Beda Prabowo dan Mahfud, dalam Kisruh Laut Natuna Utara
Kasus masuknya kapal perang Tiongkok di Laut Natuna Utara pada 30 Desember 2019, mendapat dua komentar berbeda dari dua Menteri Kabinet Joko Widodo. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengatakan, pihaknya akan mencari jalan ‘kalem’ dan damai, untuk menyelesaikan kasus Laut Natuna Utara.
“Kami harus mencari jalan dan solusi terbaik. Bagaimanapun Tiongkok adalah negara sahabat. Kita kalem saja, santai,” kata Prabowo 3 Januari 2020.
Berbeda dengan Prabowo, Menko Polhukam, Mahfud MD mengatakan bahwa tidak akan ada negosiasi dengan Tiongkok mengenai kisruh di Laut Natuna Utara. Alasannya, sesuai dengan arahan Joko Widodo pada tahun 2017, wilayah Laut Natuna Utara adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
“Sudah diputuskan bahwa itu milik kita. Kita tidak akan melakukan negosiasi apapun kepada mereka (Tiongkok),” kata Mahfud, usai menghadiri Peringatan Dies Natalis Ke-57 Universitas Brawijaya di Kota Malang, Minggu 5 Januari 2020.
Menurut Mahfud, tindakan TNI Angkatan Laut (AL) mengusir kapal perang Tiongkok adalah tindakan yang benar. Karena tugas TNI adalah mengamankan setiap jengkal wilayah Republik Indonesia.
“Tindakan pengusiran adalah hal yang benar untuk melindungi wilayah Indonesia,” katanya.
Sementara itu, menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Indonesia Damos Dumoli Agusman, wilayah Laut Natuna Utara secara resmi menjadi masuk dalam wilayah NKRI, setelah Indonesia sudah menyelesaikan perundingan wilayah dengan Singapura dan Filipina pada tahun 2014.
“Setelah sepakat, kami buat Undang-undangnya, kalau sudah ada aturan nasionalnya, berarti itu sudah menjadi milik kita. Karena setelah sepakat, itu akan mempengaruhi garis batas wilayah Indonesia. Maka dari itu, wilayah Laut Natuna Utara masuk ke wilayah NKRI, meskipun sebagian bersinggungan dengan Laut Cina selatan,” kata Damos.
Namun sebenarnya, yang membuat Tiongkok tetap melakukan klaim Laut Natuna Utara adalah wilayah mereka dikarenakan, sebagian dari wilayah tersebut memang masuk ke dalam wilayah Laut Cina Selatan.
Pemerintah Tiongkok menilai, Laut Cina Selatan adalah wilayah kedaulatan mereka, sesuai dengan keputusan Pemerintah Tiongkok tahun 1947. Pemerintah Tiongkok yang dipimpin oleh Presiden Chiang Kai Sek menerbitkan peta nasional dan mencantumkan sebelas garis putus atau eleven dash line yakni wilayah Laut di Selatan Cina ke dalam peta nasional mereka, yang kemudian disederhanakan menjadi Nine Dash Line pada tahun 1953.
Klaim tersebut didasari bahwa wilayah Laut Cina Selatan yang berjarak 1400 kilometer dari daratan Cina sebagai daerah penangkapan ikan nelayan Cina secara turun temurun atau dikenal dengan nama Traditional Fishing Ground.
Selain sebagai daerah penangkapan ikan nelayan Cina secara turun temurun, alasan Tiongkok tetap mengklaim wilayah tersebut dikarenakan masih banyaknya sumber daya alam di bawah perairan seluas 3 juta kilometer tersebut.
Menurut data dari Badan Informasi Energi Amerika Serikat, ada lebih dari 11 miliar barel cadangan minyak dan 190 triliun kubik cadangan gas bumi di wilayah Laut Cina Selatan.
Sementara itu, menurut data dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Riau tahun 2016, sumber daya alam di bidang perikanan pada wilayah tersebut, ditaksir menyimpan lebih dari 1 juta ton per tahun sumber daya perikanan.
Karena melimpahnya sumber daya alam tersebut, hingga saat ini Tiongkok tetap melakukan klaim sepihak terkait wilayah Laut Cina Selatan.