Basofi, KLB PDI dan Megawati
Basofi Sudirman adalah Gubernur Jawa Timur terakhir di era Orde Baru. Dia menjabat mulai 1993 hingga 1998, sebelum digantikan Imam Utomo.
Ketika Suharto lengser bulan Mei 1998, Basofi masih jadi gubernur. Karena itu peluang Basofi untuk duduk lagi untuk periode kedua jadi tertutup. Suharto tidak bisa lagi seenaknya menjadikan seseorang sebagai gubernur sebagaimana sebelumnya. Meskipun pemilihan kepala daerah dilakukan melalui formalitas pemilihan di DPRD dengan dua orang yang hanya berstatus sebagai pendamping, yang menentukan siapa yang maju itu tetap Suharto.
Kalau saja Suharto tidak keburu lengser, diperkirakan ia akan menunjuk Basofi lagi untuk memimpin Jawa Timur. Dalam hal penguasaan politik, Basofi telah terbukti berhasil mengamankan kebijakan-kebijakan pusat. Bahkan Basofi telah bersedia mengorbankan dirinya menjadi bemper bagi pemerintah pusat.
Tapi karena Suharto jatuh, maka tertutup peluang Basofi untuk menjadi gubernur lagi. Dalam pemilihan gubernur di DPRD bulan Juli tahun 1998 yang lebih demokratis, terpilihlah Imam Utomo. Tanpa Suharto, Fraksi TNI di DPRD bisa bebas memilih Imam Utomo yang sebelumnya jadi Pangdam V Brawijaya.
Saat memimpin Jawa Timur Basofi benar-benar menjadi bemper. Banyak persoalan pelik yang kemudian berkembang jadi berskala nasional meledak di Jawa Timur. Dan Basofi harus menyelesaikan semua itu.
Begitu Basofi dilantik jadi Gubernur Jatim bulan Agustus 1993, dia langsung disodori pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan yaitu kasus Marsinah.
Buruh pabrik arloji PT Catur Putra Surya yang diculik dan kemudian ditemukan tewas Mei 1993 ini, berkembang menjadi simbol perlawanan masyarakat terhadap kesewenang-wenangan aparat. Tidak gampang bagi seorang gubernur yang baru dilantik untuk segera menyelesaikan kasus Marsinah.
Apalagi Kodam V Brawijaya dan Polda Jatim malah membentuk tim yang kemudian bertindak keliru sehingga mengakibatkan blunder. Yaitu menangkap bos PT CPS Yudi Susanto bersama 7 stafnya termasuk seorang wanita hamil muda bernama Mutiari, dan kemudian mengadili mereka dan menghukum mereka.
Sedang mereka yang menculik dan kemudian menyebabkan kematian Marsinah sebelum membuang mayatnya di Nganjuk, malah tidak tersentuh oleh hukum.
Kasus Marsinah terus bergulir hampir sepanjang masa jabatan Basofi. Kecaman bukan saja berasal dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri. Amnesty International juga ikut menekan.
Kasus kedua yang dihadapi Basofi adalah kasus Nipah, Madura, yang terjadi sebulan setelah Basofi Sudirman dilantik. Tanggal 25 September 1993, beberapa warga desa Nipah Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang tewas ditembak aparat karena menolak tanah milik mereka diukur oleh petugas agraria untuk pembangunan proyek waduk Nipah. Petugas agraria itu datang dikawal penuh oleh pasukan tentara dan polisi.
Warga dengan senjata tajam mengusir petugas agraria, tapi yang mereka lawan adalah senjata api. Tiga orang warga mati tertembak. Tetapi menurut warga jumlah yang tewas lebih banyak.
Kekecewaan warga Sampang ini kemudian terlampiaskan pada saat terjadi Pemilu tahun 1997. Pada hari pencoblosan 29 Mei 1997, sebagian besar penduduk Sampang menggelar aksi anarkis. Mereka menghancurkan kotak suara dan TPS-TPS. Tidak itu saja, mereka juga merusak dan membakar pasar dan pertokoan, sehingga akhirnya pemerintah pusat memutuskan untuk diadakan pemilu ulang khusus untuk Kabupaten Sampang.
Pada era Suharto berkuasa tidak pernah terjadi pemilu ulang meskipun hanya untuk satu daerah tertentu. Tapi ketika Basofi menjadi Gubernur Jatim, di Sampang terpaksa harus digelar pemilu ulang yang berlangsung 4 Juni 1997.
Bulan Desember 1993, tepatnya tanggal 2 sd 6 Desember atau 4 bulan setelah Basofi Sudirman dilantik jadi Gubernur Jawa Timur, diselenggarakan Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya.
KLB di Surabaya ini diadakan gara-gara Kongres ke IV PDI yang diselenggarakan di Medan tanggal 21 s/d 25 Juli 1993 mengalami jalan buntu karena berjalan tidak sesuai skenario Suharto. Suharto ingin agar Soerjadi lengser, dan menggantinya dengan tokoh PDI yang dianggap lebih loyal pada pemerintah. Karena itu pemerintah memfasilitasi diselenggarakannya Kongres Luar Biasa di Surabaya.
Tadinya dengan KLB di Surabaya, pemerintah berharap Budi Hardjono atau Ismunandar akan terpilih menjadi Ketua Umum PDI menggantikan Soerjadi. Tetapi dalam KLB yang berlangsung sangat panas sekaligus heroik itu, yang kemudian terpilih menjadi Ketua Umum PDI periode 1993-1998 justru Megawati Sukarnoputri.
KLB PDI bersama proses dan hasilnya adalah bumerang bagi pemerintah. KLB di Asrama Haji Sukolilo adalah titik awal bagi proses kemenangan gerakan pro demokrasi. Menengok kembali ke masa itu, akan terlihat betapa kelirunya cara pemerintahan Orde Baru mempertahankan diri, yaitu dengan melakukan tekanan kepada PDI.
Saat itu hanya ada tiga parpol yaitu PDI, PPP dan Golkar yang secara nasional menguasai 75 persen kursi di parlemen. Ditambah kursi TNI dan Utusan Daerah, praktis Suharto menguasai 92 persen kursi.
Tekanan terhadap PDI tidak berhenti. Dari Rakerda (Rapat Kerja Daerah) PDI Jatim di Hotel Arumdalu Songgoriti Batu bulan Juli 1994, muncul dualisme kepemimpinan DPD PDI Jatim. Dari hasil Rakerda yang direkayasa pemerintah melalui Mendagri Yogie S Memet bersama Gubernur Jatim, terpilih Latief Pudjosakti. Sedang DPP PDI yang diketuai Megawati mengeluarkan keputusan yang berbeda, yaitu mel;alui SK No. 43 menetapkan Sutjipto sebagai Ketua DPD PDI Jatim Periode 1994-1999.
Dualisme kepemimpinan PDI di Jawa Timur berlangsung lebih dari 3 tahun, atau lebih dari separuh masa jabatan Basofi sebagai Gubernur. Karena itu banyak yang menilai Basofi Sudirman terlibat dalam rekayasa politik di Jawa Timur ini.
Bagi orang-orang pergerakan yang mendukung Megawati di awal perjuangannya sebelum lahir PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia – Perjuangan) yang dideklarasikan tahun 1999, Basofi adalah mesin perang Suharto untuk melemahkan PDI. Karena itu tidak sedikit orang-orang di sekitar Megawati pada awal perjuangannya itu menjadi marah dan tetap menganggap Basofi Sudirman sebagai lawan. Untungnya setelah tidak lagi menjadi gubernur, Basofi Sudirman tidak tertarik terjun ke politik sebagaimana beberapa tokoh lain.
Megawati pernah becerita, dalam suatu acara resmi dirinya melihat Basofi pelan-pelan berusaha mendekat dan akan berjabat tangan sebagaimana yang dilakukan undangan-undangan lain.
“Saya tahu itu. Eh, ya saya menjauh aja. Kok enak? Saya merasa dia telah mengganggu saya kok sekarang mau salaman. Saya menghindar aja,” cerita Megawati dalam salah satu kesempatan, sebelum dia terpilih sebagai wakil presiden dalam Sidang Umum MPR-RI tahun 1999.
Karena selama menjadi gubernur banyak sekali peristiwa politik berskala nasional yang muncul di Jawa Timur, Basofi lebih dipahami sebagai politikus dibanding sebagai birokrat. Sebagai politikus, dia ikut mengorbitkan salah satu kadernya yang paling loyal yaitu Idrus Marham. Sebagai manusia, Basofi tentu pernah berbuat salah juga.
Hari Senin 7 Agustus lalu Basofi Sudirman meninggal dunia dalam usia 77 tahun di Jakarta. Al Fatihah. (m. anis)