Beda Cara Media Inggris dan Indonesia Memberitakan Reynhard
Kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh mahasiswa Indonesia di Manchester, Inggris, yaitu Reynhard Sinaga tengah menjadi perbincangan hangat dunia. Bahkan, berbagai media baik dalam maupun luar negeri saling bersaing untuk memberitakan kasus yang menjadi sejarah kriminal di Inggris itu. Secara tidak langsung, pemberitaan tersebut memperlihatkan bagaimana pengemasan plot naskah berita yang berbeda dalam sistem kerja media, terutama media Inggris dan Indonesia.
Perbedaan media Inggris yang mencolok dibandingkan dengan media Indonesia adalah mereka tidak mengeksploitasi identitas korban dan pelaku. Alih-alih fokus pada penelusuran kronologi hingga terbongkarnya kasus pelecehan seksual Reynhard, media Indonesia justru menggunakan clickbait tentang kehidupan keluarga, kekayaan, kemewahan rumah, dll untuk menarik masa pembaca.
Melihat hal itu, dosen Ilmu Komunikasi (Ilkom) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Rachma Ida memberikan tanggapannya. Menurutnya, sikap diam media Inggris sejak tahun 2017 hingga terungkapnya kasus Reynhard diawal tahun 2020 menunjukkan tentang etika dan law journalism yang ketat dan benar-benar dijunjung tinggi oleh mereka. Artinya, media baru akan melakukan pemberitaan dengan investigasi journalism setelah kasus persidangan berakhir dengan putusan final.
“Selama belum ada putusan, maka praduga tidak bersalah tetap harus dijunjung tinggi oleh media. Jangan sampai media melakukan trial by the press yang berarti media menghakimi individu yang belum diputus bersalah oleh pengadilan. Itu adalah etika yang dijaga benar oleh Inggris,” ujarnya dalam keterangan tertulis pada media.
Berbeda dengan Inggris, Prof Ida, sapaan akrabnya mengemukakan bahwa etika dan hukum media di Indonesia tidak lagi ditegakkan. Hal itu dikarenakan media Indonesia bersifat kapitalisme yang hanya mengejar keuntungan dibandingkan fungsi media sebenarnya untuk menjunjung etika. Dengan prinsip kapitalisme itu, Prof Ida menganggap bahwa berita sensasional dianggap lebih laku dibandingkan pengemasan naskah yang dilakukan dengan baik sesuai etika ditengah kompetisi media digital yang cepat sekarang ini.
“Aslinya Inggris juga menganut dan mengedepankan sistem kapitalisme. Meskipun mereka komprehensif dalam pemberitaan untuk menggaet iklan, namun etika tetap menjadi nomer satu. Jika tidak, mereka akan dikenai sanksi oleh negara,” tambahnya.
Untuk meminalisir berita sensasional sekarang ini, Prof Ida menyarankan supaya media Indonesia harus melakukan praktik jurnalisme yang beretika sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Selain itu, institusi pengawas media seperti Dewan Pers dan jajarannya juga harus mempunyai aturan tegas dalam menindak media yang melanggar batas-batas Hak Asasi Manusia dalam naskah beritanya.
Lebih lajut, Prof Ida menyatakan bahwa pemberitaan kasus pelecehan seksual harus dilakukan dengan jernih sesuai pokok permasalahannya. Dosen yang sekaligus Guru Besar Kajian Media pertama di Indonesia itu mengungkapkan bahwa media harus selalu berpihak pada korban, karena pelecehan seksual sudah masuk dalam ranah hukum. Sementara itu, media juga tidak boleh mengumbar pelaku dengan menjadikan bual-bualan dalam beritanya.
“Konsep convering both sides harus dilakukan. Dalam melaporkan pelaku kejahatan seksual, media harus menyamarkan atau menggunakan istilah pelaku sebelum keputusan akhir dibacakan, sedangkan korban juga jangan terlalu diekspose secara terus menerus. Artinya, pers harus bersikap proporsional,” pungkasnya.
Advertisement