Beda antara Kritik dan Mencela
Perubahan nilai di masyarakat benar-benar terjadi di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Segala kegagalan bisa dengan mudah diarahkan kepadanya. Demikian itu dilakukan oleh mereka yang tak sejalur dengan garis politiknya.
Polarisasi di tengah masyarakat benar-benar terjadi ketika Pemilu Presiden 2019. Antara pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin di satu pihak, dan pendukung Prabowo-Sandiaga Uno di pihak lain. Kini, Prabowo dan Sandiaga Uno telah menjadi bagian dari Kabinet Indonesia Maju bersama Presiden Joko Widodo, toh polarisasi itu tak pupus.
Di sisi lain, ada juga kecenderungan kelompok masyarakat yang satu selalu mencela kelompok lain yang tak sealiran. Apapa pun yang dilakukan selalu dbiliang "jelek", meskipun hal itu sudah sesuai dengan "kebenaran objektif".
Bagaimana jelasnya masalah ini? DR Listiyono Santoso, Pengajar Ilmu Etika dan Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga Surabaya, berikut memberi kejelasan guna pemahaman kita bersama akan kondisi tersebut:
Kritik dengan mencela itu dua hal berbeda. Kalau isinya hanya mencela terus dengan klaim kebenaran keyakinannya, yang tercipta ya produksi wacana yang hitam putih.
Tragisnya, yang dicela selalu dianggap sebagai yang mesti salah (hitam-kotor-najis dan sederet lainnya dalam bahasa teks kesucian). Apalagi dengan menempatkan yang satu sebagai malaikat penjaga kesucian, yang lain sebagai setan yang harus diperangi.
Cara kerja seperti ini saya gak yakin bahwa ini adalah bagian dari suatu dakwah melawan ketidakadilan. Keadilan itu subtantif, bersifat universal. Siapa pun dan kapan pun yang berlaku tidak adil, ya harus dilawan. Bukan hanya ego masing masing; ketika ketidakadilan menimpa kelompoknya maka mati-matian memperjuangkan, ketika kelompok lain yang tertimpa ketidakadilan, diam saja.
Bahwa negara (baca: pemerintah) harus dikritik, itu bagian penting dari proses demokrasi. Negara harus diawasi, karena di dalamnya ada kepentingan pengelolaan kekuasaan untuk kepentingan banyak orang.
Tapi, mengritik itu ada langgamnya. Kalau langgamnya ngajak "perang" dengan memunculkan berbagai tuduhan yang masih harus dibuktikan, maka ini murni cara kerja politisi (resek) yang memang selalu tidak ikhlas kalau lawan politiknya berhasil mengelola kekuasaan.
Di mana- mana bukankah selalu terjadi, bahwa keberhasilan lawan politik mengelola kekuasaan dengan baik itu menjadi preseden bagi karir politiknya. Maka harus dibangun suatu kondisi bahwa lawan politiknya harus dikesankan gagal atau tidak becus mengelola negara.
Jika demikian, saran saya, ikutlah proses demokrasi, buat atau gabung dalam partai politik, sehingga pertaruangan jadi fair. Bahwa ini pertarungan mencari dukungan politik. Di mana posisi agama?
Agama menjadi spirit moral dalam pertarungan itu. Bukan jadi aspirasi yang kemudian menempatkan yang tak sejalan sebagai musuh agamanya. Itu saja.
Advertisement