Beban Jokowi Semakin Berat
Salah satu sebab mengapa Pak Jokowi disenangi rakyat, karena rakyat tahu presiden yang satu ini hobinya kerja..kerja..dan kerja. Hasilnya pun sebagian sangat nyata dirasakan. Peningkatan kualitas layanan transportasi publik: darat, laut, udara, cukup dirasakan rakyat. Konsentrasi Jokowi untuk memperbaiki penyediaan infrastruktur secara fisik pun begitu nyata. Hanya sayangnya konsentrasi untuk menggenjot peningkatan kualitas ekonomi masyarakat paling bawah dan paling pinggir, belum sepenuhnya terasakan.
Hampir di semua instansi dan kementerian, kecuali yang berkaitan langsung dengan kerja pengadaan infrastruktur, motto Jokowi yang sangat populer.."kerja..kerja..kerja" tak begitu tampak dan bahkan terkesan sebaliknya. Atau kalau toh terekspos kegiatan kerja yang luar biasa, yang sering dirasakan hanyalah "kerja..kerja..kerja keras", sementara yang lebih dibutuhkan agar efisien dan efektif tercapai adalah kerja cerdas. Dengan kata lain, heboh dan hiruk pikuknya terekam luar biasa, tapi capaian yang diraih jauh dari harapan.
Untuk menutupi semua itu, semua lembaga berlomba mengunggah kegiatan kerja mereka ke dunia maya melalui jaringan sosmed begitu gencar. Sehingga seringkali mengundang decak kagum publik saat menyaksikan tayangan di sosmed, tapi menggerutu saat berada di wilayah realita. Semata karena semua niat baik dan upaya Pak Jokowi untuk secepatnya mewujudkan kesejahteraan, acap kali membuahkan hasil yang sebaliknya.
Yang paling terasa kinerja kementerian di wilayah koordinasi Menko Perekonomian. Angka-angka yang dijadikan bahan suguhan hasil dan capaian kinerja masing-masing kementerian sangat mengesankan. Bahkan dunia memberikan apresiasi tinggi kepada kinerja salah satu kementerian di wilayah koordinasi Menko Perekonomian ini. Sementara kementerian yang lain hanya menyuguhkan hasil kerja yang membuat banyak pelaku bisnis dan pengamat geleng kepala dan bahkan frustasi.
Realitanya, hidup rakyat di wilayah perekonomian, semakin terasa berat dan minus peningkatan dan perbaikan kualitas ekonomi mereka. Di masyarakat lapisan menengah bawah, sering terdengar keluh kesah dalam nada prihatin yang sama…"Wah…Mas, hidup kok malah semakin susah…kasihan Pak Jokowi yang sudah kerja keras tapi nggak diimbangi para menterinya..!” Begitu suara mayoritas rakyat di lapisan bawah. Sementara suara di lapisan atas, lebih bersemangat menuding pemerintahan Jokowi dikelola secara salah kaprah-mismanajemen. Dalam kaitan ini, pihak oposisi selalu lantang mengatakan, haqulyakin salah kaprah-mismenejemen ini begitu nyata!
Satu hal yang secara kompak diamini dan diakui, Jokowi adalah figur pemimpin yang jauh dari keinginan untuk memperkaya diri dan korupsi. Rakyat menghargai kenyataan ini. Hanya saja, lagi lagi suara di kalangan para elite atau masyarakat lapisan atas yang sudah tak bersimpatik pada Jokowi menilai bahwa figur pemimpin yang tidak korupsi itu bagus-bagus saja, tapi membiarkan orang di sekelilingnya memperkaya diri dan ia biarkan semua itu terjadi, bukannya hal ini lebih parah?!
Dalam kaitan dakwaan ini, bukti yang dapat disodorkan oleh para oposan sangat sumir dan sulit dibuktikan. Hanya saja bagi kalangan tertentu yang lebih memilih untuk diam, sering melontarkan komentar begini.."Mas tau lah siapa-siapa pemain di ring satu kekuasaan..”. Dan terus terang, setiap kali saya mendengar celoteh sejenis, tetap saja saya tidak tau siapa orang dekat Jokowi yang dimaksud?! Walau secara insting dan mata batin mengatakan memang ada, namun tetap saja dalam ruang pengertian tanpa kepastian…’Ia ada…tapi tiada, tiada…tapi ada!’
Beban Jokowi memang berat. Ia yang seharusnya dibantu oleh seluruh segmen masyarakat saat menang dan pasca pilpres, ternyata harus memimpin rakyat yang terbelah ke dalam dua kelompok. Pengelompokan kelanjutan semasa pemilihan pilpres berlangsung. Antara yang pro abadi dan yang kontra abadi saling serang dan saling meniadakan!
Ketidakdewasaan dalam berdemokrasi merupakan beban bagi Jokowi yang cukup besar. Sayangnya belakangan pak Jokowi terpancing untuk masuk ke dalam putaran saling berhadapan dan saling meniadakan ini.
Beban yang paling mengkhawatirkan adalah terus merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Bila terus berlanjut tanpa perbaikan, bisa jadi kerja keras Pak Jokowi yang selama ini Beliau lakukan dengan tulus berakhir dengan sia-sia.
Haruskah hal yang tidak kita inginkan bersama terjadi? Atau sebaliknya, kita bersama melupakan perbedaan dan berkonsentrasi menyelamatkan negeri ini dari keterpurukan. Setelah kembali normal, silakan kembali aktif saling bertarung dalam Pilpres 2019!
*) Erros Djarot adalah budayawan, seniman, politisi dan jurnalis senior - Tulisan ini dikutip sepenuhnya dari laman Watyutink.com