Batu Kelam Tetesan Hujan
Cerpen
oleh Metta Mevlana
Tepat saat itulah ia tiba, ketika aku baru selesai mengibaskan tangan setelah menggelindingkan sebutir batu. Benda hitam nyaris bulat sempurna seperti bola meluncur tak terkendali dari tempatku berdiri di halaman rumah hingga ke sungai di bawah sana dengan laju sekencang badai. Orang itu berjalan menujuku. Lelaki yang kukenali sebagai suamiku.
Setelah dua tahun menghilang, ia kembali. Bukannya aku tak senang, tetapi aku juga tidak bisa disebut senang. Mungkin karena aku sudah melepas harapan untuk bertemu lagi dengannya. Menggelindingkan harapan itu keluar dari hidupku seperti yang baru kulakukan pada batu nyaris bulat sempurna itu. Akan tetapi, bagaimanapun aku memasang senyum untuknya. Sekadar untuk membalas yang sudah tersungging kaku di mulutnya.
Tak ada permohonan maaf. Yang palsu sekali pun. Tak apa. Ia bisa melakukan apa saja yang sudah semestinya dilakukan sebab aku juga melakukan apa seharusnya kulakukan, bergeming serupa hamparan awan hitam Haur Uljanati yang sudah muncul sejak awal fajar kemarin lusa —tak berselang lama setelah ia menghubungi untuk menyampaikan kabar kepulangannya— namun tak kunjung memuntahkan isi perutnya hingga pagi hari ini.
”Aku harus mengurus tugas penting di luar kota. Tahu sendirilah bagaimana keadaan perusahaan keluargaku saat ini.”
Itu adalah alasan yang dia berikan saat hendak pergi. Aku menerimanya walau merasa ada sesuatu yang mengganjal. Benar saja, itu bukan jawaban sebenarnya. Dari seorang pegawai wanita yang diam–diam bersimpati padaku, aku tahu kalau ia pergi menemui kekasih lamanya. Memunguti kembali kembang kenangan mereka yang tercecer untuk dirakit ulang menjadi sebuah buket baru. Keluarga besarnya memang telah menggadang–gadang perempuan itu menjadi menantu pilihan. Wajar saja. Perempuan itu sempurna. Sementara aku hanya sebuah kewajiban yang sudah kadaluwarsa. Seorang perempuan yang harus dinikahinya karena ”sudah telat lima minggu” akibat kegemarannya mengizinkan para betina pemujanya mencecap kejantanannya.
Aku masih ingat bagaimana rahang pada wajah tampannya mengeras dari mulai akad nikah hingga pesta kecil kami. Sementara aku lebih banyak menatap perutku yang masih rata, aman dari tatap menyelidik siapa saja, meski kasak–kusuk tetap ada. ”Heran. Selama ini, kan, pacarnya cantik–cantik. Kok, menikahnya sama yang itu. Namanya saja yang cantik. Hamilkah?”
”Harus kuingatkan dari awal bahwa pernikahan kita nanti tak akan kupertahankan lama–lama. Setelah anak itu lahir kita bisa berpisah. Sekarang aku hanya melakukan kewajibanku. Kau mengerti?! Tuhan, kenapa kau mesti bunting, sih?! Menikahimu adalah kerikil bagi langkahku!”
Kerikil. Setidaknya waktu itu ia hanya menyebutku kerikil. Bukan batu. Apalagi yang nyaris bulat sempurna hingga bisa digelindingkannya keluar begitu saja dari hidupnya. Tapi aku tak pernah lupa kalau kerikil bisa digenggam dengan mudah, lalu dilemparkan kapan saja. Aku telah bersiap diri semenjak hari pertama. Jadi sesungguhnya aku tak terlalu terkejut juga saat ia pelan-pelan menghilang. Seperti yang disampaikan sendiri lewat pesan singkat sekitar tiga minggu setelah kepergiannya. Ia pergi dengan persetujuan keluarga besarnya yang masih tidak bisa melupakan bakal menantu kesayangan mereka. Terlebih saat itu si perempuan tengah menderita sakit parah dan ingin meninggal dalam pelukan kekasihnya. Jadi, bersiaplah suamiku tercinta untuk menunaikan tugas mulia. Kewajiban dari cinta yang kini dengan begitu kejam merubah wujud jasmaninya.
Aku selalu beranggapan ia telah hidup bahagia bersama wanita yang dicintainya meski sekejap saja. Jadi, sungguh tak pernah kubayangkan, laki–laki yang semula tinggi tegap itu terlihat sekuyu tebu yang dilindas tirani mesin pemeras dan menua lebih cepat dari seharusnya. Kepalanya penuh helain benang perak dan di wajahnya keriput menyembul serupa ratusan cacing yang menyaru di permukaan tanah. Kulitnya yang semula legam namun berpendar kerling bintang itu nampak kusam dan pucat. Tubuhnya tergilas hingga setipis layang–layang. Satu embusan angin sedikit keras akan membuatnya terangkat ke langit, lalu menghilang. Seperti sang Haur Uljanati yang dikutuk ayahnya karena mencintai makhluk fana.
Setelah beberapa saat berdiri saja di halaman, aku mempersilakannya masuk ke rumahku. Iya, rumahku. Rumah baruku sejak delapan bulan ini. Rumahku sendiri.
”Jadi, kau menjual rumah kita?” tanyanya keesokan harinya. Ia sudah terlihat jauh lebih segar dari kemarin.
”Benar,” ujarku. ”Terus terang aku sempat berpikir kalau kau tidak akan pernah kembali. Jadi aku menjual rumah itu.”
”Tidak apa–apa,” ujarnya sambil tersenyum dan melanjutkan, ”Lalu uangnya kau pakai membeli rumah ini? Baiklah.”
”Tidak,” jawabku cepat. ”Aku membeli rumah ini dengan uangku sendiri. Uang hasil penjualan rumahmu aku sumbangkan ke panti asuhan. Semuanya.”
Ia menaikkan alisnya. Rasa terkejut memberi rona pada pipinya yang masih kurang warna. ”Jadi aku tidak punya hak apa–apa atas rumah ini?”
”Tidak,” ujarku singkat, sembari memalingkan muka, menatap awan jelmaan sang bidadari surga yang dikhianati orang tercintanya itu —yang masih kukuh berdiam di tempatnya sejak empat hari lalu; dalam kelabu, ia terlihat seperti sedang balas menatapku. Seberapa deras hujan yang akan terburai darinya? Airkah yang akan turun nanti?
Aku suka rumah ini. Letaknya dekat sungai. Suasananya tenang meski di tengah kota, seakan ia memiliki semacam penyaring kegaduhan yang dihasilkan dunia luar sana. Sangat tepat untuk memulai hidup baru setelah seluruh kehidupanku yang sebelumnya terserak ke mana–mana; anak yang ketika itu masih dalam kandunganku terpaksa digugurkan. Dokter berkata kandunganku lemah. Dari mulutku mungkin keluar kalimat yang mengatakan aku telah siap jika suamiku menghilang sewaktu–waktu, namun tubuhku menanggapi sebaliknya.
Namun lebih dari itu semua, aku sangat menyukai batu–batu yang banyak terserak di halaman rumah ini; mereka sehitam manik mata gagak dan bulat bak telur ikan beluga raksasa. Kata orang–orang sekitar sini itu adalah tetesan hujan awan Haur Uljanati. Awan yang dengan keras kepala bertahan hanya menampakkan kelam, tak menurunkan hujan hingga berhari–hari bahkan berminggu–minggu lamanya, titisan bendawi seorang bidadari yang tak mengindahkan kata–kata ayahnya.
Bidadari Haur Uljanati menjalin asmara dengan pemuda yang ketampanannya bahkan mudah ditilik mereka yang buta hingga berbadan dua. Mengetahui hal itu ayah sang bidadari murka. Ia mengutuk makhluk jelita itu meluruh sedikit demi sedikit, menipis dan terus menipis hingga menjadi uap sepenuhnya. Uap itu terbang ke langit, membentuk awan putih metah. Sang ayah bertitah bahwa ia akan mengembalikan Haur Uljanati seperti semula jika si anak bersedia meminta maaf, dan berjanji untuk tidak lagi menemui si pemuda. Namun sang bidadari yang telah berubah wujud itu lagi–lagi bergeming. Ia malah berlalu meninggalkan ayahnya, berarak menuju sang dambaan jiwa.
Namun setibanya ia di tempat kekasihnya, bukanlah sambutan manis yang ia terima, melainkan kenyataan bahwa sang pemuda tengah mengizinkan seorang betina pemujanya yang lain mencecap kejantanannya. Saat itu juga putihnya Haur Uljanati menjadi kelabu suram, dengan bayi dalam kandungan sebagai hujan yang tak segera turun untuk menjadi peringanan beban, hingga jangka waktu yang tak bisa diperkirakan. Saat pada akhirnya awan sang bidadari tersayat hati menurunkan hujan, itu bukanlah berupa titik–titik air, melainkan batu hitam, hampir bulat sempurna seperti bola.
Suatu waktu ketika baru beberapa hari di rumah ini, aku berdiri di halaman itu, saat tiba–tiba tangisku pecah begitu saja. Butiran demi butiran jatuh saling susul, bersaing sedemikian ketat demi meluncuri pipiku.
Aku bukannya tidak pernah menangisi kepergian suamiku. Aku bahkan menangis begitu banyak dan kerap. Akan tetapi, tangisku yang satu itu benar–benar gila. Mungkin saat itu aku memang gila, sebab aku tak hanya menangis, aku juga mulai menggelindingkan batu–batu itu keluar halaman dengan sekuat tenaga, hingga semua benda bulat itu meluncur tanpa halangan melewati gerbang, kemudian menukik turun, dan akhirnya tercebur ke sungai di depan sana. Anehnya setelah itu aku merasa sangat lega. Aku bahkan tertawa berdua dengan diriku saja. Aku lalu menyeka air mata dan ingusku, mengibaskan tangan, kemudian berjalan masuk dengan langkah paling ringan setelah sekian lama.
”Sudahlah,” ujarku. ”Kau tidak perlu memikirkan hal itu sekarang. Kau sudah minum susumu?”
Adalah hal yang sangat mustahil melihatnya menyentuh minuman itu sebelum ini. Namun aku tak tahan melihatnya dalam wujud kulit pembungkus tulang. Untuk itulah aku mencekokinya dengan berbagai makanan berlemak, susu, dan ramuan penambah berat badan. Aku berhasil. Hanya dalam empat minggu tubuhnya telah kembali berisi.
Akan tetapi aku tidak berhenti hanya sampai di sana. Terdorong ketetapan hati sang awan yang tetap mengunci dirinya dalam kebekuan kelam, selama beberapa minggu berikutnya aku terus menggemukkan suamiku hingga ia membulat nyaris sempurna seperti bola. Mungkin karena itu jugalah, satu malam ketika sang awan yang semula terus bergeming mulai tampak menggeliat untuk mengeluarkan isi perutnya dengan lebih dulu berkentut Guntur.
Saat aku melihat suamiku berdiri di halaman, begitu bulat, hitam, sesuatu melintas dalam pikiranku. Aku mendongak, menatap Haur Uljanati, mengangguk seakan aku memang harus melakukan itu padanya. Lalu, dengan begitu saja aku mendekat lalu mendorong lelaki itu hingga —dengan diiringi gemuruh dari langit sebagai lagu latar yang dimainkan sendiri oleh sang bidadari— ia menggelinding, meluncur tanpa halangan melewati gerbang. Untung saja ukuran tubuhnya tidak melebihi ukuran gerbang, jika tidak, ia akan tersangkut di sana. Ia kemudian menukik turun, terus turun, sampai akhirnya tercebur ke sungai di bawah sana. Ia terombang–ambing selama beberapa saat sebelum akhirnya hanyut bersama aliran air. Sempat kudengar ia berseru, ”Istriku, Haur Uljanati! Tolong hentikan ini semua!” Akan tetapi, aku bergeming, tentu saja. Aku yakin ia akan baik–baik saja. Ia bisa memulai hidup barunya di luar sana. Aku mengibaskan kedua tanganku, bersamaan dengan meluruhnya nyanyian para guruh. Aku menatap sang bidadari yang kembali bergeming, yang masih tak jadi mendatangkan hujan, yang aku tahu tengah balas menatapku. Aku mengangguk padanya, sebab memang itulah yang harus kulakukan, lalu masuk ke dalam rumah.
(Cerpen ini telah dibukukan dalam antologi “Hujan Tak Jadi Datang Malam Ini”, 2020)