Bangsa Terbelah Dua, di Ambang Amok Massa, Para Konglo Berpesta!
Ulah para pemimpin yang tega melihat rakyatnya terus berseteru dan saling membenci, bahkan saling bunuh, merupakan warisan rezim Orde Baru (Orba) yang belakangan ini kembali berulang. Dahulu, pasca peristiwa berdarah 30 September ‘65, bangsa ini pernah terbelah menjadi dua kelompok atau golongan. Rakyat pendukung Orba dan rakyat yang digolongkan sebagai musuh Orba.
Massa pendukung Orba adalah rakyat yang berhak mendapatkan berbagai fasilitas negara, plus statusnya sebagai warga negara dapat sepenuhnya menggunakan hak konstitusinya dan bebas menghirup udara menikmati kemerdekaan. Sementara rakyat yang terkena stempel musuh Orba, sebagai warga negara dihilangkan semua hak perdatanya. Mereka dikucilkan, diawasi, dan tak bebas bergerak menghirup udara kemerdekaan.
Pasca Pilpres 2014, bangsa ini pun seperti terbelah menjadi dua. Rakyat pendukung Jokowi di satu sisi dan rakyat pendukung Prabowo di sisi yang lain. Berlanjut pasca Pilgub DKI, Ahok vs Anies. Para pendukung dua kubu seperti tak sudi untuk bersatu dan menyatu. Mereka lebih memilih hidup dalam dua bilik saling terpisah walau berada dalam satu atap rumah Indonesia. Bahkan mereka saling serang dan saling menjelekkan dalam kebencian. Bedanya dengan dulu (pasca tragedi 65), rakyat yang saling berhadapan memang tidak saling bunuh. Sebagai warga negara tetap diberi hak dan memiliki kewajiban yang sama.
Tapi, ada satu kelompok istimewa yang sejak peristiwa ’65 hingga sekarang tetap dalam posisi sebagai penikmat. Mereka adalah warga khusus yang berkemampuan membelokkan berbagai fasilitas negara untuk kepentingan dirinya maupun kelompok usahanya. Mereka adalah para konglomerat yang namanya selalu muncul dalam daftar 100 orang terkaya di Indonesia, dan hampir seluruhnya berasal dari warga keturunan Tionghoa. Mereka lah yang sepenuhnya menikmati kemerdekaan hasil perjuangan rakyat yang rela mengorbankan jiwa raga demi kejayaan negara. Tragisnya, rakyat yang berjuang, justru rakyat yang terbuang!
Celakanya, para penguasa dan elite politik di negeri ini terus membiarkan rakyat sibuk berseteru dan saling membenci. Sementara rakyat dibiarkan terus ribut dan saling serang, dapur mereka semakin terpuruk ke dalam cengkraman mesin bisnis para taipan yang terus mengeruk kekayaan negeri ini lebih dalam lagi hingga tak tersisa. Inilah bentuk kolusi penguasa-penguasa paling jahat!
Lihat apa yang terjadi. Saat rakyat ribut saling bermusuhan, tiba-tiba reklamasi Pantai Utara Jakarta dan pembangunan kota Meikarta terus berjalan. Sekolah, Rumah Sakit, tambang, usaha properti, usaha pertanian, perbankan, dan semua usaha mereka di berbagai bidang, di berbagai daerah, berkembang masif-ekspansif sehingga tak menyisakan ruang lagi bagi anak negeri di luar kelompok mereka bisa mengembangkan usaha menyamai gerak usaha mereka. Dan siapa pun yang akan memulai usaha, dipaksa harus tunduk mengikuti aturan main yang mereka telah tentukan! Bahkan kelak, bagi siapa pun yang hendak maju menjadi cabup, cawali, cagub, dan calon presiden harus berbaik-baik dengan mereka yang niscaya kelak meningkat menjadi: harus mendapat restu mereka!
Bahayanya, rakyat kebanyakan yang tengah sibuk berseteru tiba-tiba tersadarkan dan bangun dari kebodohannya. Gerakan rasialisme (chaos) antiCina pun pasti menjadi suatu keniscayaan. Terpicu arogansi para konglomerat yang bangun sana bangun sini sebelum izin diperoleh, tak peduli protes yang gencar datang dari masyarakat. Karena dalam benak mereka sudah terlanjur tertanam: kekuatan uang mereka bisa membereskan semua rintangan.
Bila chaos terjadi, mereka yang hanya segelintir orang jumlahnya dipastikan yang pertama kabur ke luar negeri. Sementara saudara-saudara kita rakyat keturunan Tionghoa yang masih hidup pas-pasan dan masih harus berjuang untuk dapat hidup layak, akan menjadi target amok rakyat! Padahal, apa salah mereka???
Semoga Pak Jokowi, terutama para pembantu dekatnya melek akan bahaya ini! Jangan bermain dengan api untuk kepentingan dan kekuasaan sesaat!
Ini teguran dari seorang kawan!
*Erros Djarot adalah budayawan, seniman, politisi dan jurnalis senior - Tulisan ini dikutip sepenuhnya dari laman Watyutink.com
Advertisement