Bedah Buku ‘Demokrasi Elektoral’ Panaskan Jelang Pilkada Probolinggo
Kegiatan bedah buku “Demokrasi Elektoral” karya Ahmad Hudri, mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Probolinggo dua periode 2014-2019 dan 2019-2024 digelar di Aula Bakesbangpol Kota Probolinggo, Sabtu, 28 September 2024.
Bedah buku itu sekaligus dalam rangka Milad ke-58 Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). Agenda ini turut memanaskan suasana menjelang Pilkada 2024. Tidak tanggung-tanggung, buku seputar pemilu itu dibedah tiga calon yang akan berlaga dalam Pilkada 2024.
Ketiga pembedah buku itu masing-masing, dr Aminuddin, Hadi Zainal Abidin, dan Abdullah Zabut. Hanya satu calon, Sri Setyo Pertiwi yang menyatakan berhalangan hadir dalam bedah buku tersebut.
Sejumlah pengurus parpol, pengurus ormas, hingga aktivitas organisasi mahasiswa mengikuti bedah buku baru tersebut. “Buku ini masih fresh dari penerbit, saya tulis dalam berbagai kondisi di mobil, kereta api, dalam kondisi saya sakit,” kenang Hudri.
Buku terdiri atas lima bagian penting, yang masing-masing membahas aspek-aspek penting demokrasi elektoral. “Secara esensial demokrasi elektoral dengan memosisikan pemilu sebagai mekanisme utama dalam menentukan masa depan politik melalui partisipasi rakyat,” tutur alumnus S-3 Universitas Merdeka (Unmer) Malang itu.
Hudri juga mengajak pembaca untuk memahami pentingnya etika dalam politik dan bagaimana nilai-nilai moralitas dapat memperkuat demokrasi yang beradab.
Di bagian ketiga bukunya, Hudri memaparkan fenomena-fenomena seperti, dinasti politik dan memudarnya politik identitas. Sementara isu hoaks dan ujaran kebencian hingga partisipasi perempuan dalam pemilu diungkap dalam bagian ketiga buku tersebut.
“Di bagian kelima, saya menyoroti kegagalan partai politik dalam menyiapkan pemimpin,” kata Hudri.
Meski diberi kesempatan untuk “membantai” (membedah) “Demokrasi Elektoral”, Habib Hadi, panggilan Hadi Zainal Abidin dan Aminuddin justru memuji dan mengapresiasi buku tersebut. “Jangan hanya dikritik, ini buku luar biasa. Kalau penulis menyatakan kaderisasi parpol gagal karena parpol memang asal comot,” ujar Habib Hadi.
Senada diungkapkan Aminuddin, yang menyatakan, penulis kredibil karena berpengalaman menjabat Ketua KPU selama 10 tahun (dua periode) dan menyelesaikan kuliahnya hingga jenjang S3.
Isu politik uang (money politics) yang diusung buku Hudri juga dibenarkan Gus Zabut, panggilan Abdullah Zabut. “Money politics sudah merambah ke mana-mana, tidak hanya terkait dunia politik, bahkan juga hingga lingkup lembaga keagamaan. Istilahnya bermacam-macam, uang bensin, uang rokok,” tutur pengasuh pesantren di Kecamatan Kademangan, Kota Probolinggo itu.
Isu politik uang juga diungkap peserta bedah buku, Ismail. “Warga ketika ditawari memilih sudah lazim mengatakan, NPWP alias Nomor Piro Wani Piro,” imbuhnya.
Sehingga calon pemimpin, dalam pandangan sebagian warga, sering diukur dari “isi tas” ketimbang integritas, kualitas, dan loyalitas. Bahkan antusiasme warga untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) bisa didorong karena ada “ongkos jalan” (politik uang).
“Karena itu saya mempertanyakan, apakah tingginya angka partisipasi warga untuk memilih dipengaruhi kesadaran atau karena dorongan uang?” ujar Viki Hamzah, komisioner KPU Kota Probolinggo.