Beban Kepala Kampung
RASANYA amat jarang kita mempersoalkan apakah puasa itu beban atau rahmat. Bagi kita, itu tidak krusial. Kalaupun menjadi beban, toh tidak kita rasa terlalu berat.
Berkaitan dengan Ramadlan, sungguh nikmat agung tersendiri bahwa kita hidup di wilayah tropis. Di sini tidak pernah terlalu panas ataupun terlalu dingin. Siang-malamnya pun seimbang, tak ada siang yang terlalu panjang. Di wilayah sub-tropis seperti bentangan India hingga Afrika Barat, Ramadlan di musim panas merupakan tantangan yang luar biasa. Ketika mukim di Makkah, saya mengalami Ramadlan dengan suhu siang hari mencapai 50 derajat Celcius, jam 3 pagi sudah shubuh, jam setengah tujuh sore baru maghrib. Untung di zaman moderen ini ada AC. Dan engkau boleh bergelung didalam kamar hingga malam hari. Semakin ke utara hingga batas wilayah beriklim dingin, keadaan semakin ekstrim.
Itu sebabnya Ibn Ar Ruumy (221 – 283 H), seorang penyair Baghdad, berpuisi ngenas tentang Ramadlan musim panas:
شهر الصيام مبارك # ما لم يكن في شهر آب
الليل فيه ساعة # و نهاره يوم الحساب
خفت العذاب فصمته # فوقعت في نفس العذاب
“Bulan Puasa itu diberkahi
Selagi tak jatuh di bulan yang panasnya setengah mati
Malamnya cuma sekejap
Lama siangnya bak yaumil hisab
Aku berpuasa karena takut adzab
Saat berpuasa, aku menanggung adzab!”
Suatu hari di bulan Ramadlan, seorang musafir mampir di sebuah kampung dan terheran-heran menyaksikan tak seorang pun penduduknya berpuasa.
“Kepala Kampung amat menyayangi kami dan tidak tega kami sengsara berpuasa di musim panas begini. Maka dia bertekad menanggung sendiri beban puasa semua orang!” seorang warga mejelaskan.
Penasaran, musafir menemui Kepala Kampung. Dan dia jadi tambah bingung mendapati si Kepala Kampung di rumahnya sedang menghadapi makanan yang melimpah-ruah dalam keadaan tak henti-hentinya mengunyah.
“Lho! Katanya sampeyan nanggung puasanya seluruh warga?”
“Lha iya! Karena nanggung puasanya begitu banyak orang, sahurku jadi nggak selesai-selesai!” (KH Yahya Cholil Staquf)