Bareskrim Polri Ungkap Jaringan Pengedar Uang Palsu
Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dit Tipideksus) Bareskrim Polri menangkap jaringan pengedar dan pembuat uang palsu (upal) jenis mata uang rupiah serta Dollar Amerika Serikat (AS).
Dalam kasus ini, polisi mengamankan 20 tersangka yang terdiri atas jaringan Jakarta, Bogor, Tangerang, Sukoharjo dan Demak.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Rusdi Hartono mengungkapkan, 20 tersangka tersebut merupakan hasil dari empat pengungkapan kasus yang dilakukan Dit Tipideksus sepanjang Agustus hingga September 2021.
"Sejak Agustus sampai September sekarang ini Bareskrim Polri mengungkap ada 4 kasus terdiri dari beberapa jaringan. Ada jaringan Jakarta, Bogor, Tangerang, kemudian jaringan wilayah Sukoharjo Jawa Tengah, dan juga jaringan Demak, Jawa Tengah. Ini beberapa jaringan yang berhasil diungkap," kata Rusdi dalam jumpa pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Kamis, 23 September 2021.
Para tersangka itu adalah VM, M, EFY, TEM, P, NK, S, AS, SNI, MI, AJK, HS, BK, HP, M, B, RHH, I, MAM dan H alias A. Para tersangka itu ditangkap di wilayah berbeda dan memiliki peran sebagai pengedar dan pembuat.
"Tentunya dengan berbagai barang bukti yang bisa dilihat, mata uang rupiah baik pecahan Rp100 ribu, Rp50 ribu dan juga beberapa mata uang asing khususnya Dollar Amerika. Ini menjadi bagian barang bukti yang berhasil diungkap," ujar Rusdi.
Lanjut Rusdi, pelaku tindak pidana pemalsuan uang dan peredaran uang palsu menggunakan beragam modus operandi untuk melancarkan aksinya.
"Sebagai gambaran umum bahwa modus operandi yang digunakan para pelaku sangat beragam," kata Rusdi dalam konferensi pers pengungkapan kejahatan uang palsu di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Kamis, 23 September 2021.
Beberapa modus operandi yang digunakan para pelaku, kata Rusdi, yakni para pelaku mengedarkan uang palsu di pasar-pasar tradisional atau di beberapa gerai belanja yang masih minim alat pendeteksi uang palsu.
Sementara itu, para pedagang di pasar tradisional, warung ataupun toko-toko tersebut cenderung tidak mengetahui perbedaan antara uang asli dengan uang palsu, diperparah lagi dengan ketajaman penglihatan yang kurang.
"Pengetahuan para penjual tentang uang palsu dan asli sangat rendah. Ini sering dimanfaatkan pelaku untuk melakukan tindakan," ujarnya.
Modus yang sering dilakukan oleh para pelaku pengedar uang palsu, lanjut Rusdi, adalah menukarkan uang atau bertransaksi membeli sesuatu di toko atau di warung. Menurut dia, kebanyakan uang yang sering dipalsukan adalah pecahan Rp50 ribu dan Rp100 ribu.
Dalam modus ini, para pelaku berpura-pura menukarkan uang Rp100 ribu dalam pecahan Rp50 ribuan. Selain itu, agar korban tidak menyadari, para pelaku juga berpura-pura membeli suatu barang dengan uang palsu tersebut, sehingga mereka memperoleh uang asli dari kembaliannya.
Modus berikutnya, kata Rusdi, penggandaan uang dengan iming-iming mampu menggandakan uang. Akan tetapi uang yang diberikan ternyata uang palsu, baik berupa rupiah maupun mata uang asing.
Selain itu, untuk mengedarkan uang palsu, para pembuat uang palsu tidak selalu mengedarkannya sendiri, tetapi merekrut orang lain dengan sejumlah imbalan tertentu.
Adanya imbalan ini tentunya bisa jadi jumlah imbalan yang ditawarkan begitu menggiurkan atau bisa pula karena terdesak kebutuhan atau himpitan ekonomi.
"Ini beberapa modus operandi yang digunakan pelaku tindak pidana pemalsuan uang dan peredaran uang palsu," ungkap Rusdi.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 36 ayat (1) dan atau ayat (2) dan atau ayat (3) UU No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara serta denda maksimal Rp10 Miliar Rupiah, dan Pasal 245 KUHP Jo Pasal 55 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. (Ant)
Advertisement