Banteng Lawas dan Banteng Ketaton
Tanduk banteng moncong putih di Surabaya masih bertaji. Paling tidak terlihat dari hasil pemilihan walikota dan wakil walikota Surabaya 2020. Yang berhasil memenangkan pertarungan sengit.
Meski dikeroyok 8 partai politik, PDI Perjuangan berhasil mengamankan kursi walikota yang sudah tiga periode dikuasainya. Malah saat ini juga mengusai kepemimpinan DPRD Kota Surabaya. Dominasi politik yang sempurna.
Memang pasangan Mahfud Arifin-Mujiaman yang menjadi penantang Eric Cahyadi-Armuji belum menyerah. Masih membawa hasil Pilkada Serentak di Surabaya ke Mahkamah Konstitusi. Tapi rasanya tipis untuk mengubah hasil akhirnya.
Bagaimana partai dengan lambang kepala banteng moncong putih ini bisa memenangkan pertarungan? Kuncinya pada mesin politik. Partai ini punya mesin politik yang efektif. Plus image sukses walikota PDI Perjuangan.
Padahal, proses penentuan calonnya diwarnai drama menegangkan. Antara dua faksi: faksi internal partai dan eksternal partai. Faksi pertama mengusung Wisnu Sakti Buana. Sedangkan eksternal partai mencalonkan Eri Cahyadi.
Saya mengikuti detik-detik pertarungan dua faksi ini. Semula DPP PDI Perjuangan mengambil jalan tengah. Mengakomodasi dua faksi dengan mengusung pasangan Wisnu-Eri. Apalagi semua survey saat itu menempatkan Wisnu dengan elektabilitas tertinggi.
Namun faksi non internal lebih kuat daya tawarnya ke Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Presiden Jokowi yang diminta bantuan DPP PDI Perjuangan tak berhasil meluluhkan Tri Risma. Ia tetap ngotot menolak Wisnu dan menyodorkan Eri.
Sebetulnya, semua orang tahu jika ada tiga faksi di PDI Perjuangan Surabaya. Selain faksi Wisnu dan Risma, ada faksi Bambang DH. Ia adalah mantan walikota Surabaya 1,5 periode. Juga sempat menjadi wakilnya Risma.
Hanya saja, faksi Bambang DH tidak mempunya gacoan yang layak bertarung di Pilkada Surabaya. Tapi Bambang DH dan mantan Ketua DPC Saleh Mukadar masih punya pengaruh kuat di sebagian grassroot partai banteng ini.
Ngototnya faksi Wisnu untuk menjadi penerus tongkat penguasa eksekutif dari partai itu juga bukan tanpa alasan. Ia adalah putra tokoh PDI Perjuangan Ir Sutjipto yang berdarah-darah menjadi pembela Megawati di zaman Soeharto.
Ibaratnya, keluarga inilah yang membangun rumah banteng di Surabaya dan Jatim. Sedangkan Risma yang menjabat walikota dua periode ibarat anak kost partai itu. Hanya saja, ia pada akhirnya bisa menguasai rumah banteng Surabaya.
Karena itu, wajar ketika keluarga Pak Tjip --demikian biasa dipanggil-- melalui Jagat Hari Seno --kakak Wisnu-- marah dan membelot ke calon lawan. "Dulu dia kita kasih numpang di rumah kami, eh sekarang malah kami yang diusir dari rumah itu," demikian kira-kira batin mereka.
Pembelotan salah satu faksi yang juga terkesan setengah hati ini melahirkan kelompok yang menamakan diri Banteng Ketaton. Artinya orang-orang PDI Perjuangan yang terluka. Pelopornya yang vokal adalah pendukung utama Risma saat maju kali pertama jadi walikota.
Sementara faksi Bambang DH-Saleh Mukadar mendirikan komunitas Banteng Lawas mendukung pasangan Eri-Armuji. Kecenderungan faksi ini bisa dibaca sebelumnya karena mereka pada dasarnya kelompok yang berseberangan dengan keluarga Pak Tjip. Meskipun mereka ini dulu juga dibesarkan ayah Seno-Wisnu.
Sebetulnya, Mahfud-Mujiaman punya peluang memenangkan pertarungan karena calonnya hanya dua pasang. Mengapa demikian? Sebab, di atas kertas, modal politik mereka jauh diatas calon yang diusung PDI Perjuangan. Tentu dengan syarat mereka mampu mensolidkan modal politiknya.
Tidak gampang mengkosolidasikan modal politik ke dalam suara. Karena diusung banyak partai, maka dukungan pemilih lebih cair. Perlu langkah ekstra untuk mengkonversi modal politik yang bersumber dari banyak partai politik ke dalam bilik suara.
Sebaliknya, PDI Perjuangan lebih gampang mengkosolidasikan diri menjadi mesin partai. Apalagi ditambah dukungan penuh walikota yang sedang menjabat dan sedang dalam posisi mendapat dukungan positif publik.
Karena itu, saya sempat mengatakan di tulisan sebelumnya bahwa pemenang pilkada Surabaya adalah mereka yang berhasil menggerakkan pemilihnya ke TPS. Mereka mampu menggenjot tingkat partisipasi pemilih untuk mencoblos calon yang didukungnya.
Mereka yang efektif melaksanakan 3M: Mendapatkan suara, Mendatangkan suara, dan Mengamankan suara. Unggul elektabilitas dalam survei tanpa diikuti mobilisasi pemilih ke TPS punya potensi untuk kalah.
PDI Perjuangan ternyata berhasil mengkonsolidasikan mesin partainya dengan cepat. Sehingga gerakan Banteng Ketaton yang semestinya bisa menggerus suara pemilih dari partai menjadi tidak efektif.
Mungkin tidak serta merta sukses ini merupakan hasil kerja Banteng Lawas. Surat pribadi Walikota Risma yang menggerakkan orang datang ke TPS ikut andil besar dalam menggenjot partisipasi pemilih.
Sehingga, dugaan saya bahwa pilkada Surabaya akan diikuti kurang dari 40 persen pemilih menjadi tak terbukti. Efektivitas mesin partai plus surat pribadi Walikota Risma telah berhasil menggenjot tingkat partisipasi melampaui 50 persen. Angka besar di era pandemi.
Rasanya inilah yang menjadi kunci kemenangan Eri Cahyadi yang bukan kader asli PDI Perjuangan. Sebaliknya, kegagalan Mahfud-Mujiaman menggenjot partisipasi pemilih membuat pasangan ini harus rela kalah dalam angka perolehan suara.
Hasil akhirnya, Banteng Ketaton akan tambah ketaton (terluka). Sementara Banteng Lawas punya ruang kembali untuk berperan. Kita lihat saja!