Bangladesh Usir 2.000 Warga Rohingya dari Pulau Terpencil
Cox's Bazar: Otoritas Bangladesh memaksa lebih dari 2.000 warga Rohingya untuk meninggalkan pulau terpencil tempat mereka bersembunyi setelah melarikan diri dari aksi kekerasan di Myanmar, ungkap pejabat pada Senin (4/9) kemarin.
PBB menyebutkan bahwa 87.000 pengungsi yang sebagian besar adalah warga Rohingya membanjiri perbatasan menuju Bangladesh sejak pertempuran terbaru terjadi 10 hari lalu di negara bagian Rakhine di Myanmar.
Sebagian besar telah memasuki daratan atau dengan melintasi sungai perbatasan Naf. Namun, saat keputusasaan kian berkembang, beberapa orang nekat melintasi laut lepas untuk mencapai pulau kecil St Martin yang berada sembilan kilometer di lepas pantai Bangladesh.
Pejabat mengatakan bahwa 9.000 penduduk di pulau itu, yang memiliki kesamaan hubungan budaya dengan Rohingya dan menggunakan bahasa yang sama, menyembunyikan sekitar 2.000 pendatang baru tetapi diperintahkan untuk menyuruh mereka pergi.
Rohingya merupakan minoritas etnis tanpa kewarganegaraan yang menurut kelompok HAM telah menghadapi penganiayaan di Myanmar selama beberapa dekade.
Kepala dewan daerah Noor Ahmad mengatakan bahwa pengeras suara di masjid digunakan untuk meminta warga agar menyerahkan pendatang Rohingya kepada penjaga pantai.
“Mereka memberi tahu kami untuk membantu menemukan warga Rohingya dengan segala cara dan membawa mereka ke kamp penjaga pantai,” ujar Ahmad.
Sementara itu pengamat politik Islam dari Univeraitas Indonesia Yon Machmudi berpendapat, penyelesaian masalah penindasan etnis Rohingya di Myanmar lebih memerlukan peran negara dan organisasi ASEAN.
"Ini karena kasus diskriminasi dan kekerasan etnis ini sudah berlangsung sangat lama, sistemik dan mengakar," ujar Yon Machmudi di Jakarta, Selasa (5/9).
Menurut dia, kekerasan terhadap etnis Rohingya itu melibatkan negara dalam hal ini militer dan didukung kelompok Budha garis keras yang dipimpin oleh Biksu Wiratu.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya UI itu menambahkan, masalahnya menjadi sangat kompleks karena melibatkan rakyat di tingkat bawah atau "grassroot" yang melakukan pengusiran kepada etnis Rohingya.
Pada satu sisi, lanjutnya, kebijakan negara terhadap Rohingya menunjukkan sikap ketidakinginan melakukan integrasi etnis. Rohingya dianggap bukan bagian dari bangsa dan warga negara Myanmar.
"Kebijakan negara dalam mengelola etnisitas juga cenderung menggunakan pendekatan homogenisasi. Artinya hanya satu etnis saja yang memiliki keistimewaan dalam kekuasaan," kata alumnus program studi Asia Tenggara the Australian National University (ANU) itu.
Kebijakan semacam ini, katanya, cenderung melenyapkan etnis yang tidak diinginkan.
"Secara terstruktur, negara melakukan genosida, pengusiran maupun asimilasi secara paksa guna menghilangkan identitas etnis yang tidak disukai itu. Ini mirip seperti nasib bangsa Kurdi dan Palestina, karena negara baru tidak mau mengayomi maka sering dilabeli sebagai kelompok separatis," ujar Yon.
Peran Indonesia
Untuk itu, lanjut dia, peran Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara menjadi penting untuk ikut mencegah proses pengusiran paksa atau displacement maupun pembersihan etnis (etnict cleansing)
Organisasi ASEAN juga dapat menekan Myanmar agar dapat menjauhkan kebijakan yang diskriminatif itu, karena bertentangan dengan karakter bangsa di Asia Tenggara.
"Prinsip-prinsip itu saya kira harus ditegakkan agar ada `platform`(kerangka dasar) tertentu yang harus dipenuhi oleh setiap negara anggota ASEAN," kata Yon yang juga Ketua Program Studi Pascasarjana Kajian Timur Tengah UI itu.
Walau bagaimanapun, ujar Yon, pengaruh junta militer masih sangat kuat dan cenderung tidak kompromi dalam menstabilkan negara dan sering melakukan pelanggaran hak azasi berat.
"Jika tidak dipenuhi, kebijakan isolasi perlu dipikirkan oleh ASEAN kepada Myanmar," katanya.
Myanmar, lanjut dia, harus melakukan pendekatan bersifat akomodasi politis atau "political accomadation" jika memang masih menghargai hak-hak minoritas di negaranya, bukan sebaliknya berusaha menghilangkan eksistensi etnis Rohingya. (afp/ant)