Beban di Inalum, Untung di Rio Tinto dan Mc Morran
Sudah banyak pembahasan tentang kesepakatan transaksi saham PT Freeport Indonesia (PT FI) yang akan menghasilkan saham 51% bagi PT Inalum, sebuah BUMN miliki pemerintah RI. Pada umumnya tulisan-tulisan yang ada adalah dari sudut pandang masyarakat Indonesia atau lebih spesifik pemerintah RI. Padahal, sebuah transaksi bisnis itu akan berjalan jika dan hanya jika para pihak setuju. Dan karena ini urusan bisnis, persetujuan akan terjadi jika para pihak mendapatkan keuntungan yang cukup sesuai kepentingan masing-masing. Karena ini tranasaksi tiga pihak - Pemerintah RI melalui PT Inalum, Rio Tinto dan Freeport McMorran Inc.- maka ketiganya harus mendapatkan posisi yang menguntungkan sesuai kepentingan masing-masing. Untuk itulah tulisan ini hadir.
Kita awali dengan mengenal sekilas jati diri para pihak. Freeport Mc Morran Inc. adalah sebuah perusahaan petambangan global yang berdiri di bawah undang-undang USA dan berkantor pusat di Phoenix, Arizona, USA. Perusahaan yang berdiri tahun 1912 ini melantai di New York Stock Exchange dengan kode FCX. Selanjutnya tulisaan ini akan menyebutnya FCX. Perusahaan yang saat ini pesaham terbesarnya adalah Vanguard Group dengan 14,29% dan berkapitalisasi pasar USD 20,13 Milyar ini tahun lalu membagikan dividen sebesar 1,44% dari nilai saham.
Rio Tinto Plc. adalah juga sebuah perusahaan petambangan global yang berdiri tahun 1873 ketika sekelompok investor multinaasional membeli kawasan petambangan di Rio Tinto, Huelva, Andalusia, Spanyol dari pemerintah Spanyol. Rio Tinto secara harfiah bermakna sungai merah. Sejak itu perusahaan berkantor pusat di Londom itu telah melakukan berbagai merger dan akuisisi. Saat ini saham Rio Tinto diperjual belikan secara paralel di London Stock Exchange, New York Stock Exchange, dan Australian Stock Exchange dengan kode saham RIO. Selanjutnya RIO akan digunakan sebagai penyebutan dalam tulisan ini. Saat ini nilai seluruh saham (kapitalisasi pasar) RIO adalah 89,6 Milyar dengan dividen 4,95% dari nilai saham.
PT Indonesia Asaham Aluminium (Inalum) adalah perusahaan yang didirikan tahun 1976 oleh Nippon Asahan Aluminium Co. Ltd., sebuah konsorsium 12 perusahaan kimia dan logam Jepang. Saat pendirian pemerintah RI memiliki saham 10%. Saat ini, pemerintah RI menjadi pemegang 100% saham Inalum setelah mengambil alih saham milik Nippon Asahan Aluminium Co. Ltd. Selanjutnya, Inalum digunakan sebagai sebutan dalam tulisan ini.
Bagaimana transaksi PT FI dalam tinjauan FCX? Berikut ini adalah skema transaksi yang ditampailkan dalam release resmi FCX per tanggal 12 Juli 2018 yang utamanya ditujukan kepada para pemegang saham. FCX menyebut transaksi ini sebagai restrukturisasi. Bukan divestasi, akuisisi oleh Inalum ataupun sebutan lain.
Sebagaimana skema di atas, sebelum restrukturisasi, FCX memegang saham PT FI sebesar 81,28% secara langsung dan 9,36% secara tidak langsung melalui PT Indocopper Investama (PT II) alias total 90,64%. Namun demikian, tambang di Grasberg Papua tidak langsung dioperasikan sendiri oleh PT FI, melainkan melalui sebuah Joint Venture (JV) antara PT FI dengan RIO. Dalam JV ini RIO berhak atas 40% dari hasil tambang. Dengan demikian, FCX dan Pemerintah RI (GOI, Government of Indonesia) memiliki hak atas JV masing-masing sebesar 54,4% dan 5,6%. Angka ini diperoleh dari perkalian persentase saham FCX dan GOI di PT FI dengan angka 60% yaitu bagian di JV tersebut.
Dalam kesepakatan transaksi restrukturisasai, Inalum akan membeli keseluruhan hak RIO pada JV seharga USD 3,5 Milyar secara tunai. Hak di JV tersebut selanjutnya akan dikonversi menjadi saham di PT FI. Inalum juga akan membeli seluruh saham PT II dari FCX seharga USD 350 Juta secara tunai. Eksekusi kesepakatan kedua transaksi tersebut akan menjadikan Inalum sebagai pemegang 51,2% saham PT FI dan FCX akan memegang 48,8% sisanya. Selain itu, disepakati bahwa FCX akan tetap menjadi pengelola opersional PT FI. Dengan demikian, pasca eksekusi, JV menjadi tidak eksis.
Dalam release resmi tersebut juga disebutkan bahwa restrukturisasi tersebut akan berjalan dengan syarat pemerintah RI akan memperpanjang ijin operasi bagi PT FI dan menjamin kepastian pajak maupun legal sampai tahun 2041. Dengan demikian, memang FCX akan kehilangan 9,36% saham PT FI melaui PT II alias hak 5,6% pada JV. Tetapi kehilangan tersebut dikompensasikan dengan adanya kepastian bisnis sampai tahun 2041 plus tentu saja uang kas USD 350 Juta (IDR 5,2T). Itulah penjelasan resmi FCX kepada para pemegang sahamnya pasca penandatanganan Head of Agreement yang bersifat non binding (tidak mengikat) Juli 2018.
Setelah pendatanganan perjanjian yang mengikat FCX menerbitkan release lagi, tepatnya ada tanggal ptanggal 28 September 2018. Dalam release tersebut FCX menyebutnya sebagai transaski divestasi saham PT FI. Disebutkan bahwa divestasi ini akan mempertahankan kepentingan pemegang pemegang saham lama (existing shareholder) dalam hal pendapatan dan biaya sebagaimana yang terjadi pada JV sesuai hak masing-masing pihak. Disebutkan pula bahwa transaksi ini diharapkan akan terlaksana sepenuhnya pada kuartal pertama 2019. Angka persentase saham sama seperti disebutkan di release per 12 Juli. Demikianlah transaksi saham PT FI dalam tinjauan FCX.
Bagaimana tinjauan RIO? Pada release resminya per tanggal 28 September 2018, RIO menyebut substansi dan nilai transaksi yang sama dengan release FCX. Tambahannya, karena release ini ditujukan kepada para pemegang saham RIO, maka disebutkan bahwa maksud transaksi ini adalah dalam rangka pelaksanaan komitmen jangka panjang memperkuat portofolio dengan menjual non core aset dan mencapai return yang lebih besar untuk seluruh bisnis, menjaga neraca yang kuat, mengalokasikan modal pada peluang yang bernilai lebih tinggi, dan menjadi perusahaan terdepan dalam imbal hasil kepada pemegang saham di industrinya.
RIO menyebut bahwa pada tanggal 31 Desember 2017 rugi yang ditanggung RIO atas operasional tambang Grasberg Papua adalah USD 169 juta. Disebutkan pula bahwa nilai aset kotor (gross asset) milik RIO yang ditransaksikan dalam release ini adalah bernilai USD 1,497 Milyar. Jadi dengan transaksi ini RIO mengubah dari JV tambang Grasberg yang rugi menjadi uang tunai sebesar 2,3x nilai gross asset.
FCX memperoleh keuntungan uang tunai dan kepastian bisnis sampai tahun 2041. Rio menerima uang berlipat dari nilai aset yang dilepas. Bagaimana Inalum? Selanjutnya Inalum akan menjadi pemegang saham pengendali PT FI dengan persentase saham sebagaimana disebut di atas. Tentu ini sangat bagus karena akan meningkatan pendapatan, laba, aset dan kapitalitasi pasarnya. Tentu saja Inalum akan berhak atas laba atau sebaliknya menangung rugi sesuai kepemilikan sahamnya. Laba atau rugi kedepan sangat ditentukan oleh perkembangan harga tembaga dan emas yang memang sangat fluktuatif sebagaimana karakter komoditas pada umumnya.
Atas kepemilikan tersebut Inalum harus membaayar tunai uang sebesar USD 3,850 Milyar. Bagaimana Inalum memperoleh dana yang dalam kurs sekarang bernilai IDR 58 Trilyun tersebut? Mari kita cermati. Pada publikasi laporan terbarunya, Inalum mencatatkan posisi aset per 31 Desember 2015 sebesar USD 1,134 dan utang sebesar 75 juta alias ekuitas USD 1,059 Milyar. Dari aset tersebut yang berupa aset lancar adalah USD 719 Juta. Bagaimana posisi akhir 2017? Tentu sudah mengalami perubahan. Tetapi karena laporan resmi belum dipublikasikan maka kita hanya bisa memperkirakan. Misalkan saja laba tahun 2016 dan 2017 adalah sama dengan laba tahun 2015 yang sebesar USD 79 Juta yang berupa uang kas atau piutang. Maka posisi akhir 2017 aset lancar Inalum adalah USD 877 Juta.
Jika Inalum dapat menggunakan separuh dari aset lancarnya yaitu USD 439 Juta, masih dibutuhkan tambahan dana USD 3,411 Milyar. Dari mana dana tersebut? kemungkinannya hanya ada dua: menerbitkan saham baru atau utang. Jika penerbitan sahan baru yang dipilih, penyetornya bisa pemegang saham saat ini yaitu pemerintah atau bisa juga pihak lain baik melalui private placement maupun melalui lantai bursa. Memperhatikan kondisi APBN yang selama ini defisit pemerintah nampaknya tidak memungkinkan untuk melakukan setoran modal sebesar kebutuhan tersebut. Alternatifnya adalah penerbitan saham baru yang dibeli oleh investor di luar pemerintah, baik melalui private placement ataupun melalui lantai bursa (IPO).
Perhitungannya, dengan laba USD 79 juta dan benchmark dari price to earning ratio PT Aneka Tambang Tbk -sesama BUMN- yang sebesar 19,55 maka nilai 100 persen saham Inalum adalah sekitar USD 1,544 Milyar. Artinya, untuk memperoleh USD 3,411 Milyar Inalum butuh menerbitkan saham baru dengan jumlah lembar saham 2,2 x saham milik pemerintah saat ini. Artinya, jika ini dilakukan maka saham pemerintah akan terdilusi hinga menjadi hanya sebesar sekitar 31%. Tentu masyarakat akan heboh karena pemerintah tidak lagi menjadi pemegang saham pengendali Inalum. Tuduhan “pemerintah menjual aset negara” akan menyebar luas walaupun faktanya pemerintah tetap memgang jumlah lembar saham persis seperti yang saat ini dipegang. Tidak ada salembarpun saham milik pemerintah yang dijual. Yang dijual adalah ”tanda tangan notaris” berupa saham baru. Alternatif ini nampaknya juga tidak akan diambil oleh Inalum atau pemerintah sebagai pemegang saham Inalum.
Alternatif terakhir adalah utang kepada bank atau obligasi. Jika ini dilakukan, utang inalum yang saat ini sebesara 0,07 x ekuitas (DER 0,07) akan langsung berlipat. DER akan menjadi sekitar 2,86. Utangnya 2,86 kali modal sendiri. Akan menjadi beban yang luar biasa berat bagi arus kas Inalum. Perusahaan pertambangan mestinya DER tidak boleh lebih dari 1.
Jika utang tersebut dilakukan pada bank nasional dengan mata uang rupiah, tiap tahun Inalum akan terbebani bunga sebesar sekitar USD 341 Milyar. Angka itu dihitung dengan beban bunga 10%. Secara arus kas, Inalum akan kebebanan lebih besar karena harus membayar cicilan pokok. Jika utang dilakuan dengan periode 5 tahun maka total pembayaran pokok dan bunga akan menjadi sebesar USD 1,023 Milyar. Tentu ini akan sangat memberatkan Inalum. Apalagi jika harga produk PT FI sedang pada posisi flukutiasi bawah dan mengakibatkan kerugian. Sebagaimana release RIO di atas contohnya, tahun 2017 PT FI justru membebankan kerugian bagi RIO.
Bagaimana jika utang dilakukan dari bank asing dengan mata uang asing? Katakan dengan mata uang USD, memang tingkat bunganya akan lebih rendah. Tetapi sejatinya kurang lebih bebannya akan sama karena faktor perbedaan inflasi.
Uraian di atas telah menggambarkan posisi para pihak yang terlibat dalam bisnis tambang tembaga dan emas terbesar di dunia di Grasbeg, Papua, Indonesia. FCX dan RIO tinggal menunggu duit dari Inalum dan perpanjangan kontrak sampai tahun 2041 dari pemerintah RI. Andai saya jadi CEO FCX atau RIO, saya akan pastikan tiapa adzan sudah berada di masjid untuk memanfaatkan waktu mustajabah doa antara adzan dan iqomah. Akan berdoa khusuk dalam sujud salat sunnah rowatib di waktu tersebut karena sujud adalah posisi mustajabah doa juga. Mengumpulkan dua kondisi mustajabah doa agar Inalum sukses mendapatkan uang dan membayar sesuai komitmen. Kesuksesan transaksi ini adalah prestaasi bagi CEO kedua perusahaan itu.
Bagi inalum sekarang saatnya berpikir keras bagaimana menyelasikan beban berat di atas. Beban sangat berat yang untuk setiap jalan keluarnya harus menghadapi tembok tebal nan tinggi. Kenapa tembok besar nan tinggi? Karena Inalum yang bukan fully public company mengakusisi saham RIO dan FCX yang fully public company adalah sesuatu yang terbalik. Yang selalu terjadi adalah fully public company yang akses modalnya murah dan nyaris tak terbatas mengakusisi perusahaan yang belum fully public company seperti Inalum itu.
Sebagai gambaran, untuk mendapatkan uang senilai transaksi tersebut yaitu USD 3,85 Milyar RIO cukup menerbitkan saham baru di lantai bursa sebesar sekitar 4,2% dari saham saat ini. Freeport pun kurang lebih. Cukup menerbitkan saham 19% untuk mendapatkan uang tersebut. Atas penebitan saham tersebut, biaya modal secara arus kas bagi RIO dan FCX adalah sebesar divident yield mereka yaitu masing-masing sebesar 4,95% dan 1,44% (pertahun). Modal yang sangat murah. Bandingkan dengan Inalum yang kalau hutang harus keluar arus kas sekitar 30% pertahun. Terbalik kan?
Pertanyaannya, tidak adakah alternatif lain bagi bangsa ini untuk memiliki perusahaan tambang besar sekelas FCX atau RIO? Ada. Tapi kalau saya bahas, tulisan ini akan jadi sangat panjang. Lagi pula saya sudah menuliskannya di banyak artikel dan kesempatan. Silakan googling sambil mendoakan Inalum sukses menyelesaikan transaksi yang sangat berat ini. Semoga. Ditulis di kantor pusat SNF Consulting, 3 Oktober 2018.
*) Oleh Iman Supriyono, CEO SNF Consulting, Twitter/IG/TG: @imansupri
Advertisement