DPRD Surabaya Dorong Penanganan Terintegrasi Atasi Berbagai Faktor Penyebab
Ketua Komisi C DPRD Kota Surabaya Eri Irawan mengatakan, banjir yang terjadi pada Selasa malam 24 Desember 2024 adalah perpaduan dari sejumlah hal, bukan satu faktor saja seperti saluran. Sehingga diperlukan penanganan yang lebih terintegrasi.
”Yang pertama tentu kita semua perlu menyampaikan apresiasi kepada seluruh jajaran petugas Pemkot Surabaya dan semua elemen masyarakat yang terus bekerja menangani banjir. Hal terpenting yang harus kita pahami adalah potensi cuaca ekstrem sangat tinggi ke depan karena perubahan iklim. Ini harus menjadi kesadaran kita bersama untuk memitigasi perubahan iklim secara terintegrasi,” ucapnya.
Hal yang perlu terus dilakukan, lanjut Eri, adalah penanganan banjir yang terintegrasi. Sebab, banjir yang terjadi adalah akumulasi dari berbagai faktor. Seperti intensitas hujan yang tinggi dalam durasi lama termasuk di daerah hulu yang kemudian menyebabkan aliran sungai mengalir ke Surabaya, sebagai daerah hilir atau muara sungai besar, dalam debit yang cukup tinggi.
"Berdasarkan data Balai Besar Wilayah Sungai Brantas, memang terjadi kenaikan debit air pada pintu-pintu air di sepanjang saluran sungai tersebut sejak dari kawasan Jombang dan Mojokerto. Akibatnya, sungai di Surabaya penuh tak mampu lagi menampung aliran air. Di sisi lain, terdapat kenaikan permukaan air laut. Akumulasi kejadian itu membuat saluran air harus 'antre' mengalirkan air ke sungai besar maupun ke laut," ungkapnya.
Eri menuturkan, beberapa langkah penanganan terintegrasi yang sudah mulai dijalankan Pemkot Surabaya perlu terus dilakukan. Pertama, terus melakukan normalisasi agar kapasitas aliran air bisa meningkat. “Normalisasi pada saluran air telah diatur waktunya. Sebenarnya sudah dilakukan pada sebagian besar saluran, tetapi memang belum semuanya. Itu yang perlu terus dilakukan, termasuk dengan meningkatkan sumberdayanya agar bisa optimal,” ujar Eri.
Kedua, terus menambah instrumen tampungan air (reservoir air) untuk pengendali banjir, seperti waduk, bozem, dan sebagainya. “Kapasitas saluran sebagai long water storage pasti berpotensi kesulitan menampung curah hujan yang tinggi, termasuk karena di dalamnya ada potensi hambatan seperti sampah, kabel, dan sebagainya. Sehingga kita perlu tampungan air lebih banyak lagi. Ada beberapa lahan prasarana, sarana, dan utilitas umum (PSU) pengembang yang sudah diserahkan ke Pemkot Surabaya dan bisa dimanfaatkan sebagai bozem,” ujarnya.
Tampungan air tersebut, lanjut Eri, juga bisa diperbanyak dengan membuat resapan-resapan air untuk mengurangi banjir sekaligus meningkatkan cadangan air tanah. Bahkan, hal tersebut dapat dilakukan dengan mengintegrasikan resapan air dan box culvert sebagai saluran air. Sehingga, sistem drainase yang ada tidak hanya membantu mengalirkan air, tetapi juga memungkinkan berperan sebagai resapan air.
”Setahu saya saat ini Pemkot Surabaya sedang menguji coba hal itu di beberapa titik box culvert. Ini perlu terus ditingkatkan karena menjadi solusi inovatif manajemen air hujan dengan mengintegrasikan model drainase modern seperti box culvert dengan fungsi resapan air,” ujarnya.
Ketiga, kolaborasi sejak dari daerah hulu, mengingat Surabaya adalah daerah hilir atau daerah delta yang memiliki dataran lebih rendah. Pengelolaan lingkungan yang baik di daerah hulu, termasuk dalam hal pengelolaan air hujan, akan memastikan daerah hilir seperti Surabaya tidak terdampak secara signifikan.
Termasuk, menambah tampungan air di wilayah hulu. Kolaborasi antar-daerah yang dikoordinasikan Pemprov Jatim menjadi hal penting, termasuk pelibatan pemangku kepentingan lain seperti Balai Besar Wilayah Sungai Brantas dan Perum Jasa Tirta I.
”Fungsi alami sungai termasuk di daerah hulu harus dikembalikan, di antaranya dengan memperkuat vegetasinya untuk mengurangi risiko bencana termasuk banjir,” jelasnya.
Keempat, manajemen sampah harus terus diperbaiki kualitasnya. Setiap hari petugas membersihkan sampah di rumah pompa, yang jumlahnya bisa mencapai 1-2 ton per hari. Hal ini harus menjadi evaluasi bersama antara pemerintah dan publik. Partisipasi publik diperlukan dengan kesadaran bersama memilah sampah sejak dari rumah.
Kelima, Pemkot Surabaya perlu melakukan penataan ruang secara lebih terukur, termasuk mengurangi pembangunan di daerah yang berpotensi menjadi resapan air. ”Aset-aset Pemkot yang idle juga perlu secara bertahap ditingkatkan fungsinya menjadi kawasan hijau,” ujarnya.
Terakhir, yang juga sangat penting adalah pemanfaatan teknologi untuk optimalisasi berbagai instrument pengendalian banjir, termasuk pintu air dan rumah-rumah pompa. “Teknologi juga perlu dimanfaatkan untuk menyampaikan potensi dampak banjir dengan melaporkan curah hujan dan ketinggian air secara real time ke warga,” pungkasnya.
Advertisement