Bayi Tertukar di Bogor Mirip Dewi-Cipluk
Oleh: Djono W. Oesman
Kemelut bayi tertukar di Bogor, akhirnya ditengahi Plt Bupati Bogor, Iwan Setiawan, menyatakan: “Bayi dan orang tua kedua pihak harus tes DNA. Kalau hasil tes disimpulkan tertukar, ya… bayi harus ditukar.”
—----------
Padahal, bayi itu dilahirkan setahun lalu. Atau, sudah setahun ini tertukar. Orang tua masing-masing bayi sudah merawat dengan kasih sayang. Baru ketahuan bayi tertukar. Bisa dibayangkan, bagaimana kalau nanti diputuskan harus ditukar?
Bupati Iwan kepada wartawan: "Ini urusan biologis. Tidak bisa saling ngotot dan saling keukeuh mempertahankan. Solusinya harus ada tes DNA. Kalau memang jelas tertukar, ya artinya harus ditukar, dengan kami sebagai penengah.”
Ditanya wartawan, apakah pihak RS akan dikenakan sanksi? Iwan menjawab begini:
"Mungkin ada sanksi. Karena ini kelalaian yang berdampak cukup luar biasa.”
Seperti diberitakan, Siti Mauliah, 37, warga Bogor melahirkan bayi lelaki secara Caesar di RS Sentosa, Bogor, Senin, 18 Juli 2022 siang. Ditunggui suami, Muhammad Tabrani, 52. Setelah bayi dibersihkan perawat, diserahkan ke Siti untuk disusui.
Malamnya sekitar pukul 23.00 WIB, perawat mengambil bayi itu untuk ditidurkan di boks, di ruang bayi. Esoknya, sekitar pukul 06.00 WIB perawat menyerahkan bayi itu ke Siti untuk disusui.
Siti kepada wartawan: “Bayinya beda. Yang kemarin kulitnya putih, ini agak gelap. Yang kemarin rambutnya tipis kayak bapaknya, ini rambutnya gembal banget.” Siti melaporkan itu ke perawat.
Dijawab perawat, bahwa itulah bayi Siti. Bayi yang disusui Siti kemarin. Walaupun saat itu (hari ke dua) bayi ogah disusui, kata perawat, itu hal biasa. Nanti akan menyusu sendiri.
Kamis, 21 Juli 2022, jelang pulang, Siti komplain lagi ke perawat, Siti merasa bayi itu tertukar. Minta perawat memeriksa lagi. Ditegaskan perawat, bayi tidak tertukar. Itu bayi Siti. Suami Siti, Tabrani menenangkan isterinya: “Sudahlah Ma… jangan disoal lagi. Mana mungkin rumah sakit salah? Ini anak kita.” Lalu, Siti sekeluarga pulang dari RS.
Jumat, 22 Juli 2022 siang. Dua petugas RS Sentosa mendatangi rumah Siti. Minta label bayi (biasa dikaitkan di kaki bayi) yang terbawa. Siti mencari, tidak ketemu. Dia ingat, saat membawa pulang bayi, memang ada label di kaki. Lalu dicopot. Kini dicari tidak ketemu. Petugas RS pulang tangan hampa.
Sabtu, 23 Juli 2023 Siti menemukan label dimaksud. Di situ dia kaget luar biasa. Label itu bertulisan: “Ny Dian”.
Segera, Siti diantar suami kembali ke RS Sentoso. Komplain lagi. Menurut Siti, ini jelas bayi tertukar dengan bayi Ny Dian. Tapi, lagi, pihak RS Sentosa menegaskan, bayi tidak tertukar. Perawat mengatakan: “Yang tertukar cuma labelnya.”
Terpaksa, Siti dan suami pulang. Bayi itu diberi nama Muhammad Rangkuti Galuh. Dirawat dengan sayang. Lama-lama bayi mau juga disusui Siti.
Pertengahan Mei 2023 kegundahan Siti tak bisa ditahan lagi. Dia yakin bayi itu tertukar. Dia bersama suami mendatangi RS Sentoso. Kali ini langsung minta tes DNA. Permintaan dituruti pihak RS. Tes DNA dilakukan di laboratorium di Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Hasilnya: DNA bayi itu tidak identik dengan Siti dan suami. Artinya, Rangkuti Galuh bukan anak Siti-Tabrani. Tingkat akurasi tes DNA 99 persen. Meledak-lah tangis Siti. Waktu itu sudah sepuluh bulan sejak kelahiran.
RS Sentosa melalui Bagian Legal, Gregorius B. Djako cepat bertindak. Mendatangi rumah Ny Dian. menjelaskan persoalan. Lalu, meminta Dian dan bayi yang dia rawat selama ini diuji DNA.
Gregorius kepada wartawan: “Sebab, setelah kami cek data RS Sentoso, kelahiran bayi lelaki pada Senin, 18 Juli 2022, cuma ada dua. Yakni, bayi Siti dan bayi ibu itu. Selebihnya bayi perempuan. Jadi, kuat dugaan bahwa bayi Ny Siti tertukar dengan bayi ibu itu.”
Ternyata, Ny Dian menolak tes DNA. Alasan, tanpa alasan. Pokoknya Dian yakin bahwa itu bayinyi. Tak perlu dites lagi.
Jalan buntu. Siti melapor ke Polres Bogor. Menurut Siti, dia merasa polisi tidak segera mengusut. Sementara, dia sudah galau berat. Karena sudah ada kepastian tes DNA bahwa Rangkuti Galuh bukan anaknya.
Kasat Reskrim Polres Bogor, AKP Redhoi Sigiro kepada wartawan mengatakan: “Intinya, pengaduan ini sudah diterima pimpinan kami. Kami akan melakukan klarifikasi atau interogasi kepada pihak-pihak terkait.”
Kasus ini viral sejak pekan lalu. Belum ada penyelesaian.
Ini perkara langka. Pernah terjadi di Jakarta pada 1987. Bayi tertukar sampai 1,5 tahun. Berakhir melalui vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dikutip dari Jawa Pos, Nova, Tempo, terbitan awal April 1987, bayi yang tertukar itu bernama Dewi dan Cipluk. Anak pasutri Kartini - Suripno dan Nuraini - Ambam Hidayat. Waktu itu heboh luar biasa. Sampai difilmkan berjudul: "Dewi dan Cipluk, Semua Sayang Kamu".
Dewi dan Cipluk sama-sama dilahirkan di Puskesmas Cilandak, Jakarta Selatan, 28 Maret 1987. Yang lahir di Puskesmas tersebut di tanggal itu, ya cuma dua bayi itu.
Kronologi versi Kartini:
Sabtu, 28 Maret 1987 sekitar pukul 12.00 WIB. Kartini melahirkan bayi perempuan di Puskesmas Cilandak, Jakarta Selatan. Setelah lahir, bayi itu dibersihkan perawat. Beberapa waktu kemudian diserahkan ke Kartini untuk disusui.
Kemudian, datanglah Nuraini masuk dan mendekati Kartini yang tiduran bersama bayi. Nuraini juga baru saja melahirkan bayi perempuan di Puskesmas itu.
Kartini kepada wartawan: "Nuraini mendatangi saya, lalu ngobrol soal bayi yang baru lahir. Dia seperti memberi perhatian berlebih pada bayi saya."
Firasat Kartini itu terbukti. Nuraini, menjelang meninggalkan Kartini, bilang begini: "Itu bayi saya loh, Bu..."
Kartini kaget. Spontan dia membantah dengan keras. Terjadi keributan. Dilerai perawat. Akhirnya didamaikan.
Ruangan ibu dan ruangan bayi berbeda. Maka, setelah bayi selesai disusui Kartini, bayi dikembalikan lagi ke ruang bayi.
Senin, 30 Maret 1987 Kartini boleh pulang. Saat itulah ia merasa, bahwa bayi yang diberikan perawat itu bukan bayi yang dia susui kemarin.
Kartini: "Anak yang saya lahirkan kupingnya lebar, berambut tebal. Waktu saya akan pulang, diberi perawat bayi berkuping kecil, berambut tipis."
Seketika itu Kartini protes. Pengelola Puskesmas mengumpulkan para perawat untuk klarifikasi. Hasilnya, para perawat meyakinkan bahwa tidak terjadi bayi tertukar. Yang dibawa Kartini adalah bayi yang dilahirkan Kartini.
Kartini didampingi suami, pulang. Membawa bayi itu. Walaupun Kartini merasa yakin, bahwa itu bukan bayinyi.
Rabu, 1 April 1997 Kartini kembali ke Puskesmas membawa bayi. Waktu itu Nuraini dan bayinyi sudah pulang dari Puskesmas. Kartini komplain keras, bahwa itu bukan anaknyi. Lalu, ia menyerahkan saja bayi itu ke Puskesmas.
Kartini: "Dua hari saya bersama bayi itu. Hati saya tidak bisa menerima. Akhirnya, saya kembalikan saja bayi itu ke Puskesmas."
Hari demi hari berlalu. Bayi itu dirawat pihak Puskesmas. Sehat. Cantik. Lucu. Pipinya gempil. Diberi nama oleh perawat di sana: Cipluk.
Pemberian nama itu terasa agak sembarangan. Orang Jawa suka bercanda soal buah Ciplukan (Physalis Angulata). Itu tanaman liar yang biasa tumbuh di tegalan, sawah kering, dan sekitar hutan. Candaannya: "Kutunggu di bawah pohon Ciplukan." Padahal Ciplukan tanaman perdu.
Beberapa waktu kemudian nama Cipluk diganti Noni.
Peristiwa itu heboh. Media massa memuat besar-besaran. Waktu itu, belum pernah terjadi kasus seperti itu.
Kronologi versi Nuraini:
Diceritakan oleh kuasa hukum Nuraini, Furqon W. Authon dari LBH Jakarta. Zaman itu LBH Jakarta memberi layanan advokasi gratis bagi warga yang tidak mampu ekonomis. Jadi, Furqon tidak dibayar Nuraini alias gratis.
Furqon cerita begini: Sabtu, 28 Maret 1987 jelang sore. Nuraini baru saja melahirkan bayi perempuan, beberapa jam sebelumnya di Puskesmas Cilandak.
Sore itu, Nuraini dari kamarnya mendengar suara tangis bayi di ruang bayi. Meski baru melahirkan, dia sudah bisa berjalan. Maka, dia bangkit dari bed, jalan menuju ruang bayi. Dia lihat bayi menangis itu. Dia yakin, itulah bayi yang baru dia lahirkan.
Furqon: "Naluri ibu tahu, itulah anaknyi. Lalu, bayi itu disusui Nuraini. Kemudian digendong, dibawa ke ruang ibu, dikeloni. Perawat sedang tidak ada."
Ketika perawat masuk ruang bayi, kaget. Semula ada dua bayi (di boks terpisah) kini tinggal satu bayi. Satu boks lagi kosong. Setelah diperiksa, ternyata dibawa Nuraini. Maka, bayi diambil perawat untuk dimandikan. Dua bayi dimandikan dua perawat.
Furqon: "Setelah dua bayi dimandikan itulah, perawat menyerahkan bayi-bayi ke ibu mereka. Nah, Nuraini merasa bayinyi tertukar. Lalu dia mendatangi kamar Kartini, dan mengatakan bahwa bayi yang disusui Kartini itu bayi Nuraini."
Akhirnya, Nuraini membawa pulang dan merawat bayi yang dia beri nama Dewi. Sebaliknya, Kartini mengembalikan bayi ke Puskesmas, dan menuntut bayi bernama Dewi itu anak dia.
Persoalan sederhana tapi jadi rumit. Penyebabnya, di zaman itu penanda bayi adalah karton kecil putih, tertera nama ibu yang melahirkan. Karton itu digantung di boks. Bukan di kaki bayi.
Polisi untuk pertama kali mengusut kasus bayi tertukar. Langkah polisi adalah pemeriksaan darah. Waktu itu di Indonesia belum ada uji DNA.
Uji DNA (Deoxyribonucleic Acid) diciptakan dan dipublikasi 1986 oleh Sir Alec Jeffreys dari Universitas Leicester, Inggris. Dikomersialkan di Inggris, November 1987. Harga tesnya miliaran rupiah pada zaman itu.
Pemeriksaan darah terhadap dua bayi itu dilaksanakan di Palang Merah Indonesia Jakarta. Cuma terhadap Dewi, yang diperebutkan.
Hasilnya: Dewi berdarah AB. Dokter menyatakan: Dewi kecil kemungkinan dilahirkan, baik oleh Nuraini maupun Kartini. Ruwet sekali.
Kasus ini kemudian disidangkan. September 1988 vonis hakim, Dewi adalah anak kandung Kartini.
Kartini bersorak gembira. Nuraini menangis meraung-raung, saat dipaksa menyerahkan Dewi ke Kartini. Beberapa hari kemudian Nuraini mengambil Cipluk di Puskesmas dan merawat sebagai anak, setelah usia Cipluk 1,5 tahun.
Apakah kasus bayi Siti di Bogor bakal seperti Dewi dan Cipluk? Tergantung, apakah polisi bisa memaksa Ny Dian tes DNA? Kunci kasus ini cuma di situ.
*) Wartawan senior