Bayar Pakai Botol, Kuat Sampai Kapan?
Naik bus bayar dengan botol plastik, jika dikonversikan dengan uang sebenarnya nilainya jauh dari nilai keekonomian.
Bus yang ditumpangi berkode SB-05, Aditya Noval, siang itu yang menjadi kondekturnya. Beda dengan kondektur bus kota lainnya, yang biasanya kusam, seragam yang dipakai Aditya kasual banget. Dengan menggunakan topi merah, kemeja biru gelap dan celana tactical army, Noval terlihat trendy. Di tangannnya ada smartphone yang dipadu dengan alat pencetak e-tiket.
Berangkat dari Terminal Purabaya, awalnya penumpang tak terlalu penuh, namun jumlah penumpang semakin bertambah saat menyisir jalan di Surabaya. Rutenya Terminal Purabaya sampai dengan Jalan Rajawali. Jaraknya sekitar 23 km. Jarak sepanjang ini ditempuh dalam waktu sejam. Sampai di Jalan Rajawali, bus ini tidak ngetem, melainkan langsung jalan. Saat perjalanan balik, ditempuh dalam waktu 1,5 jam.
Selama perjalanan bolak balik, hanya ada dua penumpang yang membayar dengan botol. Botol-botol setoran penumpang ini dimasukkan dalam kotak sampah dalam bus.
“Nantinya, kalau sudah diberlakukan bayar pakai botol, di setiap halte akan ada petugas yang akan menukarkan botol dengan tiket bus. Jadi botol tak perlu dibawa masuk dalam botol,” kata Aditya.
Ketentuan bayar dengan botol plastik ini sebenarnya tergolong unik. Setiap penumpang yang akan naik bus ini wajib bayar dengan botol plastik. Jika ukuran besar, cukup setor dengan tiga botol, kalau tanggung lima botol sedangkan kalau gelas 10 buah.
Secara perhitungan ekonomis, sebenarnya bayar dengan botol plastik ini tak masuk akal. Hitungan kasar, setiap botol kosong beratnya kira-kira 20 gram. Jika harus menyerahkan lima botol plastik ukuran tanggung, maka berat total botol plastik itu, 100 gram. Pasar barang rongsok, botol plastik biasanya dihargai Rp. 8.000/kg. Jadi, jika ada penumpang membayar dengan lima botol plastik, maka nilainya setara dengan Rp. 800. Padahal, untuk operasional Suroboyo Bus ini, setidaknya setiap unit butuh 210 liter solar per hari
Tarif ini tentu saja lebih jauh lebih murah dibandingkan dengan tarif bus kota konvensional yang kondisinya lebih bobrok. Tarif bus kota di Surabaya, sekitar Rp. 5.000. Pertanyaannya kemudian, sampai kapan Suroboyo Bus akan tetap bertahan jika terus merugi?
“Sebenarnya ada delapan unit. Namun yang dioperasikan baru enam unit karena Pemkot baru mampu biaya operasional untuk 6 unit bus saja. Setiap bus dalam sehari dijatah 210 liter solar,” kata Andika, pengawas Suroboyo Bus di Terminal Purabaya.
Kepala Dinas Perhubungan Kota Surabaya, Irvan Wahyudrajat secara tegas menyatakan jika dalam operasionalnya tetap Suroboyo Bus ini akan tetap menggunakan pembayaran botol plastik sebagai alat tukarnya. Karena pada prinsipnya bus ini sebenarnya gratis.
“Bayar dengan botol plastik itu sebenarnya bagian dari kampanye kepada warga untuk mau menjadi nasabah Bank Sampah,” kata Ivan.
Dia menjelaskan, konsep yang diinginkan sebenarnya warga Surabaya mau menjadi nasabah Bank Sampah. Setelah setor sampah itu kemudian akan mendapatkan stiker yang bisa digunakan untuk naik Suroboyo Bus.
Dia juga tak menampik jika operasional Suroboyo Bus ini sebenarnya merugi jika hanya membayar dengan botol plastik. Namun kata dia, di negara mana pun pengelola transportasi publik pasti akan merugi jika dilihat dari sisi finansial.
“Kalau dihitung dari sisi finansial memang merugi. Namun kita melihatnya dari sisi analisa ekonomi dan multiplier efect yang ditimbulkan. Misalnya ekonomi menjadi berjalan karena jalanan tidak macet. Distribusi barang juga semakin lancar. Belum lagi soal kehilangan nyawa dalam kecelakaan yang tak pernah diperhitungkan,” ujar dia.
Namun meski tak menutup kemungkinan bakal merugi dalam operasionalnya, Pemerintah Kota Surabaya tetap akan mendirikan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk mengelola Suroboyo Bus secara profesional. Karena Irvan yakin, jika akan tetap ada pemasukan untuk Suroboyo Bus seperti misalnya dari reklame atau dana corporate social responsibilty.
“Sekarang saja, sudah ada dua bus sumbangan dari CSR. Sehingga total ada 10 bus,” ujar Irvan.
Suroboyo Bus ini sebenarnya bagian dari rencana besar Pemerintah Kota Surabaya untuk menyediakan angkutan massal. Seperti diketahui, Pemkot sudah menandatangani kerjasama dengan pemerintah pusat untuk pembangunan trem dan Light Rail Transit (LRT). Nah Suroboyo Bus ini akan dijadikan trunk atau semacam feeder dengan kapasitas penumpang lebih besar.
“Ke depan akan kita sediakan, feeder yang masuk ke dalam kampung-kampung dengan kapasitas 16 penumpang. Dari feeder ini bisa diumpankan ke trunk yaitu Suroboyo Bus atau langsung ke trem yang lebih massal jumlah penumpangnya,” ujar Irvan.
Advertisement