Soal Pemakzulan Kepala Negara, Beda Al-Mawardi dan An-Nawawi
Diskursus soal pemakzulan kepala negara kini muncul kembali. Seperti dilakukan Din Syamsudin, yang menggunakan pendapat Al-Mawardi dengan kitab Ahkamu Sulthaniyah. Namun, hal itu menjadi sasaran kritis dari intelektual Muslim lain.
Seperti disampaikan M Kholid Syeirazi, Sekretaris Umum PP ISNU berikut ini:
Ini dua orang juris raksasa dalam Madzhab Syâfi’î. Abû al-Hasan Alî al-Mâwardî (974-1058 M) ahli fikih Irak. Karyanya yang terkenal Al-Ahkâm al-Sulthâniyah dan Adab al-Dunyâ wa al-Dîn. Beliau juga penulis kitab Al-Hâwî al-Kabîr, syarh atas kitab Al-Mukhtashar al-Muzannî. Al-Muzannî, murid Imam Syâfi’î, meresume kitab Al-Umm setebal 7 jilid menjadi 1 jilid. Resume al-Muzannî dielaborasi lagi oleh al-Mâwardî setebal 18 jilid. Itulah tradisi dialektis dalam fikih klasik.
Muhyiddîn ibn Syaraf al-Nawâwî (1233-1277 M) juris raksasa dari Damascus, dijuluki Imâm al-Syaikhâin. Kalau dalam ilmu hadis gelar Syaikhain merujuk kepada Bukhari-Muslim, dalam fikih Syafi’i Syaikhâin merujuk kepada Nawâwî-Râfi’î. Karyanya banyak. Saya sebut, antara lain, Riyâdh al-Shâlihin, Rawdhat al-Thâlibîn, al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, dan Syarh Shahîh Muslim.
Dalam banyak karyanya, Imam Nawâwî sering mengutip pendapat Imam Mâwardî. Tentu saja kalau sesuai. Tetapi, ada kasus Imam Nawâwî berbeda dengan Imam Mâwardî, yang akan saya bahas di sini. Ini soal ribut-ribut tempo hari, tentang pemakzulan Presiden. Din Syamsuddin, pembicara kunci dalam diskusi yang digelar Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) dan Kolegium Jurist Institute (KJI) bertajuk “Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19,” mengutip pendapat al-Mâwardî soal syarat pemakzulan Presiden. Pertama, kata dia, tidak adanya keadilan. Kedua, jika pemimpin tidak memiliki ilmu pengetahuan atau tidak mempunyai visi kepemimpinan yang kuat dalam mewujudkan cita-cita nasional.
Sebenarnya, pendapat al-Mâwardî tidak persis seperti itu. Dalam kitabnya, Al-Ahkâm al-Sulthâniyah, al-Mâwardî menyebut 10 tanggung jawab khalifah dan kewajiban umat terhadap pemimpinnya. Jika khalifah telah menunaikan tanggung jawabnya, kewajiban umat adalah taat dan membelanya (الطاعة والنصرة). Saya kutipkan pernyataan al-Mâwardî (h. 42-43):
« إذا قام الإمام بما ذكرناه من حقوق الأمة فقد أدى حق الله تعالى فيما لهم وعليهم، ووجب له عليهم حقان الطاعة والنصرة ما لم يتغير حاله والذي يتغير به حاله فيخرج به عن الإمامة شيئان: أحدهما جرح في عدالته والثاني نقص في بدنه، فأما الجرح في عدالته وهو الفسق ٠٠٠وأما ما طرأ على بدنه من نقص فينقسم ثلاثة أقسام: أحدها نقص الحواس، والثاني نقص الأعضاء، والثالث نقص التصرف »
“Jika Imam telah menunaikkan tanggung jawabnya terkait hak-hak umat seperti yang telah kami sebut, maka dia telah menunaikan hak-hak Allah yang ada pada mereka. Wajib bagi umat untuk taat dan membelanya sepanjang tidak berubah keadaannya. Perubahan itu, yang membuat boleh keluar dari kepemimpinannya, adalah dua hal. Pertama, cacat dalam keadilan. Kedua, cacat fisik. Cacat dalam keadilan adalah fasik. Cacat fisik ada tiga yaitu cacat indera, cacat organ, dan cacat kemandirian/kebebasan.”
Cacat keadilan (fasik) dicontohkan al-Mâwardî seperti melakukan perbuatan terlarang, memperlihatkan kemunkaran, dan mengikuti hawa nafsu. Cacat indera dicontohkan al-Mâwardî dengan gila, buta, tuli, bisu, dan gagap. Contoh cacat organ adalah kehilangan alat vital, impoten, kehilangan dua tangan dan kaki. Contoh cacat kebebasan atau kamandirian adalah tersandera atau ditawan pihak musuh. Al-Mâwardî memberikan ketentuan rinci dan ragam pandangan terkait jenis-jenis cacat fisik yang membolehkan imam dimakzulkan.
Dalam Rawdhat al-Thâlibîn, Juz 7, al-Nawâwî mengutip pendapat al-Mâwardî terkait cacat fisik yang memungkin Imam dimakzulkan. Tetapi, al-Nawâwî mengabaikan pendapat al-Mâwardî terkait cacat keadilan atau fasik. Secara tegas al-Nawâwî menyatakan begini (h. 268):
« أن الامام لا ينعزل بالفسق على الصحيح »
“Menurut pendapat yang sahih, Imam tidak boleh dimakzulkan karena kefasikan.”
Imam wajib dipatuhi meskipun dia tidak adil selagi tidak menentang hukum syariat (h. 267):
« تجب طاعة الامام في امره ونهيه ما لم يخالف حكم الشرع ، سواء كان عادلا او جائرا »
“Wajib patuh kepada pemimpin dalam perintah maupun larangannya selagi tidak bertentangan dengan hukum syara’, baik dia itu pemimpin adil maupun culas.”
Menurut al-Nawâwî, Imam tidak boleh dimakzulkan karena fasik, tetapi karena kafir atau murtad. Ini pernyataan al-Nawâwî dalam Syarh Shahîh Muslim, Juz 12 (h. 229):
« اجمع العاماء أن الامامة ل تنعقد لكافر، وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل »
“Para ulama sepakat kepemimpinan tidak sah oleh orang kafir. Jika kekafiran muncul belakangan (murtad), dia dimakzulkan.”
Pendapat ini didukung Ibn Hajar al-Asqalâni. Dalam Fath al-Bârî, Juz 13, dia mengatakan begini (h. 105):
« انه ينعزل بالكفر اجماعا فيجب على كل مسلم ، فيجب على كل مسلم القيام فى ذلك ، فمن قوي على ذلك فله الثواب ، ومن داهن فعليه الإثم ، ومن عجز وجبت عليه الهجرة من تلك الأرض »
“Seorang Imam makzul karena kafir secara ijma’. Wajib bagi setiap Muslim mengambil tindakan. Jika mampu, dia mendapat pahala. Jika menjilat, dia berdosa. Jika tidak mampu, dia wajib pindah dari daerah itu.”
Para juris klasik menolak penggulingan Imam selagi tidak murtad atau jelas-jelas menunjukkan kemunkaran. Al-Syaukânî, dalam Al-Sail al-Jarrâr (h. 965) mengatakan begini:
« ينبغي لمن ظهر له غلط الإمام في بعض المسائل أن يناصحه ، ولا يظهر الشناعة عليه على رؤوس الأشهاد ، بل كما ورد فى الحديث أن يأخذ بيده ويخلو به ، ويبذل له النصيحة، ولا يُذلّ سلطان الله ٠٠٠وأنه لا يجوز الخروج على الأئمة، وإن بغوا في الظلم ايّ مبلغ ما اقاموا الصلاة ، ولم يظهر منهم الكفر والبواح »
“Jika pemimpin jelas salah dalam suatu masalah, seyogyanya seseorang menasehatinya, tetapi tidak boleh mengumpatnya di depan banyak orang. Seperti disinggung sebuah hadis, hendaknya dia menggamit tangannya dan mengajaknya menyepi dan kemudian menyampaikan nasehat serta tidak merendahkan penguasa...Dan tidak boleh keluar dari barisan Imâm, meskipun dia melampaui batas asal masih menegakkan salat dan tidak mendemonstrasikan kekufuran dan kelacuran.”
Alhasil: Saya ingin memberikan catatan dua hal berikut.
Pertama, ini pandangan para juris klasik tentang Imam. Jika disebut Imam dalam literatur fikih klasik, maksudnya adalah الإمام الأعظم dengan kekuasaan yang nyaris absolut, tidak sama persis dengan Presiden dalam konsep kekuasaan modern. Presiden, dalam konsep kekuasaan modern, hanya pemimpin dari salah cabang kekuasaan yaitu eksekutif. Para juris klasik memutlakkan syarat Imam harus Muslim, karena—seperti ditegaskan Ibn Taimiyah dalam Al-Khilâfah wa al-Mulk (h. 43)— tugas imam antara lain adalah memimpin salat dan jihad. Ini tentu berbeda dengan nalar pengangkatan Presiden dalam konsep negara modern yang dipilih bukan (semata) karena agamanya, tetapi karena prestasinya.
Kedua, saya tidak setuju dengan pemakzulan Presiden karena dua hal. Pertama, ini akan menimbulkan gejolak politik yang bisa berujung pada anarki. Anarki dalam fikih siyasah klasik sangat dihindari, sampai-sampai Ibn Taimiyah mengatakan begini:
« ستون سنة من إمام جائر أصلح من ليلة واحدة بلا سلطان »
“Enam puluh tahun bersama Imam jahat itu lebih baik daripada semalam tanpa Imam.”
Kedua, pemakzulan akan melahirkan dendam politik yang tidak berkesudahan. Ulu hati saya sampai sekarang masih nyeri dengan pemakzulan Gus Dur dan tidak bisa melupakan ‘dosa politik’ Amien Rais beserta konco-konconya. Menghentikan Presiden di tengah jalan karena alasan politik, bukan karena alasan hukum yang sah dan meyakinkan, akan melukai demokrasi.
Saya sekarang memang ‘sedang sebel’ dengan Jokowi, tetapi akan menentang segala upaya untuk menjatuhkannya. Silakan kritik Jokowi, karena dia sekarang memang perlu dikritik. Kritik tidak sama dengan cacian dan umpatan-umpatan kasar. Di sinilah kita sedang diuji sebagai bangsa yang beradab.
Demikian disampaikan M Kholid Syeirazi, Sekretaris Umum PP ISNU, dari akun facebooknya.