Sebulan Banjir, Kutu Air Jadi Sahabat Warga Kalitengah Lamongan
Satu bulan lebih banjir merendam Desa Glumo, Kalitengah, Lamongan. Menerjang genangan air yang tak kunjung surut adalah makanan sehari-hari warga Glumo. Tidak heran jika selain kesulitan mencari nafkah, kutu air dan gatal-gatal kerap menjangkit di kulit warga.
Rizki, bocah sembilan tahun adalah salah satunya. Riak gelombang air akibat laju motor adalah teman main siswa MI Swasta Darul Ulum Glumo itu setiap pulang sekolah. Sudah tiga minggu ini sela-sela jari di kakinya gatal-gatal. Beberapa hari lalu, ibunya sempat dibuat bingung karena luka di kakinya semakin parah hingga nyaris bernanah.
“Iki wis lumayan mbak. Beberapa hari lalu, kakinya sampai kutu air. Saya bawa ke Posyandu lansia, dapat obat. Sekarang Alhamdulillah,” terang Aslikatun, ibu Rizki.
Selain salep kutu air yang dijual di warung, Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) keliling untuk balita dan lansia adalah andalan warga. Biasa digelar 1-3 bulan sekali, Posyandu adalah satu-satunya layanan kesehatan warga yang memungkinkan untuk diakses saat banjir.
“Lha disini rumah sakit ya jauh. Wong sakitnya orang desa lak cuma gathelen toh mbak, Posyandu aja sudah cukup,” imbuhnya saat ngopibareng pada Senin, 13 Mei 2019.
Kutu air dan gatal-gatal bukan barang baru bagi warga Desa Glumo. Ibu dua anak itu juga menceritakan selain anak sulung, suaminya juga sudah akrab dengan penyakit kulit yang satu ini.
“Suamiku kan ke tambak. Jadi yah kerjaannya setiap hari mau gak mau harus kena air. Rangen itu wis biasa mbak. Belum sembuh ya wis kena lagi,” ungkap ibu dua anak itu.
Meskipun begitu, perempuan berkulit sawo matang itu tidak bisa menyalahkan anak dan suaminya. Bagaimanapun juga kutu air dan gatal-gatal adalah risiko yang siap dia hadapi karena tinggal di daerah langganan banjir.
Selain dihadapkan dengan risiko kutu air, warga juga harus berhadapan dengan bahaya berkendara di jalan tergenang banjir. Pasalnya selain licin, jalanan berlubang juga tertutup air sehingga membuat pengendara bisa terjebak ke dalam lubang.
Namun Aslikatun dan keluarga tidak khawatir. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dirinya biasa memasok kebutuhan pangan untuk sehari-hari.
“Beras, mie, sayur, lombok aku sudah nyetock. Kadang-kadang bapaknya anak-anak mancing di belakang rumah,” ceritanya.
Satu petak dari rumah Aslikatun, seorang laki-laki paruh baya bernama Markan merasakan hal yang sama. Usai pulang dari tambak dengan bertelanjang kaki, Markan mematikan motornya di teras rumah sambil duduk sila menggaruk-garuk kulit kaki.
Kukunya tampak tak beraturan dengan kutu air di sela-sela kelingking. Kulit di sekitar jempol dan jari kelingking kakinya mulai mengelupas.
“Ya beginilah risiko wong tambakan sing kebanjiran,” celetuk laki-laki berkumis itu.
Meskipun harus berhadapan banjir setiap tahunnya, Markan tidak pernah terlintas untuk meninggalkan rumah warisan keluarga. “Sejak lahir disini. Mau pindah ya pindah kemana? Bagaimana pun paling enak kan tinggal di kampung sendiri toh,” imbuhnya.(kik)
Advertisement