Bantuan Paket Sembako Ricuh dari Hulu Sampai Hilir
Pemerintah mengalokasikan anggaran lebih dari Rp21 triliun bagi masyarakat terdampak Covid-19. Dana sebesar itu akan diberikan kepada pekerja informal, buruh harian, driver ojek, buruh bangunan dan warga miskin dalam bentuk paket sembako dan bantuan langsung tunai (BLT). Bantuan sembako senilai Rp600 ribu/paket, disalurkan pada bulan April, Mei dan Juni 2020.
Masyarakat yang merasa berhak atas bantuan tersebut tentu harap-harap cemas. Berita baik dari pemerintah ini setidaknya dapat mengurangi beban hidup jutaan pekerja informal yang telah kehilangan penghasilan akibat corona dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Tapi harapan itu tinggal harapan. Bantuan yang diimpikan ternyata tak kunjung datang. Hanya melihat gambarnya seliweran di televisi. "Saya tidak mengatakan bantuan paket sembako itu tidak ada, ada. Pertanyaannya kemana nyasarnya bantuan untuk orang tidak mampu tersebut," tanya Suranto, seorang pemulung yang tinggal di daeran Petamburan, Jakarta Pusat
Faktanya di kampungnya ada dua kali pembagian sembako dari Pemerintah DKI dan dari Pemerintah Pusat, namun rumahnya hanya dilewati begitu saja.
Merasa berhak atas bantuan itu, bapak tiga anak asal Brebes ini menanyakan kepada RT dan RW, mengapa dirinya tidak mendapat bantuan sembako, malah orang orang yang tergolong mampu yang mendapatkan paket sembako tersebut. Betapa tidak, mereka yang menerima bantuan itu justru mereka yang tinggal di gedongan dan punya mobil bagus.
"Kata Pak RT nama saya tidak tercantum dalam daftar penerima bantuan, itu urusan pusat," katanya.
Suranto ini adalah contoh dari ribuan penduduk Jakarta yang terlewati oleh Bansos akibat rancunya data penerima manfaat.
Diketahui, Pemprov DKI menyiapkan bantuan sembako untuk 1,3 juta keluarga pada tahap pertama. Sementara tahap kedua akan dinaikkan menjadi lebih dari 2 juta keluarga. Sedangkan pemerintah pusat akan menyalurkan bantuan untuk DKI sebanyak 1,6 juta keluarga.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) menuding kericuhan pembagian sembako di Jakarta karena Gubernur DKI Anies Baswedan tidak cermat dalam membuat data penerima.
Anies pun menyangkal tudingan Menko PMK. Sebaliknya, Gubernur DKI itu mengatakan bahwa yang kacau itu pembagian bansos dari pusat berlogo Bantuan Bresiden yang disalurkan melalui Mensos. Dua mantan Mendikbud ini sempat bersitegang dalam rapat koordinasi soal bansos pada Rabu, 6 Mei 2020.
Urusan dengan Menko PMK mulai reda, Anies mendapat serangan baru dari Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani. Menkeu mengatakan Gubernur DKI tidak punya uang untuk menyediakan bansos. Ia telah merengek-rengek supaya bansos di Jakarta dicover pusat.
Serangan Menkeu ini langsung ditanggapi oleh pimpinan DPRD DKI, dengan mengatakan bahwa bantuan tahap pertama sudah dibagikan sebelum bansos dari pemerintah pusat datang. Bahkan mereka dengan lantang menyatakan, DKI menyalurkan bansos tanpa berteriak-teriak.
"Fakatanya bantuan yang tidak tepat sasaran itu dari Mensos karena tidak ada koordinasi," kata Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Zita Anjani dalam keterangan tertulis, Kamis 7 Mei 2020.
Menteri Sosial Juliari Batubara akhirnya angkat bicara serta mengakui keributan penyaluran Bansos bersumber dari data. Solusinya, ia menyarankan setelah bansos itu diterima RT, dibagi secara gotong royong dengan warga yang tidak menerima dengan mengesampingkan data yang ada, tidak perlu ribut.
"Sejak adanya pembagian paket sembako, banyak orang pintar membuat data, sehingga bermunculan data baru," kata Mensos.