Bappenas: Stunting Bisa Akibatkan Bonus Demografi Sa-sia
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan, masalah stunting atau kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis, bisa mengakibatkan bonus demografi yang terjadi di Indonesia sia-sia.
Menurut Bambang, selama ini masalah stunting ini tidak disadari sebagai suatu permasalahan yang serius sementara Indonesia kini sudah mulai masuk masa bonus demografi yang diprediksi akan mencapai puncaknya pada 2030 mendatang.
"Jadi persiapannya harus dari sekarang. Kalau kita tidak hati-hati, maka bonus demografi ini jadinya tidak menguntungkan buat kita kalau kita tidak serius soal stunting," ujar Bambang saat diskusi dengan awak media bertajuk Cegah Stunting, lnvestasi Bersama untuk Masa Depan Anak Bangsa di Kantor Pusat Bappenas, Jakarta, Senin.
Pada 2030, angkatan usia produktif (15-64 tahun) diprediksi mencapai 68 persen dari total populasi dan angkatan tua (65 ke atas) sekitar 9 persen. Sementara itu, Berdasarkan, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan 37,2 persen atau sekitar 9 juta balita di Indonesia pada 2013 mengalami stunting, artinya satu dari tiga balita di Indonesia menderita stunting.
"Target jangka panjang kita ya mengurangi stunting. Kita berharap angka sepertiga itu harus turun drastis dan tergantung dari langkah yang kita ambil. Oleh karena itu, harus terintegrasi supaya turunnya cepat," kata Bambang.
Pemerintah sendiri menjadikan pencegahan stunting sebagai prioritas nasional pemerintah dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2018 dan 2019. Pada 2018, pemerintah fokus melakukan pencegahan dan penurunan stunting di 100 kabupaten/kota prioritas. Angka tersebut meningkat menjadi 160 kabupaten/kota pada 2019.
"Pelaksanaan padat karya di 100 kabupaten kota diharapkan bisa mendukung pengurangan stunting. Jadi yang paling penting dalam jangka pendek ini kita melibatkan banyak pihak," kata Bambang.
Ia menuturkan, penurunan stunting yang juga merupakan prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasionai 2015-2019, harus sejalan dengan penurunan anemia, bayi dengan berat lahir rendah, bayi dengan berat badan di bawah rata-rata (underweight), anak dengan berat badan kurang untuk ukuran tinggi badannya (wasting), obesitas, serta peningkatan cakupan ASI eksklusif.
Bambang menilai, mencegah stunting sangat penting untuk mencapai SDM indonesia yang berkualitas dan pertumbuhan ekonomi yang merata, serta memutus rantai kemiskinan antar generasi. Komitmen pemerintah daerah sangat penting dalam memastikan program penurunan stunting dapat direncanakan dan dianggarkan dalam dokumen perencanaan di daerah.
"Sekarang kita akan lihat kesungguhan daerah. Kita sudah lakukan kampanye supaya stunting jadi isu di tingkat daerah. Stunting ini ada dari Sabang sampai Merauke, jadi tidak ada satupun wilayah yang tidak kena. Jadi bukan main-main, ini serius," kata Bambang.
Dalam jangka panjang, stunting sendiri ternyata juga menimbulkan kerugian ekonomi sebesar 2-3 persen dari produk domestik bruto (PDB) per tahun. Berdasarkan data Bank Dunia pada 2016, jika PDB Indonesia sebesar Rp13.000 triiiun, maka diperkirakan potensi kerugian akibat stunting dapat mencapai Rp260-390 triliun per tahun. Ketika dewasa, anak yang mengalami kondisi stunting pun berpeluang mendapatkan penghasilan 20 persen lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami stunting. (ant)
Advertisement