Bedhol Negoro (1)
SITUASI saling tidak percaya, kebencian, permusuhan dan konflik antara pemeluk Agama tiba-tiba marak dan menjadi kecemasan primer Negara dan bangsa, membawa kita kepada perlunya bercermin ke masa silam sejarah kita sendiri. Misalnya, apakah dulu peralihan dari Kerajaan Majapahit ke Kesultanan Demak, diantarkan oleh perang Agama atau tidak. Tetapi mungkin tak akan pernah bisa dibuktikan dengan metodologi sejarah apapun.
Bahan-bahan untuk meneliti tidak benar-benar memadai. Setiap metode menghasilkan rumusan fakta yang juga berbeda, bahkan bisa bertentangan. Antara pendekatan akademis modern selama masa kolonial Belanda hingga era kemerdekaan RI, banyak menghasilkan kesimpulan yang tidak sama dibanding catatan-catatan kultural, misalnya Babat. Bahkan cara membaca Kitab Sejarah yang sama, katakanlah Pararaton atau Sutasoma, hasilnya juga bisa bertentangan.
Proses verifikasi sejarah yang kemudian dicampuri oleh program kekuasaan, proyek politik, persaingan antar Agama, dalam skala nasional maupun global – bahkan sudah sampai pada “hawa” wacana di mana Walisongo bisa dianggap tidak ada, atau sekadar dongeng rakyat. Karena sumbernya adalah Babat dan informasi turun-temurun. Yang sama sekali tidak bisa dibenarkan oleh metode akademik yang berlaku resmi di Sekolah dan Universitas. Bagi metode sejarah resmi, Walisongo bisa secara kuat dihipotesiskan sebagai mitologi.
Di era 1970-80-an peneliti Kirdjomuljo bahkan, dengan metode “Honocoroko” untuk meneliti sejarah, menghasilkan konklusi bahwa lokasi Kerajaan Majapahit tidak di Trowulan Mojokerto, melainkan sekitar Bogor. Majapahit secara keseluruhan bukanlah Kerajaan yang didirikan oleh Raden Wijaya pada 1293 dan berakhir pada 1498 M. Yang dicatat resmi oleh buku-buku sejarah sebagai Majapahit sebenarnya adalah ujung dari rentang panjang Dinasti “Hit”, sesudah Dinasti “Ma” kemudian “Ja” lantas “Pa”.
Saya menolak untuk memperdebatkan mana yang benar, karena segala sesuatunya tidak mencukupi untuk menjadi bangunan kebenaran. Di satu pihak memang bangsa Indonesia hari ini memerlukan pengetahuan apakah memang kita punya sejarah perang Agama atau tidak. Sebab kalau memang pernah, sekarang kita juga menjadi mudah menarik pedang dari rangkanya, gampang menarik pelatuk senapan, bahkan bunuh-membunuh kita simpulkan sebagai kewajaran sejarah dan semacam hukum alam-nya manusia.
Tapi di lain pihak, manusia bisa berpikir revolusioner bahkan radikal: “Terserah dulu ada perang Agama atau tidak. Bahkan terserah kita punya masa silam atau tidak. Pun terserah kita punya masa depan atau tidak, karena besok sore Tuhan berhak mengkiamatkan kehidupan. Yang penting kita pastikan hari ini dan hari kapanpun bahwa kita tidak akan membunuh siapapun kecuali hewan kurban. Kita tidak akan melukai tubuh dan menyakiti hati sesama manusia, bahkan tidak melukai alam dan menyinggung perasaan Tuhan. Kita pastikan bahwa kita tidak akan melakukan Mo-Limo: maling, madon, minum, main, dan madat. Kita tidak akan merusak bumi dan menumpahkan darah, dalam keadaan bagaimanapun dan dengan alasan apapun”.
Saya sendiri hidup lebih setengah abad untuk menyayangi alam dan manusia serta bermesraan dengan Tuhan dan semua anggota Kabinet maupun Dubes-Dubes-Nya. Saya memaafkan semua yang menjahati saya. Saya memeluk siapa saja yang menghardik, mengutuk, dan memfitnah saya. Bahkan saya sudah menandatangani kontrak untuk memaafkan siapapun sebelum ia atau mereka mendhalimi saya.
Sebab saya terpesona pada suatu kejadian di Keraton Majapahit. Pasukan sembilan kuda putih, anggun di atas punggung kuda-kuda itu sembilan pendekar yang berpakaian bawah putih atas putih dan surban putih. Pemimpin pasukan kecil itu, yang berderap paling depan, tidak berwajah sangar selayaknya seorang panglima perang. Tubuhnya juga agak lebih kecil dan lebih pendek dibanding para prajurit di belakangnya. Tidak pula membusungkan dada. Tidak tampil keperkasaan dari tegak leher dan kepalanya.
Pasukan itu menuju Istana Majapahit, yang merupakan pusat koordinasi Kerajaan-Kerajaan Perdikan Persemakmuran yang luasnya dua kali lipat wilayah Nusantara. Para penduduk di sepanjang jalanan dan desa-desa hunian yang dilewati oleh Pasukan Sembilan itu tergetar perasaannya. Terkesima oleh misterinya. Prabu Brawijaya dan semua perwira dan pejabat yang sedang berada di Keraton, juga kebingungan menyimpulkan siapa itu yang datang. (Bersambung)