Banjir Air Mata, Banjir Sembako dan Banjir Karangan Bunga
BANJIR rupanya memang sulit dihindarkan dari keseharian hidup warga yang tinggal di Jakarta. Selain banjir beneran, Jakarta beberapa waktu lalu dilanda banjir caci maki, banjir saling hujat, banjir sembako, banjir air mata, dan sekarang banjir karangan bunga.
Fenomena ini bisa kita sebut sebagai anomali karena adanya climate change, “perubahan cuaca.” Atau lebih tepatnya kita sebut sebagai political climate change. perubahan iklim politik.
Banjir beneran di Jakarta selain karena faktor penanganan dan manajemenn perkotaan yang kurang tepat, juga dikarenakan faktor alam yang sering disebut sebagai El Nino effect yakni memanasnya suhu permukaan air laut.
Sementara banjir sembako, banjir air mata dan banjir karangan bunga, disebabkan Ahok effect. Suhu udara di Jakarta juga memanas, bahkan sangat panas.
Political climate change itu sudah mulai terasa ketika dua setengah tahun lalu Ahok menjadi Gubernur DKI menggantikan Jokowi yang karena peruntungannya baik, kok ndilalah kemudian menjadi Presiden RI. Sejak itu udara Jakarta benar-benar berubah.
Dimulai dengan aksi penggusuran berbagai kantong kemiskinan di Jakarta, umpatan-umpatan kasar Ahok yang diucapkan dimuka publik, penistaan agama dan puncaknya ketika berlangsung Pilkada DKI 2017 (19/4).
Namanya juga perubahan cuaca tidak mudah mengatasinya, tanpa menyelesaikan faktor penyebab utama semua perubahan. Banjir di Jakarta dan berbagai wilayah di Indonesia, faktor utamanya adalah kerusakan alam akibat ulah manusia. Susah urusannya karena harus mengubah kesadaran manusia akan pentingnya kelestarian alam.
Nah "banjir" di Jakarta faktornya juga karena ulah manusia bernama Ahok. Soal yang ini kelihatannya lebih mudah diatasi, karena ada kesadaran bersama untuk mengganti Ahok dengan gubernur yang baru. Jadi faktor penyebabnya sudah teridentifikasi dan dapat diselesaikan. Mission accomplished. Done.
Perubahan sudah terjadi tapi kok banjirnya masih berlanjut? Harap bersabar sedikit, namanya telah terjadi kerusakan, jadi perlu waktu untuk memperbaikinya.
Banjir air mata karena Ahok kalah dan disusul dengan banjir karangan bunga ini hanya dampak ikutan yang bersifat sementara.
Kayak tidak pernah jadi remaja saja. Remaja yang sedang jatuh cinta kan mirip-mirip Ahokers, susah diingatkan, susah diberi tahu.
Percuma saja Anda mengingatkan sampai berbusa-busa. Biarkan mereka sementara melakukan apa saja. Beri ruang dia. Beri waktu mereka untuk bisa melihat realita.
Biasanya seiring dengan waktu yang berlalu, mereka akan bisa dengan senyum-senyum kecil ngomong “Untung gua putus dengan dia ya. Dia kan gitu.”
Makin lama senyum itu akan makin melebar. Mereka bisa dengan menertawakan diri sendiri dan berujar “kok bisa siy gua dulu jatuh cinta dengan dia? Apa siy hebatnya dia? Sok kegantengan aja!” Gotcha! Kena loe.
Sikap dan ucapan mereka akan berubah 180 derajat manakala mereka mendapat pengganti dengan sosok yang lebih hebat. Lebih ganteng, lebih sopan, lebih pinter, lebih care apalagi kalau lebih tajir!
Calon yang beginian kalau dikenalin ke orang tua dan saudara-saudara juga pasti langsung dapat persetujuan. _Lebih resep_ kata orang Betawi.
Lagi pula kalau kemudian menikah, hidup berumah tangga dan hidup bertetangga, suasananya akan rukun, tentram.
Bisa dibayangkan kalau tiap hari kita dapat umpatan “ Goobl…*peeeep*…Ta..*peeeep*, kalau sampai tetangga yang kena kan bisa berantem setiap hari. Capek deh…….
Apa pelajaran yang bisa kita petik dari banjir sembako, banjir air mata dan banjir karangan bunga?
*Kalau mau cari jodoh coba dengar nasehat orang tua, nasehat para ulama. Pilih juga dengan cara yang lebih syar’ie.*
Kalau cari jodoh saja syaratnya harus ketat, apalagi cari pemimpin***