BATIK: Wastra Indonesia yang Berkontribusi pada Revolusi
Oleh: Dewi Purboratih
Rangkaian acara Pameran Batik Pesisiran yang dibuka oleh Yuliati Umrah pada 6 November 2023 merupakan kegiatan menarik yang diselenggarakan bersama keluarga besar ALIT Indonesia di Ruang Halle, Wisma Jerman. Kegiatan yang bisa diklaim sebagai “bukan pameran batik biasa” ini menjadi ajang bertemunya pecinta batik sekaligus pecinta sejarah untuk berdiskusi mengenai wastra unik Nusantara, hasil leburan ragam budaya dari ragam wilayah dunia yang singgah di sepanjang pesisir Pulau Jawa.
Batik Pesisiran koleksi Yuliati Umrah ternyata memiliki kisah sejarah yang panjang. Dari Wastra Indonesia warisan leluhurnya yang sangat lama tersimpan di dalam lemari, Yuli baru menyadari belakangan bahwa kain-kain batik tersebut adalah pusaka kuno yang sangat bernilai. Hal itulah yang kemudian memotivasinya untuk mengadakan pameran.
RWilis, Ketua Perempuan Penulis Padma atau Perlima, berpendapat bahwa pada masa kejayaan Batik Lasem—sebagai salah satu dari sekian jenis batik pesisiran—batik-batik tersebut menjadi bisnis yang menggembirakan. “Tak heran itu menjadi bisnis buyut Yuliati Umrah. Dan memang seperti cerita Yuliati, dari bisnis batik itulah terkumpul dana untuk membantu Cokroaminoto, tokoh pergerakan revolusi di masa prakemerdekaan Indonesia,” tutur Wilis.
“Ini ‘kan simpenan lama. Memang saya seneng wastra, tapi saya nggak terlalu paham bedanya batik keraton sama batik pesisiran (tadinya). Saya hanya tahu batik tulis, batik cap, batik print. Ternyata di batik pesisiran motifnya nggak bisa pakem seperti batik keraton karena lahirnya terkena pengaruh dari beberapa bangsa. Aku juga baru tau. Jadi batik pesisiran itu dari pesisir Jawa sampai Madura. Orang-orang di luar keraton yang mendapat pengaruh dari orang-orang baru, dia menerima motif luar. Seperti batik Hokokai itu Jepang banget. Motifnya berkembang di tahun 42 sampai 48 dan terus berkembang.” Demikian Yuliati Umrah menjelaskan kepada beberapa anggota Perlima yang hadir.
“Akhirnya saya sharing dengan teman-teman,” lanjut Yuliati, “dan udah pameran aja supaya semua anak cucu tahu, batik ini gabungan dari macem-macem suku bangsa. Nah, ini kan mau 10 November nih. Ini kemerdekaan, orang Jawa nggak sendirian, lho. Banyak yang ikut berjuang di situ. Salah satunya pedagang batik. Buyutku ini pedagang batik Lamongan dan salah satu penyuplai Tjoa berdagang. Buyutku adalah anggota Serikat Dagang Islam. Batik yang didagangkan oleh Serikat Dagang Islam itu bukan batik keraton, tapi batik pesisiran. Dan itu menjadi dana revolusi.”
Fiona Hoggart, Konsul-Jenderal dari Konsulat Jenderal Australia di Surabaya menyampaikan apresiasinya. “Pameran ini sangat luar biasa. Saya bisa melihat sesuatu yang sangat langka dan benar-benar kuno dari koleksi leluhur Ibu Yuli. Saya bisa melihat skill dari karya ini, kreativitasnya, warnanya, keindahannya. Desain yang rumit, tapi sangat cantik. Ini bukan dari masa kini. Merupakan suatu kehormatan nyata untuk saya bisa datang melihatnya.”
Mixture, tema utama pada pameran batik pesisiran, menggambarkan batik pesisiran sebagai mahakarya seni yang unik. Budaya lokal mendapat pengaruh dari budaya luar yang tak hanya singgah, tetapi juga melebur harmonis melalui coretan canting masyarakat pesisir. Pengaruh budaya luar yang beragam itu pun membuat batik pesisiran tidak memiliki pola pakem seperti batik keraton. Batik pesisiran memiliki pola bentuk yang terus berubah dan berkembang secara dinamis.
Batik pagi sore yang memiliki dua latar desain kontras pada Batik Adik Baji sebagai brand pecahan Tjoa dijelaskan oleh Dicky (Alit Indonesia). “Yang penting ada dua motif latar di satu kain yang sama, maka kita bisa menyebutnya batik pagi sore. Batik pagi sore tersebut digunakan pada kain yang tadinya memang dirancang khusus untuk gendongan bayi.”
“Batik Adik Baji dulu memang dibuat untuk gendongan bayi di tahun enam puluhan. Adik Baji adalah rumah produksi batik misanan Nyonya Tjoa yang di Lasem. Rata-rata motif Batik Adik Baji adalah pagi sore.” Yuliati Umrah menambahkan keterangan perihal Batik Adik Baji—yang memang memiliki nama brand yang tidak biasa.
Batik pesisiran memiliki ragam khas yang berbeda sesuai dengan tempat di mana batik itu dibuat. Ada Batik Tenun Gedog dari Tuban yang nyaris punah. Proses rumit pembuatannya yang memakan waktu cukup lama membuat Tenun Gedog terkendala dalam hal regenerasi pengrajin. Batik Pekalongan pun juga unik, yang mana pada satu kain bisa menampilkan delapan paduan warna dan memiliki ciri khusus yaitu dominasi ornamen garis dan titik.
Batik Gentongan dari Bangkalan, Madura, juga tak kalah pelik pembuatannya. Disebut gentongan karena dalam prosesnya kain perlu direndam dalam gentong pewarna nabati selama satu semester sebelum benar-benar dibatik. Selain itu, masih ada Batik Lasem, Batik Tjoa, Batik Hokokai, yang tentu mendapat pengaruh budaya dari Jepang saat masa penjajahan Jepang di Indonesia. Batik Tiga Negeri, yang merupakan perpaduan unsur budaya Jawa, Tionghoa, dan Belanda, juga menjadi koleksi menarik yang dipajang pada pameran ini.
Mike Neuber selaku Direktur Wisma Jerman—tempat dihelatnya pameran Batik Pesisir bertemakan Mixture ini berkata, “Kami sangat senang ada kerja sama dengan Alit Fondation dan Dewa Dewi Rama Daya Gallery untuk mengadakan pameran Batik Pesisir ini. Saya sendiri juga pecinta batik, saya suka batik, jadi sangat menarik buat saya untuk belajar lebih tentang budaya batik. Tidak hanya melihat warna dan motifnya, tapi juga lebih tahu tentang sejarah dan budaya dan tentang proses yang dibutuhkan untuk menciptakan batik. Yang saya baru tahu dari batik pesisir adalah hasil dari campuran budaya.”
“Sangat menarik ketika kita bisa menyaksikan hasil yang nyata dari pertukaran budaya menjadi sesuatu yang lebih daripada yang sebelumnya. Tidak berarti sebelumnya batik ada yang kurang, tapi ada batasnya. Dengan melewati batas itu batik lebih berkembang dan menarik dengan berbagai warna dan motif,” lanjutnya menyelesaikan komentar.
Christian Simanulang, perwakilan Konsulat Jendral Amerika Serikat di Surabaya yang turut hadir pada acara pameran tersebut, juga menyampaikan kesannya. “Menurut saya, acara hari ini sangat bagus sekali karena banyak yang hadir. Selain itu, saya melihat panitia dan pengunjung adalah dari Gen Z. Jadi pameran batik warisan bangsa seperti ini perlu dilestarikan sekaligus memberikan edukasi kepada generasi muda.” [Ed-WR]