Banyak Dikritik Warganet, Jokowi Cuitkan Rencana Revisi UU ITE
Presiden Joko Widodo membuka peluang tentang revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Hal ini disampaikan lewat akun Twitternya, pada Selasa 16 Februari 2021.
Pantauan Ngopibareng.id, cuitan Jokowi dimulai empat jam lalu, waktu Twitter. Presiden ke-7 Indonesia ini mencuitkan tentang fenomena warga yang banyak membuat laporan ke polisi, menggunakan UU ITE. "Saya memerintahkan Kapolri agar lebih selektif dalam menyikapi dan menerima pelaporan seperti itu. Pasal-pasal yang multitafsir harus diterjemahkan secara hati-hati," cuitnya.
Tak berselang lama, Jokowi melanjutkan cuitannya, sambil menyebut kemungkinan UU ITE agar direvisi.
"Semangat awal UU ITE adalah untuk menjaga agar ruang digital Indonesia bersih, sehat, beretika, dan produktif. Kalau implementasinya menimbulkan rasa ketidakadilan, maka UU ini perlu direvisi. Hapus pasal-pasal karet yang multitafsir, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak," lanjutnya.
Dua cuitan ini sudah retweet ribuan kali, ketika berita ditulis. Cuitan pertama diretweet sedikitnya seribu kali, dan cuitan kedua diretweet sebanyak dua ribu kali.
Pernyataan serupa juga disampaikan Jokowi ketika memberikan arahan dalam Rapat Pimpinan TNI dan Polri, di Istana Negara Jakarta, pada Senin, 15 Februari 2021
Kritik kepada Jokowi
Diketahui, jagat maya sempat heboh menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo, yang meminta agar warganya aktif mengkritik pemerintah. Pernyataan itu disampaikan Jokowi pada Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020 pada Senin, 8 Februari 2021.
"Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi maladministrasi, dan pelayanan publik harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan," kata Jokowi, dikutip dari CNN Indonesia.
Pernyataan itu memancing keriuhan di media sosial. Banyak warganet yang merespon, jika pernyataan Jokowi berbeda dengan fakta yang ada di lapangan.
Sejumlah warganet harus berurusan dengan pidana, dan dikriminalisasi, setelah menyampaikan kritik terhadap pemerintah.
"26 September sore: Jangan ragukan komitmen saya jaga demokrasi. 26 September malam, saya ditangkap. 27 September Subuh, Ananda Badudu," cuit Dhandy Laksono menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo, pada 8 Februari 2021 lalu.
Saat itu,Dhandy Laksono ditangkap karena dituduh menyebarkan ujaran kebencian dan SARA pada kasus Papua, lewat akun media sosialnya. Sedangkan Ananda Badudu ditangkap setelah menggalang dana lewat aplikasi Kita Bisa, terkait unjuk rasa mahasiswa di DPR. Semuanya terjadi pada tahun 2019.
Sejumlah aktivis dan influencer pun banyak merespon pernyataan Jokowi dengan nada serupa.
Sementara, catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), hingga Oktober 2020, ada sebanyak 10 peristiwa dan 14 orang yang diproses hukum karena mengkritik Presiden Joko Widodo, dilansir dari Tempo.
Lalu dari 10 peristiwa, 25 orang diproses dengan obyek kritik kepolisian, dan 4 peristiwa dengan 4 orang diproses karena mengkritik Pemda. Mereka diproses dengan penggunaan surat telegram Polri dan UU ITE. (Cnn/Tmp/Twi)
Belakangan ini sejumlah warga saling melapor ke polisi dengan UU ITE sebagai salah satu rujukan hukumnya.
— Joko Widodo (@jokowi) February 16, 2021
Saya memerintahkan Kapolri lebih selektif dalam menyikapi dan menerima pelaporan seperti itu. Pasal-pasal yang multitafsir harus diterjemahkan secara hati-hati. pic.twitter.com/D1pVuOtjEz
Advertisement