Batas-Batas Psikologis Kekuasaan
Oleh: Fathorrahman Fadli
(Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR)
Filosof Perancis yang namanya tidak begitu masyhur dalam dunia pemikiran abad 7 sebelum masehi itu bernama Franka de Xonyola. Ia menulis buku tipis 57 halaman saja, dan buku itu sempat dibawa oleh seorang sarjana Mesir yang lantas tewas secara mengenaskan bersamaan dengan dibakarnya perpustakaan Iskandaria.
Buku kecil itu kemudian diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Inggris, lalu diberi judul, "Ruler's Ridiculousness" bertarikh 12 M. Dalam buku yang sejatinya merupakan catatan harian Franka de Xonyola itu berisi ajaran-ajaran moral dan etika bagi penguasa agar rakyatnya hidup bahagia. Juga disampaikan mengenai batas-batas kepantasan seorang penguasa.
Menurut Xonyola, dalam kehidupan ini, selalu saja kita saksikan seorang penguasa. Yang akan terus bertindak konyol meskipun pada saat yang sama dia ditertawakan rakyatnya sendiri. Bahkan, pada titik yang ekstrim semakin ditertawakan rakyatnya, ia menyangka bahwa apa yang dilakukannya itu adalah semata-mata untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Ia berfikir bahwa kekonyolannya itu adalah bentuk penghambaan dia atas kuasa yang digenggamnya.
Celakanya, kekonyolan sang penguasa itu juga melahirkan pengikut yang setia. Pengikutnya tidak tanggung-tanggung. Disamping orang-orang bodoh tak berpendidikan, ada juga sederet orang-orang pintar yang mendadak konyol, demi uang dan kekuasaan mereka rela mematikan mesin logika dan kesadaran akal sehat manusia normal.
Para pengikut yang pintar-pintar itu mendadak dungu setengah mati. Mereka berusaha menterjemahkan kekonyolan itu dengan berjuta-juta argumentasi yang naif secara akal sehat. Hujjah-hujjahnya labil, tidak logis, dan kerap bersemangat kaca mata kuda. Berbagai argumentasi berbasis fakta dan akal sehat ia berangus sebagai kejahatan yang mengguncang singgasana kekuasaannya.
Batas psikologis
Xonyola berpendapat bahwa kekuasaan dalam bentuknya yang paling primitif pun senantiasa melahirkan kekonyolan. Oleh karena itu kekuasaan harus dimodernisasi dengan berbasis pada kepantasan budaya masyarakatnya; bukan kebudayaan dan nilai-nilai budaya bangsa lain. Sebab kepantasan biasanya berdiri tegak di atas nilai-nilai budaya yang disepakati.
Lalu bagaimana sejatinya batas-batas psikologis dari kekuasaan itu? Mengapa seorang penguasa harus mengindahkan etika dan moral mereka selama berkuasa?
Memang, apa yang Franka bilang dalam buku hariannya itu adalah peringatan bagi kita semua. Bukan hanya untuk mereka yang sedang berkuasa untuk bercermin. Rakyat jelata seperti kita, juga perlu memahami pikiran dan moralitas kekuasaan itu sendiri. Apa sejatinya kekuasaan yang sedang dalam genggaman itu. Apa pula kekuasaan yang masih dalam khayalan itu? Menarik sekali untuk membincangkannya swcara lebih dalam lagi dalam kesempatan yang lebih rileks.
Yang sudah pasti Franka de Xongola menegaskan kepada pembacanya agar ketika kelak engkau berkuasa terhindar dari sikap serakah dan berlebih-lebihan.
Sebab ketika engkau serakah, maka selalu menginginkan sesuatu yang lebih; lebih baik dan lebih besar. Saat pertama Anda menjadi serakah, Anda pasti akan merasakan pergeseran jiwa Anda.
Sebab keserakahan adalah salah satu hal yang membuatmu menghancurkan hal-hal indah yang pernah kamu pegang.
Nafsu akan uang dan menempatkannya di atas prioritas anda adalah hal yang membuat manusia menjadi orang yang tamak. Terus terang saya masih tidak mengerti bagaimana seseorang dapat membiarkan diri mereka dikuasai oleh keserakahan. Tentu saja hal seperti itu akan terjadi pada siapa saja, namun diakui atau tidak, keserakahan ini benar-benar sangat mengkhawatirkan kehidupan itu sendiri.
Hal lain yang membuat kita terjebak dalam keserakahan adalah kurangnya kemampuan atau kepercayaan diri pada diri sendiri. Oleh karena itu adalah benar pandangan orang tua dikampung nyang menyarankan kita semua agar mampu mendengarkan suara di dalam kepalamu dan berhentilah bersikap egois terhadap segala hal dalam hidup ini.
Melampaui Batas Kepantasan
Penguasa yang bekerja melampaui batas kepantasan, apalagi menabrak undang-undang yang seharusnya dipegang tubuhnya, memang akan melahirkan ketidakseimbangan dan gejolak dalam masyarakat. Bahkan dalam derajat tertentu bisa berubah menjadi protes, demonstrasi dan bisa juga meluap menjadi revolusi sosial.
Pengalaman di berbagai negara telah membuktikan bahwa penguasa yang zalim dan tidak adil bagi rakyat, mereka segera ditumbangkan rakyatnya atas dasar kepentingan memelihara kepentingan bangsa dan negara.
Malu Sebagai Pengendali Kekuasaan
Dalam ajaran Islam, malu atau rasa malu seorang pemeluknya merupakan bagian integral dari keimanan mereka. Mengapa? Sebab keimanan seseorang tanpa rasa malu akan berjalan pincang. Malu dapat menjadi pengendali seseorang untuk tidak melakukan hal-hal yang tercela dan tidak elok dalam hidup bermasyarakat. Malu juga bisa menjadi rem sekaligus alat pacu untuk menebar percepatan guna meraih kebaikan yang lebih tinggi dan lebih banyak lagi.
Penguasa yang tidak punya rasa malu hanya akan menjerumuskan bangsanya ke jurang yang dalam. Ia tidak memiliki tanggungjawab yang dibutuhkan dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai petugas rakyat. Katika seseorang dipilih menjadi Pemimpin negara, maka mereka bukan lagi petugas partai, namun ia harus mengabdi pada kepentingan bangsa secara keseluruhan.