Baru Hijrah, Rawan Salah Paham
Bila ada yang berhasil mengundang Gus Baha untuk mengisi pengajian, berarti itu bukan sembarang orang. Sebab, Gus Baha sangat ketat dalam hal itu. Permintaan hanya akan dikabulkan bila yang mengundang punya hubungan istimewa. Baik istimewa karena ada hubungan kekerabatan (pernah sepuh) atau hubungan keilmuan. Itu pun masih ada syarat. Pengajian harus didesain layaknya ngaji: lesehan, baca kitab, tidak ada panggung megah, acaranya simple (tidak ada “lomba pidato” atau banyak kata sambutan).
Jika saya rangkum, ada beberapa alasan yang sering disampaikan Gus Baha dalam berbagai kesempatan. Pertama, timba harus mendatangi sumur. Orang yang ngaji, seyogyanya mendatangi kiai atau guru. Kedua, ketika beliau mendatangi ngaji ke luar kota, berarti santri yang ada di pesantrennya menjadi korban karena sering ditinggal pergi kiainya.
Ketiga, ngaji tidak boleh mahal. Kalau ngaji dalam bentuk pengajian umum, berarti panitia harus mengumpulkan dana jutaan. Inginnya Gus Baha, ngaji itu murah meriah. Siapa pun bisa mengadakan pengajian. Intinya, ilmu. Bukan gebyarnya acara. Dan yang keempat, ilmu agama yang begitu banyak dan kompleks tidak cukup disampaikan hanya 1 atau 2 jam di atas panggung.
Dari keempat alasan itu, saya lebih menggarisbawahi alasan keempat. Mengapa? Karena ngaji dengan Gus Baha memang butuh keseriusan. Bahkan saya memandang, untuk ngaji ke Gus Baha, alangkah baiknya orang itu pernah ngaji di pesantren. Sedikit-sedikit sudah kenal kitab kuning dan juga memahami kultur atau tradisi pesantren. Kalau orang awam, atau orang yang ”baru hijrah”, rawan terjadi kesalahpahaman.
Pendapat saya ini tentu tidak mutlak. Bisa salah.
Intinya, Ngaji dengan Gus Baha harus ekstra hati-hati mencerna. Kalau dipotong-potong, bisa menimbulkan salah paham. Ini hampir sama dengan kasus yang menimpa Gus Dur dulu. Dalam kasus Gus Dur, kontroversi yang muncul, banyak disebabkan karena pernyataan Gus Dur dipahami secara sepotong-sepotong. Konteksnya dibuang. Seperti Al-Qur’an kitab yang porno, assalamu’alaikum diganti selamat pagi.
Tapi alhamdulillah, sejauh ini belum ada kontroversi besar yang menimpa Gus Baha. Allah masih menjaga beliau. Tangan-tangan jahil yang suka memotong dan menggoreng pernyataan seseorang, tidak tertarik untuk jahil dengan Gus Baha. Semoga Allah terus menjaganya. Amin!
Ngaji dengan Gus Baha juga harus pintar-pintar menangkap esensi atau hakikat. Ketika Gus Baha menceritakan, beliau jarang shalat sunah rawatib, Mbah Moen ketika ada adzan tetap ngajar ngaji (tidak berhenti sejenak), ada seorang sahabat yang men-sweeping (merazia) orang yang terus-terusan shalat dhuha, dll, tidak boleh ditangkap mentah-mentah. Tapi, harus dipahami dengan kejernihan hati. Juga dengan pemahaman yang utuh.
Menurut saya –sekali lagi menurut saya, yang tentu sangat berpeluang salah—Gus Baha sudah termasuk dalam level ulama tasawuf yang mengarah ke hakikat. Karena itu, ketika ngaji dengannya harus juga mengikuti alur itu. Hati jernih. Niat ikhlas. Kebenaran hakiki sudah menjadi tujuan. Niat yang baik dan ikhlas semata-mata karena Allah SWT sudah menjadi target. Itu semua sifanya sangat rahasia. Hanya Allah Allah dan diri orang itu sendiri yang mengetahuinya. Melakukan sesuatu karena berharap pujian, popularitas sudah dibuang jauh-jauh.
(Niru Gus Baha)—"Ini penting saya utarakan!” Karena orang yang gagal menangkap esensi dari apa yang disampaikan Gus Baha, ada peluang orang itu untuk ngeles. Menghindar untuk tidak melaksanakan shalat sunah rawatib, enggan shalat dhuha dan ada suara adzan tetap ngobrol.
Menutut saya, esensi yang harusnya ditangkap adalah, shalat sunnah rawatib itu sunnah. Sehingga, bila melihat ada orang yang tidak melakukan itu, jangan sampai kita punya pandangan negatif. Sedang untuk diri kita, kalau memungkinkan alangkah baiknya tetap melaksanakan. Begitu juga dengan shalat Dhuha.
Dalam hal ada adzan tetap ngaji seperti yang dilakukan Mbah Moen, juga harus dipahami dengan jernih. Bahwa nilai esensi dari cerita itu, tetaplah ingin menyampaikan pesan ke umat bahwa berhenti saat ada adzan tetaplah kesunahan. Sehingga, jangan sampai hujatan atau tuduhan tidak baik kita layangkan kepada orang yang kebetulan tetap bicara saat ada adzan. Kasus ini pernah menimpa Prabowo pada pilpres tahun lalu ketika tetap pidato saat ada kumandang adzan. Namun, kalau kondisi memungkinkan alangkah baiknya tetap berhenti.
Mengapa semua itu dilakukan Gus Baha? Dalam berbagai kesempatan, Gus Baha mengatakan bahwa otoritas ilmu harus disampaikan. Harus ditegakkan. Jangan sampai ilmu, kalah dengan tradisi atau kebiasaan yang berlaku di masyaralat. Dan menjaga otoritas ilmu, memang harus dijaga oleh para ulama seperti Gus Baha, Mbak Moen, Gus Dur dan ulama lainnya.
Mengutip di kitab Fathul Qarib, Gus Baha berkali-kali mengatakan menwajibkan sesuatu yang tidak wajib adalah kesalahan besar. Karena hal itu bisa berakibat tidak baik bagi masyarakat. Shalat sunah rawatib yang dipahami harus dijalani terus, tentu akan meberatkan bagi orang-orang yang kadar keilslamannya masih lemah. Namun, bagi yang sudah ringan menjalankan, apalagi sudah bisa menikmati indahnya shalat, maka akan lebih baik untuk terus dilaksanakan. Demikian juga dengan shalat dhuha, shalat malam (qiyamul lail) dan amalan-amalan sunnah lainnya.
Tugas ulama adalah mendidik dan ngemong umat dalam beragama. Karena itu, berbagai perspektif harus ditunjukkan. Umat harus dibuka wawasannya. Karena dengan itu, beragama bisa menjadi indah. Rileks dan nikmat.
Dalam konteks sekarang, apa yang disampaikan Gus Baha itu sangat penting. Dalam beberapa dekade ini, umat banyak disuguhi oleh pemahaman para ustadz “melenial plus karbitan” yang menyuguhkan agama dengan wajah kesempurnaan. Tegang. Penuh ancaman dan ketakutan.
Para ustadz itu, menggunakan “standar tinggi”. Misal, shalat harus tepat waktu. Rawatib harus rutin. Dhuha jangan sampai ditinggalkan, setiap hari harus sedekah sekian, pakaian harus mirip nabi, yang laki-laki harus berjenggot, panggilan saudara diganti “akhi” dan “ukhti”, dll. Baik. Itu baik-baik saja. Tidak salah. Namun, bila itu dipahami dengan kaku, maka tentu Islam bisa menjadi tidak familier dengan masyarakat kebanyakan. Islam menjadi eklusif. Terbatas pada kelompok-kelompok tertentu. Hal itu, tidak kondusif untuk dakwah islamiyah.
Viralnya pengajian-pengajian Gus Baha di media sosial belakangan ini, menurut saya, bisa menjadi indikator kalau masyarakat “tersiksa” dengan kondisi seperti itu. Betapa beratnya untuk menjadi muslim yang baik. Betapa beratnya untuk dekat dengan Allah. Setelah mendengar uraian-uraian Gus Baha yang begitu rileks, masyarakat seakan mendapat seteguk air di padang pasir. Memberi kemudahan. Yang awam merasa mendapat tempat dan tidak tercampak.
Dan, dakwah Walisongo yang sukses mengislamkan bumi nusantara menjadi negara dengan muslim terbesar di dunia adalah model dakwah yang seperti itu. Rileks. Santai. Pelan tapi terus berjalan menuju kebenaran yang hakiki.
Namun ingat, ibarat naik sepeda semakiin mahir, maka orang itu akan semakin lebih rileks dalam bersepeda. Juga banyak manuver yang bisa dilakukan. Namun karena sudah mahir, jadinya tetap aman. Beda dengan orang yang baru bisa naik sepeda, maka akan terlihat tegang dan kaku. Dan itu, masih rawan kecelakaan.
Ngaji Gus Baha yang rileks dan santai, penuh canda tawa, pada hakikatnya cerminan kedalaman atau kealiman beliau. Sehingga, meski penuh canda tawa, tapi peserta pengajian, dituntut tetap serius, tetap fokus kepada hakikat kebenaran yang sedang diuraikan. Ini tidak mudah. Karena itu, menurut saya, dibutuhkan perangkat yang cukup—di antaranya memahami dasar ilmu agama seperti yang saya singgung di awal tulisan--. Juga situasinya harus kondusif. Durasi waktu yang dibutuhkan juga panjang.
Maka untuk Gus Baha, pengajian umum memang kurang tepat. Lebih pas kalau dalam bentuk majlis ta’lim. Dan yang tak kalah pentingnya, mustami’ (peserta pengajian)-nya juga lebih pas kalau orang-orang pada great (tingkatan) tententu. Bukan orang awam yang masih minim bekal! (Bersambung)
Akhmad Zaini
Aktivis Pendidikan Islam, tinggal di Tuban.