Batik, Merawat Warisan untuk Diwariskan
Kamis dan Jumat minggu lalu, saya mampir ke Jakarta Convention Center (JCC). Ada ICRA 2019, pameran kerajinan tangan dan batik. Puluhan pemilik merk batik juga pengrajin mengelar koleksinya.
Kegiatan itu bertepatan dengan Hari Batik Nasional. Peringatan ini, jatuh tiap tanggal 2 Oktober. Merujuk keputusan UNESCO yang menganjar batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi, pada 2 Oktober 2009.
Saya bertemu Abd. Rahman, pengrajin asal Banyumas, Pamekasan, Madura. Dia adalah generasi kedua, dari keluarga yang meneruskan industri kreatif ini. Saat ini, pengrajinnya ada 25 orang.
Oleh ayahnya, Cak Rahman dan saudaranya dibagi proyek batik. “Ada yang fokus batik tulis halus, batik tulis sedang, atau batik kasar,” paparnya dalam logat Madura yang kental.
Untuk batik tulis kelas menengah, dalam sebulan, pengrajinnya bisa berkarya hingga 60 lembar. Untuk batik kasar, menembus 100 lembar. “Untuk batik halus, satu lembar bisa enam bulan kerja,” jelasnya.
Tak heran, batik halus, harganya bisa menembus di atas 10 juta. Mayoritas kain mori bahan utama batik, produksi PT Primatexco, Batang, Jawa Tengah. “Kami menyebut Primatexco dengan Santio,” katanya sambil terkekeh.
Memang, orang Madura selalu punya istilah sendiri untuk banyak hal. Selain nama kain, mereka juga mengubah sebutan malam. Bahan utama membatik itu, mereka sebut malan.
Termasuk urusan warna tentu saja. “Untuk warna hijau, kami menyebutnya biru daun,” tambahnya. Kalau warna biru, diubah jadi unggu.
Konon, batik di Madura mulai dikenal pada abad ke-16. Sebagai pakaian kebesaran Raden Azhar. Dia, ulama penasihat spriritual Raden Ismail, Bupati Pamekasan.
Dalam perang melawan Ke’ Lesap, keturunan Cakraningrat I, dari Kerajaan Bangkalan, dia mengenakan motif batik parang. Orang Madura menyebutnya leres. Kini, Banyumas di Pamekasan, terhitung pusat batik.
Sebenarnya, tradisi batik di Jawa, sudah muncul pada masa kerajaan Majapahit. Sekitar abad ke-12. Penandanya jelas. Penemuan arca Prajnaparamita (Dewi Kebijaksanaan).
Ditaksir, dia dibuat pada abad ke-13. Sang Dewi tergambar mengenakan kain yang dihiasi dengan motif sulur tumbuhan dan bunga. Motif itu, sampai sekarang, masih bisa kita jumpai.
Batik mulai menglobal, mulai abad ke-18. Saat dikenalkan oleh Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal berkebangsaan Inggris yang pernah bertugas di Jawa. Lewat magnum opusnya, History of Java yang terbit tahun 1817.
Ada salah satu paparan tentang batik, ada di buku itu. Bahkan, pada 1873, Museum Etnik di Rotterdam, mendapat sumbangan koleksi batik tulis dari Jawa. Lengkap perjalanannya.
Kepopuleran batik memang merentang jaman. Cak Rahman pun hingga sekarang menikmatinya. “Batik karya pengrajin saya, sudah pernah diliput stasiun teve swasta nasional,” katanya dengan bangga.
Namun, serbuan batik murah dari China, bikin pening kepala. Omsetnya turun. “Ada yang mencontek motif. Difoto, lalu dicetak pakai mesin,” ucapnya dengan masgul.
Kompetisi itu membuatnya harus kreatif. Setidaknya itulah cara agar bisnisnya tetap hidup. Tiap bulan, minimal harus lahir tiga motif baru dari pengrajinnya.
Urusan motif, tak perlu khawatir. Not lagu yang cuma tujuh itu, telah menghasilkan jutaan lagu. Apalagi titik yang cuma satu itu. Tak ada batasan untuk dikembangkan.
Batik milik Cak Rahman, seirama dengan batik Madura yang khas. Dengan warna mencolok. Serta saling menabrak. Mungkin, mengambarkan watak orang Madura yang suka berterus terang.
Akhirnya, saya pun membeli batik tulis motif beras basah. Untuk menambah koleksi. Selain itu, saya juga bertemu Mbah Nasriri, pengrajin dari Cirebon. Juga Ibu Mulyati, dari Bayat, Klaten. Tentu juga membeli batik karya para pengrajinnya.
Sebenarnya, saya juga punya pembatik langganan. Namanya, Mbak Unipah. Dia pengrajin batik tiga negeri, tinggal di Kampung Batik Tiga Negeri, Desa Kalipucang, Batang, Jawa Tengah.
Istilah ‘Tiga Negeri’ merujuk pada batik tiga warna. Yakni bila warna merah, biru, dan cokelat dibubuhkan bersamaan. Jadi jangan heran kalau ada batik tiga negeri dari Lasem, Solo, atau Pekalongan.
Di kampung ini, semua pembatiknya sebagian besar sudah sepuh. Perempuan semuanya. Kini, Pemkab Batang dan banyak pihak yang peduli dengan warisan budaya ini, mencoba melestarikannya.
Dibuat gedung khusus untuk mereka. Sebagai sarana berlatih juga untuk pameran. Agar lahir pembatik-pembatik muda.
Batik tiga negeri di Kalipucang, punya ciri khasnya sendiri. Terkenal dengan sebutan Batik Rifaiyah. Nama itu, merujuk kepada KH. Ahmad Rifai.
Pejuang di zaman kolonial dan seorang pahlawan nasional. Ajaran Kiai Rifai dibawa oleh Abu Ilham, ke daerah asalnya, Kalipucang. Abu Ilham mengajarkan Kitab Tarajumah.
Syair dari Kitab Tarajumah ini pula, yang dilantunkan para pembatik saat mereka berkarya. Bahkan sebagian sambil berdzikir. Motifnya, masih klasik.
Tercatat, ada sekitar 24 motif khas batik rifaiyah. Tentu, ada uraian filosofis dalam setiap pola yang tergambar. Misalnya, motif pelo ati. Kiai Rifai mengajarkan ada delapan sifat keutamaan manusia yang tertanam di dalam jiwa manusia.
Setiap pulang kampung ke Batang, saya pasti mampir ke Mbak Unipah. Lebih sering, saya memesan lewat telepon. Batiknya, baru jadi dalam waktu tiga bulan. Di ujung kain batiknya, akan tertera namanya: Unipah.
Bulan lalu saya sudah memesan delapan biji. Beragam motif. Sebagian, berpindah tangan ke teman yang ingin punya koleksi batik rafiyah.
Kadang, kalau ketemu motif tiga negeri yang lain, saya kirim gambarnya lewat telepon genggam. Mendiskusikan artinya. Kalau saya suka, kadang saya tanya, apakah dia bisa membuatnya atau tidak.
Namun, bila saya main ke kampung ini, ada hal lain yang menarik. Terutama saat bertemu ibu-ibu para pengrajin itu. Melihat kegairahan mereka saat mendiskusikan karya.
Membuat saya sangat bahagia. Ada semangat dan rasa tanggung jawab. Juga ada kepemilikan.
Menjaga nilai-nilai budaya warisan leluhur mereka. Berkebudayaan tidak semata karena uang. Karena bagian dari keseharian.
Kadang, mereka juga berdamai dengan selera pembeli. Tentu saja, tanpa mengorbankan jati diri. Karena mata mereka lebih berbinar saat karyanya berpindah tangan.
Dapat uang. “Bisa buat dapur ngebul,” jawab Mbak Unipah tersipu malu. Jadi kepikiran, setidaknya harus bikin desa digital di sini. Untuk mendukung ibu-ibu pengrajin batik ini.
Tak sekadar untuk memasarkan karyanya. Tapi membantu merawat warisan budaya ini, agar bisa diwariskan lagi di kemudian hari.
Ajar Edi, kolomnis “Ujar Ajar” di ngopibareng.id
Advertisement