Beberapa Arti Kafir, Ini Penjelasan Mematikan dari Kiai Ishom
Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama di Banjar telah berakhir. Namun, tanggapan dan respon dari satu di antara keputusan dari forum tertinggi kedua (setelah muktamar) organisasi Islam berbasis pesantren ini, terus berkembang.
Di sejumlah grup diskusi media sosial, ada kritikan dari Haikal Hasan dan Tengku Zulkarnaen. Karena itu, KH Ahmad Ishomuddin, Rais Syuriah PBNU, menulis "Beberapa Arti Kafir: Sebuah Catatan Untuk Haikal Hasan dan Tengku Zulkarnain". Berikut tanggapan lengkap Kiai Ahmad Ishomuddin:
Berikut ini saya tulis catatan untuk Haikal Hasan yang tidak bisa membedakan pengertian bentuk tunggal dari kata al-kafir (الكافر) dari bentuk jamaknya, yaitu al-kuffar (الكفار) dan untuk Tengku Zul yang bermaksud mengkritisi hasil Munas Alim Ulama NU, padahal ia tidak mampu men-tashrif kata kafara (كفر), sehingga keliru menjadi kafara--yukaffiru--kufran.
Saya tidak bisa membayangkan seandainya mereka berdua berani berpendapat dalam Bahtsul Masail NU.
Catatan sederhana ini penting dibaca untuk menambah wawasan, agar dalam beragama kita tidak tertipu oleh orang-orang yang hanya mengandalkan penampilan lahiriah bagaikan ulama besar, namun nyatanya kosong dari ilmu, bahkan ilmu bahasa yang paling dasar (Ilmu nahwu dan Ilmu Sharaf).
Al-kufru (الكفر) artinya menutupi apa yang seharusnya tampak jelas. Al-kufran (الكفران) artinya menutupi nikmat dari pemberi nikmat dengan tidak mau mensyukurinya.
Kekafiran terbesar (أعظم الكفر) adalah mengingkari keesaan Allah, kenabian, atau syariat. Kata Al-kufran (الكفران) paling banyak digunakan untuk pengingkaran terhadap nikmat. Sedangkan kata Al-kufru (الكفر) paling banyak dipakai dalam kekafiran terhadap agama. Adapun kata al-kafur (الكفور) banyak dipakai pada pengingkaran terhadap kedua-duanya (yakni pengingkaran terhadap nikmat dan agama). Malam (الليل) disebut kafir (كافر) karena malam dengan kegelapannya menutupi segala sesuatu.
Bila orang berkata, "kafara al-ni'mata (كفر النعمة)" maka artinya ia mengingkari nikmat dan tidak mensyukurinya, ia tidak berterima kasih kepada pemberinya, atau tidak berterima kasih kepada yang menjadi sebab datangnya nikmat, tetapi justru ia mengingkari anugerahnya.
Bila orang berkata, "Kafara billahi (كفر بالله)" atau "Kafara Allah (كفر الله)" maka artinya ia ingkar kepada wujud Allah.
Bila orang berkata "Kafara bi al-rasul shalla Allahu 'alaihi wa sallama (كفر بالرسول صلى الله عليه وسلم)" maka artinya ia tidak membenarkannya (لم يصدقه). Atau berkata "Kafara bi kitabillahi (كفر بكتاب الله) maka artinya ia tidak membenarkan bahwa kitab itu berasal dari sisi Allah (لم يصدق أنه من عند الله).
Bila orang berkata, "Kafara bi al-iman (كفر بالإيمان)" artinya ia tidak melakukan apa yang menjadi konsekuensi keimanannya itu. Bila orang berkata, "kafara al-rajulu haqqahu (كفر الرجل حقه)" artinya ia mengharamkan haknya itu untuk dirinya atau mengingkarinya.
Bila orang berkata "kaffara Allahu al-sayyiati (كفر الله السيئات)" berarti Allah menghapuskan keburukan-keburukan dan tidak menyiksa karenanya, seperti dalam firman Allah,
... ربنا فأغفر لنا ذنوبنا وكفر عنا سيئاتنا وتوفنا مع الأبرار ...
Al-kafur (الكفور) seperti disebutkan dalam firman Allah " فأبى أكثر الناس إلا كفورا".
Bentuk tunggal isim fa'il (kata benda yang menunjukkan pelaku) yang berasal dari fi'il madli tsulatsi mujarrad (kata kerja bentuk lampau yang murni terdiri dari tiga huruf), yaitu kafara (كفر) adalah al-kafir (الكافر) yang berarti selain orang yang beriman (غير المؤمن).
Sedangkan bentuk jamak dari kata kafir (كافر) adalah kuffar (كفار), kafiruna (كافرون), dan kafaratun (كفرة).
Para pembaca Kitab Suci al-Quran perlu cermat dan berhati-hati dalam memaknai kata kafara (كفر) berikut derivasinya, karena kata tersebut memiliki banyak sekali makna. Bahkan para petani oleh Allah dalam Qs. al-Hadid ayat 20 disebut sebagai al-kuffar (الكفار), yang tentu tidak bisa diartikan sebagai orang-orang kafir. Allah berfirman,
كمثل غيث أعجب الكفار نباته (سورة الحديد : ٢٠)
Dalam ayat di atas kata "al-kuffar (الكفار)" artinya adalah para petani, karena para petani setelah melubangi tanah, mereka lalu meletakkan benih, dan kemudian menutupi benih dalam lubang itu dengan tanah agar benih bisa tumbuh. Perbuatan menutupi itulah yang membuat mereka sebagai pelaku disebut sebagai al-kuffar (para petani).
Demikian penjelasan KH Ahmad Ishomuddin. (adi)
Advertisement