Bebas Intrik Politik Kepentingan
Bersama Rektor Universitas Diponegero, Prof DR Yos Johan Utama, dua tahun lalu, kami berkesempatan sedang membahas pengajaran Pancasila di kampus perguruan tinggi terkemuka di Semarang itu.
Tentu, Universitas Diponegoro melibatkan para dosen ahli Pancasila yang mengajarkan mata kuliah tersebut. Inisiatif yang perlu mendapat apresiasi tinggi terhadap mereka yang menggelutinya secara ilmiah.
Penelitian ilmiah tentang Pancasila ujung tombaknya idealnya di dunia akademik, sehingga bebas dari intrik politik kepentingan.
Di tengah diskusi didalam benak saya timbul pertanyaan. Apakah negara kita ini negara demokrasi atau negara Pancasila? Apa ada kata demokrasi dalam Pancasila?
Bung Karno memang menyinggung Sosio Demokrasi dalam pidatonya, tetapi rumusan yang disepakati adalah “Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmah Dalam Permusyawaratan Perwakilan”. Hikmah artinya bijaksana (wicaksana), suatu pemahaman yang mendalam. Kalau dalam terminologi Islam bermakna selaras dengan Al-Quran dan Hadits.
Istilah “kerakyatan“ lawan dari “kerajaan“. Artinya yang berdaulat adalah rakyat bukan raja. Kenapa tidak digunakan istilah kedaulatan rakyat (people souverignity)?
Mungkin para ulama menghindari kata daulat rakyat sebab hanya “Tuhan” Sang Pencipta yang berdaulat atas manusia. “Kaum nasionalis relijius” mengamininya, suatu kesepakatan berdasarkan kearifan untuk saling menghagargai pendapat kaum “Relijius Nasionalis”.
Kaum Religius Nasionalis tidak memaksakan formalisme syariat Islam, atau teokrasi sedang kaum Nasionalis Relijius juga tidak memaksakan demokrasi ala Barat yang memisahkan agama dengan negara.
Mungkin lebih tepat istilah “Demokrasi Pancasila”. Kita renungkan bagaimana arifnya para pendiri bangsa.
Selamat untuk UNDIP, salah satu almamaterku!
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial-Politik, tinggal di Jakarta.