Bayang-bayang Gatot di Antara Pertarungan El-Classico Prabowo dan Jokowi
Setidaknya, dari berbagai nama yang muncul dalam percaturan bakal capres pesaing Jokowi, Gatot telah muncul sebagai barang baru yang tampak lebih siap dibanding yang lain. Tinggal lapak yang akan menjajakannya yang belum pasti.
Mungkinkah mantan Panglima RI Gatot Nurmantyo menjadi salah satu penantang Joko Widodo dalam Pemilu Presiden 2019 mendatang? Peluang itu masih ada.
Mari kita lihat. Saat ini, partai pendukung Jokowi sudah begitu gemuknya. Hanya tinggal satu koalisi lagi yang bisa mengusung capres lainnya.
Lalu siapa sosok yang sudah pasti muncul? Yang sudah resmi deklarasi adalah Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. Partai yang dipimpinnya juga sudah siap menjadi kuda tunggangan menuju istana.
Sayangnya, partai ini tak cukup modal mengusung kencana bagi tuannya sendiri. Ia harus bergandeng dengan partai lain. Perolehan suaranya tak cukup memenuhi Presidential Treshold 20-25 persen. Sebuah batas minimal kursi parpol untuk bisa mengusung calon presiden.
Jika menilik perolehan suara Pileg 2014 dan jumlah kursi di DPR RI, tak satu pun partai bisa mengusung calon presiden sendirian. PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu 2014 pun hanya bisa mendulang 18,95 persen. Jumlah kursi di DPR hanya 19,4 persen. Berarti masih harus berkoalisi dengan partai lainnya.
Lalu Gerindra yang sudah ancang-ancang mengusung Prabowo baru bisa mendulang 11,81 persen. Sedangkan kursi di DPR 13 persen. Masih dibutuhkan berkoalisi dengan minimal satu partai besar atau lebih dari dua partai kecil.
Demokrat yang pernah menjadi partai penguasa dua periode semasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak mungkin berangkat sendiri. Kecuali dengan PDI Perjuangan atau Golkar, butuh minimal dua partai untuk mengusung capres.
Otak Atik Koalisi
Sampai dengan dua bulan menjelang pendaftaran Pilpres, yang sudah pasti bisa melenggang menjadi calon baru Jokowi. Ia didukung koalisi besar: PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem, PPP, Hanura, dan sejumlah partai gurem pendukung pemerintah.
Bagaimana PKB? Sampai sekarang, partai berbasis NU ini masih "jual mahal" karena Ketua Umumnya Muhaimin Iskandar sudah mendeklarasikan diri sebagai bakal calon wakil presiden. Meski masih menjadi koalisi partai pemerintah, ia berusaha memainkan pendulum politik.
Namun, dengan modal perolehan suara 9,04 persen, PKB punya keterbatasan. Ia tidak bisa menjadi leader dalam membentuk koalisi baru. Katakanlah bermain dengan Demokrat, masih dibutuhkan dukungan partai lain untuk bisa membangun gerbong mengusung capres dan cawapres.
Di pihak lain, kaolisi pengusung yang mempunyai peluang menggotong calon adalah Gerindra, PKS, PAN, dan sejumlah partai kecil sealiran seperti Partai Bulan Bintang (PBB). Koalisi ini sudah bisa mengumpulkan jumlah suara di atas Prasidential Treshold dengan total 26,19 persen suara. Sudah cukup untuk menjadi kendaraan.
Dengan melihat peta koalisi ini, maka kemungkinannya hanya akan muncul 2 calon yang akan bertarung. Jokowi melawan pasangan yang diusung koalisi Gerindra Dkk. Jika peta koalisi ini mengkristal sampai dua bulan mendatang, maka PKB dan Demokrat yang masih di garis abu-abu akhirnya akan berlabuh ke dua spektrum koalisi politik besar itu.
Prabowo Factor
Akankah Prabowo melakukan hatrick dalam pertarungan pilpres di Indonesia? Sekadar mengingatkan, jika kali ini ia jadi mencalonkan sebagai capres, maka ini kali ketiga ia mengikuti pertarungan menuju istana.
Pertama, ia bertarung sebagai cawapres mendampingi Ketum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri melawan SBY di pilpres 2009. Saat itu, pasangan ini harus mengakui keunggulan SBY yang maju untuk periode kedua. Ini artinya kekalahan pertama diderita Prabowo dalam pilpres.
Jenderal mantan menantu penguasa Orde Baru selama 32 tahun, Soeharto, ini maju menjadi capres berpasangan dengan Hatta Rajasa dalam Pilpres 2014. Ia melawan Jokowi. Dan pemenangnya adalah: Jo...ko...wi!
Inilah kekalahan kedua Prabowo dalam kontestasi menuju istana. Kalah pertama sebagai cawapres dan kekalahan kedua sekaligus pertama sebagai capres.
Akankah ia mencoba peruntungan lagi untuk ketiga kalinya? Yang sudah pasti Prabowo telah mendeklarasikan diri sebagai bakal calon presiden dari Gerindra.
Bahkan, ia sempat diisukan "pernah dirayu" untuk menjadi wakilnya Jokowi. Namun, dengan tegas ia menyatakan: tidaaak...
Namun, kesediaannya untuk bertarung sebagai capres kali kedua tidak seyakin saat pilpres lalu. Ada kesan kegamangan untuk bertarung secara total. Ibarat pertandingan sepak bola, kali ini tidak mengesankan akan total football seperti sebelumnya.
Kegamangan Prabowo ini bisa dimengerti. Apa pun titik tumpu pertarungan kali ini berbeda dengan sebelumnya. Jika sebelumnya ibarat ia sama-sama start dari nol seperti Jokowi. Kali ini, ia harus berangkat dari pool yang lebih belakang.
Sebagai incumbent, Jokowi sudah jauh di depan. Sebagai presiden ia punya sumberdaya yang lebih kaya dan besar dibanding Prabowo. Punya amunisi yang lebih banyak dan beragam. Butuh energi yang jauh lebih besar bagi Prabowo untuk memulai pertarungan lagi.
Apakah Prabowo masih punya cukup amunisi untuk melawan incumbent? Ini pertanyaan besar. Celah yang diharapkan adalah keadaan obyektif perkembangan politik dan ekonomi yang bisa melemahkan Jokowi.
Jadi andalannya faktor ekternal dan kelemahan lawan. Bukan kekuatan yang dimilikinya. Bertarung dengan kontrol ada di faktor eksternal, tentu akan lebih tidak menentu dibanding kekuatan diri yang bisa dihitung dari awal.
Kutukan Marketing
Dalam dunia marketing ada keajegan yang bisa menjadi pola. Hampir semua produk gagal yang di-relaunching tidak bisa sukses. Hanya beberapa produk gagal berhasil diluncurkan ulang. Itupun harus melalui kemasan baru dan perbaikan-perbaikan produk.
Apakah Prabowo sebagai "product" sudah melakukan pembaruan-pembaruan diri sesuai dengan kebutuhan "pasar"? Sampai sekarang kita belum tahu. Namun dari yang tampak di permukaan, tidak banyak perubahan dalam "product". Keunggulan yang "dijual" belum banyak berubah.
Jika tidak ada perubahan yang signifikan dari "product" yang diluncurkan kembali, maka harapan untuk sukses akan jauh dari panggang api. Alias agak sulit untuk mengharapkan sukses. Tampilnya kembali Prabowo sebagai capres belum memberikan efek kejut, apalagi efek ungkit.
Nah, disinilah Gatot mempunyai celah untuk menjadi "product" baru yang bisa dijual di "lapak" yang sama. Persoalannya, maukah Gerindra, PAN dan PKS "menjual" barang baru untuk ditandingkan dengan Jokowi yang sedang menguasai "pasar" dalam Pilpres yang tinggal setahun lagi?
Setidaknya, dari berbagai nama yang muncul dalam percaturan bakal capres pesaing Jokowi, Gatot telah muncul sebagai barang baru yang tampak lebih siap dibanding yang lain. Tinggal lapak yang akan menjajakannya yang belum pasti.
Cium tangan Gatot ke SBY adalah upaya mencari "tunggangan" menuju istana. Kalau Prabowo juga mengikhlaskan partainya untuk mengusung Gatot, maka pertarungan pilpres mendatang akan lebih menarik. Dua jenderal "jualan" barang baru yang jenderal pula.
Tentu, siapa akhirnya calon dari koalisi non pemerintah yang akan diusung di Pilpres mendatang? Prabowo memang tetap di opsi pertama. Namun, kegamangan dan kutukan ''produk lama'' menjadi kendala tersendiri. Kecuali ada kondisi istimewa yang membuat ia sebagai ''produk lama'' bisa moncer kembali.
Dalam situasi seperti itu, Gatot yang sesama jenderal dan mempunyai irisan pendukung yang sama bisa menjadi bayang-bayang kuda hitam. Ia berkawan dekat dengan sejumlah pengusaha besar yang bisa menjadi ''bandar'' dalam pilpres. Ia juga bisa diterima kelompok Islam formalis yang memang tak menginginkan tampilnya Jokowi lagi.
Kerelaan Prabowo untuk sekadar menjadi king maker dalam pilpres kali ini akan makin memberi ruang besar kepada Gatot jika bertemu dengan kepentingan SBY untuk menyiapkan ''karpet merah'' bagi masa depan politik anaknya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Yah, peta politik pada akhirnya memang terbentuk dari bertemu dan saling bersinggungannya kepentingan antar kelompok dan elit yang ada. Bidak catur pilpres 2019 juga kurang lebih demikian. (Team Editor)
Advertisement