Beda, Al-Quran sebagai Kitabullah dan Al-Quran sebagai Kalamullah
Guru besar bidang tafsir Al-Quran yang juga ulama terkemuka di Indonesia, KH Nasarudin Umar menjelaskan perbedaan Al-Qur'an sebagai Kitabullah dan Al-Quran sebagai Kalamullah.
Al-Qur'an sebagai kitabullah adalah hudalinnas, warahmah, atau petunjuk bagi umat manusia. Bukan hanya bagi lil mukminin (untuk orang orang berimana) dan muttaqin (orang orang bertakwa) saja, melainkan untuk semua.
Sementara Al-Qur'an sebagai Kalamullah adalah petunjuk bagi orang orang yang bertakwa, orang orang khusus bukan orang orang biasa.
Menurut Kiai Nasaruddin, terjemahan kosa kata bahasa Arab tidak seperti mengartikan kosa kata dalam bahasa Al-Qur'an. Sebab, pada ayat ayat Allah tersebut banyak isi kandungan makna, luas, dan perlu banyak proses untuk mengetahuinya.
"Guru kami dulu di Medcil itu, bahasa inggris bahasa Arabnya fasih sekali, tapi sehabis mengajar ulumul Qur'an makan lalu disudahi dengan minum bir. Pasti yang diajarkan Al-Qur'an sebagai Kitabullah bukan Kalamullah, yang bisa mengakses kalamullah alif laam mim dzaalikal kitabu la roiba fiihi," kata Kiai Nasar.
Ia mencontohkan makna dzalikal kitabu pada ayat pertama surat Al-Baqarah, memiliki maksud petunjuk bagi-orang orang yang bertakwa bukan untuk orang-orang biasa. Namun, di Indonesia ayat tersebut diterjemahkan sempit oleh sebagian kalangan.
"Sayang sekali terjemahan bahasa indonesia kita diartikan Qur'an ini, Qur'an di situ tidak mengatakan hadzal kitab la roiba fiihi, dzalikal kitab di sana, jauh sekali dan yang di sana itu kalamullah itu hudallil muttaqin bukan hudallinnaas, hanya orang yang muttaqin yang bisa mengakses dalikal kitab yang bisa kita akses Al-Qur'an sebagai kalamullah hudallinnasi warahmah," katanya.
Untuk itu, ulama sebagai pembimbing masyarakat harus mampu memahmi Al-Qur'an sebagai Kalamullah bukan memahami Al-Qur'an sebagai kitabullah. "La ya massuhu illal muthaharun bukan ilal munatafun," tegasnya.
Nasarudin Umar menjabarkan, ulama besar yang sudah memiliki spiritual yang dalam memiliki guru yang sudah wafat. Menurut dia, santri dikatakan miskin jika hanya memiliki guru seorang manusia yang masih hidup.
Seperti ulama besar umat Islam, Imam Gazali, terdapat banyak Hadits yang ditulisnya pada Kitab Ihya Ulumuddin yang kesemuanya terkonfirmasi kepada Rasulullah SAW secara langsung.
"Saya tidak pernah mengutip Hadits dalam ihya tanpa konfirmasi langsung kepada Rasulullah, benar tidak ini dari engkau ya Rasulullah, jika belum terkonfirmasi dia tidak menulis kitab Ihya, berarti gurunya Imam Gazali adalah Rasulullah SAW," kata ulama yang juga tokoh Nahdlatul Ulama ini.
*) Dipetik dari ceramah pada pada Multaqo Ulama, Habaib dan Cendekiawan Muslim di Hotel Kartika Chandra di Jl Gatot Subroto Kav 18 Jakarta Selatan, Jumat 3 Mei 2019. Multaqo Ulama dihadiri ribuan ulama sepuh, habaib dan cendekiawan muslim dari seluruh Indonesia. Antara lain Mustasyar PBNU, KH Maemun Zubair, Abuya KH Muhtadi Dimyati, KH Nasaruddin Umar, KH Ahmad Muhtadi, TGH Turmudzi Badruddin, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, Nyai Sinta Nuriyah Wahid, KH Ahmad Muwafiq, KH Manarul Hidayat, KH Matin Syarkowi, KH Benyamin, KH Maimeon Ali, KH Noer Muhammad Iskandar dan ribuan kiai-habib lainnya.