. Esok harinya tidak ada apa-apa, recovery-nya cepat. Hal itu yang dibutuhkan, PR Thailand dan Singapura sangat baik. Bahkan saat ada konflik politik di sana,” ujarnya.
Dijelaskan Don Kardono, era digital saat ini sangat ampuh untuk menangani krisis. Meski, dunia digital ini ibarat mempunyai dua mata pisau. Di sisi lain sangat menguntungkan, disisi lain sangat mengkhawatirkan.
Digital dari sisi marketing kita memanfaatkan banget. Tetapi dari sisi bencana digital menjadi effort bagi pariwisata. Akan tetapi info tentang krisis ini sangat seksi.
"Para netizen, selalu ingin meng-capture lebih dahulu dan yang pertama untuk meng-upload ke media sosial. Mereka butuh pengakuan. Semakin mereka posting dan viral serta menjadi trending topic mereka semakin senang,” katanya.
Hal itulah yang juga dicari media, lanjut Don Kardono. Untuk itu, media harus bergerak cepat.
"Dari level Teknis, pemerintah harus lebih cepat dari netizen. Jika terlambat dari netizen nantinya bakal banyak sumber berita yang tidak jelas," ujarnya.
Dilevel strategis, Kementerian atau Lembaga terkait harus satu suara. Setiap terjadi krisis harus tetap tenang dan tidak boleh panik. Tenang dalam artian tidak perlu terburu-buru menyampaikan statement ke masyarakat. Serta, menjaga ekosistem pariwisata.
Tidak hanya itu saja, Kemenpar juga menggunakan media sosial untuk merecovery suatu destinasi. Sesuatu yang sudah viral harus dilawan dengan hal yang viral juga.
Contohnya saat erupsi Gunung Agung di Bali. Kemenpar menerjunkan anak-anak GenPI untum memotret serta mengambarkan suasana, serta aktivitas wisatawan di Bali serta memviralkan.
"Sehingga yang mengatakan aman itu, bukan pemerintah saja. Tetapi para wisatawan dan netizen. Sehingga persepsi publik itu berubah," pungkasnya.
Menteri Pariwisata Arief Yahya sependapat. Menurutnya, Kemenpar terus improvement dengan menggunakan standard UNWTO untuk menangani krisis. Sehingga semuanya bisa di-counter secara cepat. Dan tidak memunculkan persepsi lain.
“Kemenpar menggunakan pola dan SOP yang sudah biasa dilakukan oleh UNWTO dalam mengelola Crisis Center. Dan itu sudah diterapkan di Bom Thamrin dulu, juga erupsi Gunung Raung dan Gunung Barujari, Lombok dan yang terakhir Gunung Agung,” ujar Menteri Arief Yahya. (*)