Wayang Indonesia
“CUMA wayang? Cuma bayang-bayang? Lantas yang nyata yang mana? Kamu pikir Indonesia ini nyata? Kamu pikir yang kayak gini ini Indonesia? Kamu pikir Indonesia yang begini ini nyata sebagai Indonesia?”
"Sungguh-sungguhkah kamu mengenal Indonesia, mencintai dan peduli padanya? Bisakah kamu berpikir bahwa bangsa yang seperti ini adalah bangsa Indonesia? Kamu pikir ini adalah manusia Indonesia? Kamu pikir begini ini Garuda?”
“Lho bagaimana sih Mbah ini…”
“Kamu pikir yang begini ini kita? Kamu pikir Indonesia sekonyol ini? Serendah diri ini? Sepengemis ini? Se-tak-cerdas ini? Selemah ini? Semiskin ini? Sehina ini? Segampang ini ditipu daya? Dikooptasi, dikolonisasi, dimobilisasi? Kamu pikir Indonesia lebih memilih makanan daripada pakaian? Kamu pikir Indonesia berkata: “Biarlah aku tak pakai cawat dan celana, asalkan pakai jas. Biarlah aku tak berpakaian, asalkan bisa makan? Biarlah aku tak punya martabat, asal makmur sejahtera”?
“Mbah ini omong apa!”
“Tidak. Dan bukan. Ini bukan Indonesia. Ini bukan bangsa Indonesia. Ini bukan manusia Indonesia. Ini bukan karakter Indonesia! Ini bukan Garuda!”
Sebenarnya saya tidak mendengar kata-kata apapun darinya. Saya juga tidak peduli pada sanggahan atau pertanyaannya. Saya cuma membaca running text.
“Indonesia tidak peduli pada Indonesia. Manusia Indonesia tidak peduli pada manusia Indonesia. Bangsa Indonesia tidak peduli pada bangsa Indonesia. Kita semua tidak peduli pada diri kita, pada siapa kita, pada harga diri kita. Sebab kita hanya mengurusi kepentingan, ambisi, benda-benda, materi, uang, utang-utang. Kita tidak mengerti kebesaran kita, sehingga menjadi benar-benar kerdil”
“Saya tidak mau ikut. Saya tidak gabung. Saya sedang pelan-pelan mencari Indonesia. Tapi saya tidak ngundat-undat. Saya tidak mengutuk. Saya tidak menuding. Saya tidak menikmati kesalahan siapa-siapa. Saya mencari Indonesia…”
Sebenarnya saya juga tidak peduli apa isi running text itu. Saya membacanya saja. Pelan-pelan saya “sinau bareng” bersama Tiga saudara saya dan satu Pancer saya. Juga saya tidak peduli tidak dipahami oleh siapapun saja. Hidup saya bukan untuk dipahami. Hidup saya untuk memahami.
“Prabu Kresna, arsitek perang Bharatayudha, adalah manifestasi peran Batara Wisnu. Anda tahu di sekitar itu ada Dewa Narada, Dewa Bayu dan lain-lain. Dulu orang berijtihad, mencari kawruh rohani, melacak peran-peran di luar dunia yang kasat mata. Puncaknya menemukan ada Sang Maha Penguasa Tunggal yang mereka sebut dengan sejumlah karakter berdasar fungsinya: Sang Hyang Wenang, yang orang Islam menyebutnya Al-Qadir, berdasar informasi dari Tuhan sendiri. Sang Hyang Widhi, Al-Wahid, Sang Hyang Tunggal, Al-Ahad, Gusti Kang Akaryo Jagat, Al-Khaliq dll. Pemeran-pemeran di area rohaniyah itu kemudian diperkenalkan dengan idiom: Allah, Malaikat”
“Sunan Kalijaga melihat bahwa ada wilayah fungsi yang belum di-cover oleh epik Ramayana yang ada Prabu Rama dan Mahabharata dengan pemeran utama Prabu Kresna. Kresna berada pada garis sanad dari Wisnu, Guru sampai Hyang Wenang. Sunan Kalijaga menemukan bahwa ada dialektika peran yang lebih luas, ragam dan dialektis. Maka di dalam sosialisasi Wayang Mahabharata ia menambahkan tokoh Semar, dengan tiga putranya. Yang Gareng dan Petruk diambil dari kaum Jin, untuk menggambarkan peran non-materi. Yang Bagong adalah bayangan Semar sendiri, atau representasi beberapa dimensi yang berasal dari Semar sendiri, atau semacam harapan regenerasi…”
“Aduh Mbah, berat memahaminya”, kata si penanya. Saya tidak sempat menanggapi, karena harus terus memperhatikan dan membacakan running text.
“Semar itu dua dari tiga bersaudara. Yang sulung Mbah Togog, ia menelan dunia berhenti di tenggorokannya. Adik bungsunya Batara Guru menelan bumi sampai keluar dari duburnya. Sedangkan Semar bola bumi berhenti di perutnya. Togog ditugasi oleh Sang Hyang Wenang untuk memuntahkan kejahatan, sehingga selama di bumi ia mengawal tokoh-tokoh durhaka dan korup. Batara Guru steril dari jasad dunia sehingga ia bertugas mengelola software kehidupan manusia. Sedangkan Semar menanggung kehidupan penghuni bumi di perutnya”
“Allahu Akbar”, si penanya mengeluh, “mimpi apa saya semalam…”
“Semar paling berat tugasnya. Ia mengawal setiap penguasa yang baik. Semar bertugas jadi Punakawan. Punakawan bukan badut, bukan staf ahli, bukan pembantu khusus. Punakawan memiliki ilmu dan kawruh jauh melebihi penguasa, dan kemampuan mental dan kewenangan kharismatik untuk bisa menegur atau bahkan melengserkan penguasa. Semar adalah perwujudan demokrasi. Ia hanya rakyat kecil, Lurah di desa Karang Kedempel. Tapi sekaligus ia adalah senior para Dewa, yang Batara Guru pun bisa dihajarnya. Senjata utama Semar adalah kentut. Yakni bau busuk dunia. Kebusukan hidupnya penghuni bumi. Batara Guru yang steril dari dunia jasad, tak kuat menanggung bau busuk kentutnya Semar yang mampu menembus dunia rohani”
“Demokrasi Semar adalah seutuh-utuhnya demokrasi. Demokrasi adalah bulatan. Titik Semar sebagai rakyat kecil menjadi satu dengan titik Semar sebagai sesepuh para Dewa. Demokrasi Semar tidak struktural-vertikal, tetapi lingkaran atau bulatan. Rakyat adalah pemilik kedaulatan menurut Demokrasi. Tetapi dalam praktik demokrasi di banyak Negara manusia, wakil rakyat merasa menjadi atasan dari yang memberi mandat perwakilan. Penguasa yang dipilih oleh rakyat dan wakil-wakilnya, merasa lebih tinggi kekuasaan dan martabatnya dibanding rakyat. Mereka semua menganggap rakyat adalah bawahan mereka. Akhirnya rakyat sendiri terseret menyimpulkan bahwa penguasa dan wakil mereka adalah atasan mereka. Rakyat membungkuk-bungkuk dan mencium tangannya”
“Sekarang ini pseudo-demokrasi di suatu Negeri menghasilkan eskalasi permusuhan yang semakin sukar dikendalikan. Semar kentut sangat keras. Batara Guru memerintahkan Kresna untuk mengantisipasi kemungkinan Perang Bharatayudha. Tapi Kresna menjumpai bahwa Raden Arjuna tidak lagi bertanya: “Kenapa harus berperang dan membunuh saudara kami sendiri?”. Padahal Kresna harus tetap memastikan regulasi Wayang bahwa Wisanggeni dan Ontoseno atau Ontorejo tidak boleh ikut terjun dalam peperangan, karena mereka sangat sakti”
“Sebenarnya agak paradoksal policy Kresna ini. Kalau Wisanggeni ikut perang, mungkin cukup duel beberapa orang, tidak perlu pertempuran massal. Sejak awal, Sunan Kalijaga sebagai Kresna, aslinya bersikeras untuk cenderung diadakan dialog dulu antara Kresna dengan Arjuna. Juga Sunan Kalijaga sebagai Semar bisa main di ruang dalam Istana untuk menegosiasikan kedamaian. Sementara Sunan Kalijaga sebagai Wisanggeni dan Ontoseno terus rajin membantu Semar menyebarkan keteduhan dan ketenteraman di kalangan rakyat. Kalau perlu dibuka kemungkinan untuk Bedhol Negoro dengan menyepakati lokasi Keraton baru Astinapura.”
“Tetapi ide pemindahan Ibukota Astinapura itu bisa dimanipulasi dan dieksploitasi untuk kepentingan salah satu di antara Pandawa atau Kurawa. Akan jadi bumerang bagi seluruh rakyat. Memang membingungkan, tetapi bagaimanapun Sunan Kalijaga bukanlah Sang Hyang Wenang. Innalloha ‘ala kulli syai`in qodir. Sang Sutradara Agung sudah menuliskan skenario-Nya sendiri di Kitab Lauhul Mahfudh”. (Bersambung).