Bangunan Demokrasi dalam Bahaya
Dari empat pilar demokrasi, salah satunya adalah partai politik (legislatif). Ketika pilar ini melemah dan goyah, maka bangunan demokrasi pun akan ‘doyong’ seperti tubuh yang mengalami keropos tulang. Walau masih tersisa 3 pilar penopang lainnya: eksekutif, yudikatif dan pers, pintu masuk untuk menjadi penguasa atau pejabat penting di wilayah eksekutif maupun yudikatif, tetap saja harus melalui pintu partai politik.
Hanya pers yang tidak perlu melalui pintu partai politik. Tapi celakanya, hampir seluruh kehadiran institusi pers sekarang ini tak mungkin bebas dari intervensi para pemilik modal. Karena kehadirannya (terutama yang besar-besar) , tidak bisa lain kecuali harus melalui pintu rumah para cukong. Para pemodal inilah sebenarnya sutradara di balik layar sebagai pengendali tertinggi arah dan politik pemberitaan di setiap institusi pers nasional dewasa ini.
Dari hasil survei yang dirilis oleh Kompas menyoroti 3 tahun pemerintahan Jokowi-JK, jelas terbaca betapa tingkat kepercayaan masyarakat kepada partai politik menunjukan angka yang terus menurun. Survei Kompas menampilkan angka indikator tingkat kepercayaan masyarakat yang sangat menghawatirkan, di bawah 50 persen. Tentu saja menurunnya tingkat kepercayaan rakyat ini bukan tanpa sebab. Selain partai-partai sekarang ini dikuasai oleh para pelestari dinasti, penilaian masyarakat terhadap kualitas para pemimpin partai pun sangat memprihatinkan. Kesan bahwa sangat miskin dan sepi sentuhan seorang pemimpin berkadar kualitas seorang negarawan, sangat kental tertanam dalam benak masyarakat.
Bagaimana penilaian masyarakat bisa positif, bila yang dipertontonkan adalah perilaku yang tidak dewasa setiap kali permasalahan bangsa memerlukan kebersamaan, kekompakan, dan pemikiran yang sehat. Hampir setiap kali masalah penting di level nasional muncul dan memerlukan kebersamaan, malah dijawab dengan adegan saling tuding dan saling tikam. Bukan mengambil langkah positif mencari solusi, tapi lebih cenderung menjadikan semua masalah untuk diperdebatkan, saling tuding, dan saling bersikeras mempertajam perbedaan.
Saking sudah menjadi suguhan sehari-hari, rasanya tidak perlu lagi dikemukakan contoh peristiwa. Saya yakin hampir seluruh pembaca agak sulit untuk tidak memberi anggukan tanda setuju. Pendek kata, keprihatinan terhadap situasi dan kondisi kualitas partai-partai politik sebagai tiang utama demokrasi ini, sudah menjadi keprihatinan massal yang mudah dibaca dan sangat terasa.
Bayangkan, sebuah partai besar dan mempunyai sejarah panjang sebagai partai penguasa, dibiarkan begitu saja oleh segenap pengurusnya untuk dipimpin oleh seseorang yang nyata-nyata sudah kehilangan kredibilitas dan kepercayaan dari masyarakat. Di sisi lain betapa masyarakat merasa miris menyaksikan sejumlah adegan yang memotret dengan jelas betapa partai-partai besar kehadirannya sudah tak ubahnya seperti perusahaan milik keluarga. Keluarga dan kerabat dulu yang diutamakan mendapat prioritas jalur A memanfaatkan partai untuk kepentingan pribadi, keluarga, maupun klan-nya. Ancaman menurunnya kualitas partai bukan lagi merupakan prioritas utama untuk menjadi perhatian.
Dari situasi dan kondisi yang sangat meprihatinkan ini, bisa dibayangkan kualitas dan personel di wilayah eksekutif, yudikatif--dan tentunya legislatif, harus melalui pintu partai. Faktor kedekatan dan juga like and dislike atas nama kepentingan keluarga dan kerabat, begitu kentalnya! Wajah buruk ini dengan jelas dapat terlihat pada cermin nasional yang terbentang dari Sabang hingga Merauke.
Membaca hasil survei Kompas, ada satu hal yang menggelitik. Kepercayaan masyarakat kepada institusi partai jeblok! Sementara tingkat kepercayaan masyarakat kepada TNI menempati peringkat paling atas, melebihi angka 90 persen. Untung saja tingkat kepuasan dan kepercayaan pada duo Jokowi-JK masih lumayan tinggi.
Nah, pertanda apa ini? Jawabannya silahkan simpulkan masing-masing bermodalkan uraian di atas.
*Erros Djarot - Dikutip sepenuhnya dari laman Watyutink.com
Advertisement