Batas Dogma, Orang yang Menyadari Kematian! Dahsyatnya Humor Sufi
Ini memang kisah humor. Humor sufistik. Kisah ini muncul dalam karya klasik yang terkenal, Kitab Akhlaq-i-Mohsini ('Akhlak Dermawan'), ciptaan Hasan Waiz Kashifi; hanya saja tanpa tafsir seperti yang ada dalam versi ini.
Versi ini merupakan bagian ajaran syeh Sufi Daud dari Qandahar, yang meninggal tahun 1965. Kisah ini merupakan pengungkapan yang bagus tentang pelbagai taraf pemahaman terhadap tindakan; masing-masing orang akan menilainya berdasarkan pendidikannya.
Metode penggambaran tak langsung yang dipergunakan Sultan Mahmud itu dianut pada Sufi, dan bisa diringkaskan dalam ungkapan, "Bicaralah kepada dinding, agar pintu bisa mendengar."
Orang yang Menyadari Kematian
Konon, ada seorang darwis yang mengadakan perjalanan lewat laut. Ketika para penumpang lain satu demi satu naik ke kapal, mereka melihatnya dan sebagaimana lazimnya mereka meminta nasihat padanya. Semua darwis akan mengatakan hal yang itu-itu saja kepada setiap orang yang meminta nasihat: darwis itu tampaknya hanya mengulangi salah satu rumusan yang menjadi sasaran perhatian darwis dari masa ke masa.
Rumusan itu adalah: "Cobalah menyadari maut sampai kau tahu apa maut itu." Hanya sedikit penumpang yang secara serius tertarik pada peringatan tersebut.
Mendadak ada angin topan menderu. Awak kapal dan penumpang semuanya berlutut, memohon pada Tuhan agar menyelamatkan kapal itu. Mereka berteriak-teriak ketakutan, pasrah pada nasib, menangis mengharapkan pertolongan. Sementara itu, sang Darwis duduk tenang, merenung, tak bereaksi sama sekali terhadap kehebohan dan situasi di sekelilingnya.
Akhirnya, kekacauan itu berhenti, laut dan langit tenang, dan para penumpang menjadi sadar betapa tenang darwis itu selama peristiwa badai itu berlangsung.
Ada orang bertanya padanya: 'Tidakkah Tuan menyadari bahwa selama prahara menakutkan tadi berlangsung hanya selembar papan kokoh yang memisahkan kita dari maut?"
"Oh, ya, tentu," jawab sang darwis, "saya tahu bahwa di laut selalu begitu. Tetapi, saya juga sadar bahwa, seperti yang sudah sering saya renungkan ketika berada di darat, dalam peristiwa biasa sehari-hari, pemisah antara kita dan maut bahkan lebih rapuh lagi."
Kisah ini karya Bayazid dari Bistam, suatu tempat di selatan Laut Kaspia. Ia salah seorang Sufi terbesar zaman lampau, dan wafat pada paruh akhir abad kesembilan.
Kakeknya adalah seorang penganut Zoroastrian, dan ia mengenyam pendidikan esoterisnya di India. Karena gurunya, Abu- Ali dari Sind, tidak mengetahui sepenuhnya tata cara ritual Islam, beberapa ahli beranggapan bahwa Abu-Ali seorang penganut Hindu, dan bahwa Bayazid sebenarnya mempelajari metode mistik India. Tetapi, tak ada ahli yang berwenang, di antara para Sufi, yang membenarkan anggapan tersebut. Para pengikut Bayazid antara lain tarekat Bistamia.
*) Sumber: Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi.
Batas Dogma
Pada suatu hari, Sultan Mahmud yang Agung berada dijalan di Ghazna, ibu kota negerinya. Dilihatnya seorang kuli mengangkut beban berat, yakni sebungkah batu yang didukung di punggungnya. Karena rasa kasihan terhadap kuli itu, Mahmud tidak bisa menahan perasaannya, katanya memerintah:
"Jatuhkan batu itu, kuli."
Perintah itupun langsung dilaksanakan. Batu tersebut berada di tengah jalan, merupakan gangguan bagi siapapun yang ingin lewat, bertahun-tahun lamanya. Akhirnya sejumlah warga memohon raja agar memerintahkan orang memindahkan batu itu.
Namun Mahmud, menyadari akan kebijaksanaan administratif, terpaksa menjawab.
"Hal yang sudah dilaksanakan berdasarkan perintah, tidak bisa dibatalkan oleh perintah yang sama derajatnya. Sebab kalau demikian, rakyat akan beranggapan bahwa perintah raja hanya berdasarkan kehendak sesaat saja. Jadi, biar saja batu itu di situ."
Oleh karenanya batu tersebut tetap berada di tengah jalan itu selama masa pemerintahan Mahmud. Bahkan ketika ia meninggal batu itu tidak dipindahkan, karena orang-orang masih menghormati perintah raja.
Kisah itu sangat terkenal. Orang-orang mengambil maknanya berdasarkan salah satu dari tiga tafsiran, masing-masing sesuai dengan kemampuannya.
Mereka yang menentang kepenguasaan beranggapan bahwa kisah itu merupakan bukti ketololan penguasa yang berusaha mempertahankan kekuasaannya.
Mereka yang menghormati kekuasaan merasa hormat terhadap perintah, betapapun tidak menyenangkannya.
Mereka yang bisa menangkap maksudnya yang benar, bisa memahami nasehat yang tersirat. Dengan menyuruh menjatuhkan batu di tempat yang tidak semestinya sehingga merupakan gangguan, dan kemudian membiarkannya berada di sana, Mahmud mengajar kita agar mematuhi penguasa duniawi -dan sekaligus menyadarkan kita bahwa siapapun yang memerintah berdasarkan dogma kaku, tidak akan sepenuhnya berguna bagi kemanusiaan.
Mereka yang menangkap makna ini akan mencapai taraf pencari kebenaran, dan akan bisa menambah jalan menuju Kebenaran.
Sumber: Kisah-Kisah Sufi, Kumpulan kisah nasehat para guru sufi selama seribu tahun yang lampau oleh Idries Shah (terjemahan: Sapardi Djoko Damono). Penerbit: Pustaka Firdaus, 1984.
Advertisement