Bank Keliling Bunganya Mencekik, Tapi Disukai di Jakarta.
Hidup di kota besar seperti Jakarta dengan penghasilan yang pas-pasan, menjadi sasaran empuk bagi bank keliling. Meskipun bunganya cukup tinggi sebesar 20 persen, bagi masyarakat yang 'kepepet', bank keliling ini tetap dianggap sebagai penyelamat.
Alasannya sederhana, kalau pinjam uang di bank keliling, persyaratannya mudah, tidak bertele-tele dan tanpa jaminan apapun. Yang penting tempat tinggal jelas, dalam hitungan menit kredit akan cair.
Berbeda dengan kredit di bank konvensional, prosedurnya cukup rumit, harus punya bidang usaha, NPWP, dan setidaknya punya jaminan seperti serifikat tanah.
Sebab, meskipun pinjam di bank yang legal bunganya jauh lebih rendah sekitar 9 - 11 persen pertahun masyarakat kecil lebih suka memilih pinjam bank keliling yang bunganya jauh lebih tinggi. Pertimbanganya itu tadi, prosedur mudah, credit bisa cair seketika hanya dalam hitungan detik.
Dalam penelusuran Ngopibareng di Jakarta, bank keliling ada yang menyebut bank harian, padahal aslinya rentenir keliling, biasanya beroperasi di kampung-kampung, pasar tradisional dan pedagang kecil yang 'kembang kempis' karena kekurangan modal.
Pinjaman setiap orang sementara dibatasi Rp1 juta . Diangsur selama 24 hari dengan ansuran Rp50 ribu/hari. Sehingga sampai lunas total yang dibayar Rp1.200.
Kalau cicilannya lancar tidak sampai macet, berikutnya bisa mengajukan pinjaman yang nilainya lebih tinggi.
Tapi ingin memperoleh pinjaman lebih besar, caranya harus menggandeng beberapa bank keliling dan itu sah-sah saja. Sehingga kalau ada pedagang kecil sampai ditagih beberapa petugas bank keliling, dibumbui dengan keributan kalau belum bisa nyicil, merupakan pemandangan biasa.
Seorang pedagang kecil pengguna jasa bank keliling bernama Ny Atmo memahami bunga rentenir keliling ini sangat tinggi. Contohnya kalau meminjam Rp 500 ribu harus mengembalikan Rp600 ribu karena ditambah bunga 20 persen.
"Lalu mau apa lagi, karena cari pinjaman ke orang lain tanpa bunga juga susah. Apa lagi orang kecil seperti saya," kata ibu tiga anak yang keseharianya jualan kopi dan gorengan, di kawasan Kebun Jeruk Jakarta Barat. Keuntungan jualan harus dibagi untuk menyicil bank keliling.
Ia menuturkan pernah mencoba mengajukan kredit usaha rakyat kecil ke Bank BUMN, tapi ditolak karena dianggap tidak memenuhi syarat. "Bank keliling ini akhirnya yang membantu," kata Ny Mudrik.
Soal kelancaran pembayaran angsuran, menurut Mudrik, tergantung usahanya. "Kalau ramai angsurannya lancar, sebaliknya kalau dagangannya sepi absen, tidak nyicil dulu," katanya.
Siagiaan, salah seorang pengusaha bank keliling, mengatakan orang sering nyinyir karena melihat bunganya yang cukup tinggi 20 persen. Tapi, orang tidak melihat risikonya. Selain mengalami kredit macet, banyak yang setelah memperoleh pinjaman langsung kabur. "Kami harus sabar, tidak mungkinlah harus dilaporkan ke polisi," kata Siagian.
Siagiaan mengaku sudah lebih 5 tahun mengelola bank keliling. Ia punya 35 anak buah yang beroperasi di daerah Jakarta Barat. Namun dia tidak mau menyebut berapa omsetnya.
"Tidak usah tanya omsetlah, saya ini hanya membantu orang susah Pak," kata Siagian. (asm).