Bandung All Terrain Challenge: Berawal Romli Hingga Rebut 5 KOM
Bandung All Terrain Challenge memang sudah berlalu empat hari yang lalu. Namun, cerita-cerita peserta saat mengikuti even ini belum berlalu. Bahkan akan terkenang selalu.
Salah satunya cerita dari Fitra Tara Mizar (IG: @taramandibandung). Dia dikenal sebagai kolektor sepeda vintage, penggemar gowes jarak jauh, penggagas balapan Salasa Kahiji Bandung dan penggagas Vriday Vintage Bandung.
Simak cerita 'sengasara' dan kocak Fitra Tara Mizar saat mengikuti Bandung All Terrain Challenge dengan gaya penuturan aku.
***
Sebetulnya saya tidak tahu ada acara gowes bareng Bandung All Terrain Challenge 2020 . Bermula dari kunjungan lima teman Jakarta yang mengajak makan malam, Jumat 25 September.
Mereka cyclist juga, yaitu Ronald Simanjuntak (Pakcok), Gya Amalia, dan suaminya, Romi Pangestu, Maya, dan Adit.
Lantas mereka bilang bahwa besok (Sabtu, 26 September) mereka akan mengikuti even gowes 200 km dengan elevasi 2,300 meter. Yang menarik, gowesnya all terrain! Jadi ada aspal, ada makadam, ada offroad, pokoknya segala jenis medan jalan.
Saya tertarik. Tapi belum daftar. Dan ini sudah H-1. Pasti sudah tutup pendaftaran. Saya putuskan jadi “romli” (rombongan liar) saja. Menemani lima teman saya ini.
Mereka memberi bocoran bahwa ini unsupported ride. Lalu keluar masuk blusukan ke hutan dan pemukiman warga mengikuti rute yang disediakan panitia. Jadi harus tahu jalan untuk bisa finis. Atau harus punya cycling computer yang dilengkapi GPS.
Saya tidak punya sepeda gravel atau mountain bike (MTB). Padahal rutenya adalah 35 persen non aspal. Saya pikir pake road bike lalu dipasangi ban 28 mm sudah cukup.
Tapi Pakcok wanti-wanti jangan pake road bike daripada nanti bermasalah. Waduh! Malam-malam saya hubungi partner saya di NCC Bike untuk pinjam sepeda gravel.
Akhirnya dapat pinjaman Cervelo Aspero dengan ban gendut, 700c x 42 mm. Sepeda itu menggunakan chainring 47/32 dan sproket 10-36. Seumur-umur saya belum pernah pake sepeda gravel. Apalagi gowes di jalan non aspal.
Kita berenam janjian esok hari bertemu di BikeSystem, toko sepeda di jalan Juanda, Dago, Bandung yang jadi tempat start jam 05.15 karena kita akan ikut rombongan yang start jam 05.30 pagi.
Keesokan harinya, jam 05.15 kami sudah tiba di BikeSystem. Arai, salah satu panitia dari DirtxClouds menyambut saya dan mengatakan bahwa masih ada sisa slot. Jadilah saya resmi ikut even Bandung All Terrain Challenge ini!
Sekali lagi. Niat saya hanya “romli” jadi saya tidak ada persiapan yang maksimal. Saya belum makan pagi! Hanya bawa satu Strive Bar. Multitools juga ban dalam cadangan. Waduh, bisa gawat ini!
Ya sudahlah, jalani saja. Toh, banyak mini market di perjalanan. Dan ini kan gowes jalan-jalan jadi tidak ada peloton. Sebenarnya, konsep acara yang digarap bareng Audax Indonesia dan DirtxClouds ini bagus di tengah pandemi corona virus.
Karena startnya tidak bersamaan, di perjalan pun dilepas oleh panitia tidak ada peloton. Asal peserta diberi peta. Diberi penunjuk arah. Diberi lokasi check point. Dan diberi lokasi finis, kembali ke BikeSystem lagi. Jadi relatif tidak ada gerombolan cyclist. Sangat aman protokol kesehatannya.
Karena sudah banyak peserta yang berangkat duluan jam 5 pagi, saya percaya diri saja bahwa di depan saya pasti banyak cyclist lain yang bisa jadi penunjuk jalan. Saya tidak tahu apa-apa!
Ada tiga checkpoint yang harus dilalui. Yaitu di Indomaret Pacet, Majalaya. Untuk mencapai checkpoint 1 ini jalanan masih beraspal. Saya pacu Cervelo Aspero dengan kecepatan 38-40 kmh. Nyaman dan responsif dibetot sepeda ini. Sayang saya kehilangan jejak teman di depan.
Alhasil, ketika di km 30 saya tersasar. Ketika di Cicelengka saya lurus ke arah Nagreg. Akhirnya stop di SPBU di kawasan Rancaekek dan putar balik. Lumayan tuh, 7 km saya kebablasan!
Ketika sampai di checkpoint pertama, banyak cyclist yang awalnya saya salip sudah scan barcode dulu. Memang demi protokol kesehatan, panitia canggih. Pakai scan barcode lalu data kita sampai ke panitia. Selesai urusan barcode, cyclist-cyclist itupun sudah siap jalan menuju pitstop berikutnya.
Check point kedua di Lotek Ibu Tati Danau Cileunca. Waduh saya bingung dimanakah itu? Cari –cari di GPS smartphone. Aha, ketemu! Mulailah saya gowes Aspero.
Hadeeeh… harus nanjak 25 km! Di lereng kebun teh tapi pemandangannya cantik banget! Sehingga gradien 5-10 persen tak terasa apalagi sproket saya 36. Uhuiii… enteeeeng! Hahaha…
Sekali lagi, beberapa cyclist saya salip di sini. Tapi di tengah-tengah nanjak di tengah hutan tiba-tiba smartphone saya lost signal. Matilah GPS. Matilah saya juga. Saya buta area situ! …
Akhirnya kembali ke zaman baheula. Tetap pake GPS tapi kali ini “Gunakan Penduduk Sekitar”. Saya terus bertanya ke orang yang saya temui di manakah Lotek Ibu Tati Danau Cileunca itu.
Mulai panik! Saya tidak yakin petunjuk yang diberikan orang-orang itu benar. Tapi tetap saya ikuti saja. Saya menyusuri danau sampai akhirnya masuk ke gerbang utama tempat wisata Situ Cileunca. Tetap saya tidak dapat lokasi checkpoint 2 Lotek Ibu Tati. Makin paniklah saya…
Beruntung, smartphone sudah ada sinyal. Googling sebentar akhirnya dapat. Jadi semua peserta masuk ke checkpoint 2 lewat jalur timur. Tapi saya malah datang dari arah barat. Fiuuh… akhirnya sampai juga! Biar dari arah mana aja. Pokoknya saya sampai checkpoint 2. Hahaha…
Ah, lagi-lagi saya kalah dari peserta lain yang saya salip di tanjakan dan jalan berbatu di daerah Cagar Alam Malabar. Setelah scan barcode, isi bidon langsung cuzzz berangkat ke checkpoint 3.
Checkpoint 3 ini di Indomaret sebelum waduk Saguling. Kira-kira di km 150. Ada teman yang bilang bahwa peserta paling depan adalah pengguna sepeda fixed gear. Kaget saya, kuat banget dan luar biasa fixed gear bisa melalui jalan berbatu, tanjakan dan turunan curam tanpa rem.
Saya kejar peserta paling depan itu! Saya ingin tahu siapakah beliau. Saya yakin bisa kejar karena rutenya lewat hutan di wilayah Gambung yang menanjak diakhiri rute perkebunan PTPN yang indah.
Akhirnya, kami bertemu di checkpoint 3 di kawasan Waduk Saguling pas saat makan siang jam 12 tengah hari. Ternyata dia adalah Alif Mabrur. Pria yang memiliki akun Instagram @fueledbybiscuits ini memang kuat. Mahasiswa ITB lulusan Teknik Mesin. Sering ikut balapan kampung Salasa Kahaji di Bandung.
Akhirnya, saya takut tersasar lagi. Kami gowes berduaan terus selepas checkpoint 3. Menyusuri Waduk Saguling sampai ke Kota Baru Parahyangan Padalarang.
Tak mudah, sebelum sampai ke Padalarang ini, kami tersasar ke sebuah jalan buntu di belakang Saguling. Apesnya, baliknya harus nanjak. Mana pas siang teriknya ampun, deh!
Sampai atas, lewat jalan lain, lagi-lagi jalan buntu dalam komplek pemerintahan Kota Bandung Barat. Apes! Keluar dari jalan itu, Alif mengalami pecah ban. Mulai panik dan frustasilah saya. Apalagi sinyal HP byar pet membuat tidak bisa membuka GPS.
Biar tenang, saya bantu mengganti ban Alif. Lalu jalan lagi mencari rute menembus Kota Baru Parahyangan. Tak lama, lagi-lagi ban Alif meletus. Ternyata ban luar Alif sobek karena dia selalu ngepot-ngepot ketika turunan sambil menghajar bebatuan. Itu cara dia mengurangi kecepatan karena sepeda dia fixed gear.
Akhirnya ban luar habis sampai bolong dan ban dalam tidak kuat menahan. Tak patah semangat. Kami mencari cara agar Alif bisa jalan dan finis di Bandung.
Kilometer sudah menunjukkan 165, jadi 35 km lagi sudah sampai Bandung. Dan jam saat itu pukul 12.30. Perhitungan kami, jam 14 sudah bisa tiba di Bandung.
Namun, karena ban Alif tidak ada solusi berarti. Akhirnya saya pamit dan putuskan untuk melanjutkan sisa perjalanan. Sambil berharap bertemu dengan peserta lain dan tidak tersasar lagi.
Sempat berhenti di daerah Gunung Gambung. Karena sama sekali tidak tahu arah dan smartphone tidak ada sinyal. Akhirnya harus menunggu peserta belakang saya untuk barengan.
Bertemulah dengan Apolonia Kharisma, seorang pelatih polo air Jawa barat yang juga suka gowes turing. Akhirnya saya bisa kembali ke BikeSystem Bandung tanpa tersasar.
Kalau lihat catatan jarak di aplikasi Strava teman-teman, semuanya tercatat 200 km dengan elevasi 2,300 meter. Milik saya tercatat 218 km dan elevasi 2,650 meter. Jadi saya tersasar sejauh 18 km dan gara-gara itu saya ekstra nanjak 350 meter. Alamak!
Ini adalah kali pertama saya mengikuti Audax model unsupported. Jadi saya banyak belajar. Next even saya harus membawa alat navigasi yang bukan smartphone karena sinyal kurang stabil.
Mungkin bisa cycling computer Garmin atau Wahoo yang direct berhubungan dengan satelit sehingga lebih akurat.
Jangan tanyakan bagaimana rasanya badan saya. Remuk redam!!! (dengan tiga tanda seru). Saya tidak pernah gowes offroad. Nah, yang membuat saya pegal-pegal adalah ketika turunan di medan bebatuan.
Getarannya tidak cuma di lengan dan bahu tapi terasa di sekujur tubuh. Maaf, pantat saya sudah mati rasa juga. Bahkan otak saya ikut bergetar rasanya.
Rupanya saya salah strategi. Ban gendut Aspero yang ukuran 42 mm itu saya pompa 50 psi depan dan 55 psi belakang.
Nah, ketika di aspal aman bahkan enak banget. Tapi ketika lewat makadam, berasa keras. Akhirnya saya coba kempeskan hingga sekitar 30 psi. Baru enak melibas jalanan bebatuan. Berasa empuk, mudah dikendalikan dan lebih stabil!
Dalam hati saya bilang untung tidak pakai road bike dengan ban 28 mm. Pasti tidak akan lolos dengan rute beginian. Bisa pecah ban dan rusak wheelset. Buat saya yang tidak punya pengalaman offroad dan tidak skillfull dengan medan gravel, Aspero ini sangat membantu! Mudah diajak manuver, empuk, nyaman, dan power transfernya efisien.
Berat badan saya 59 kg, saya hajar lubang-lubang jalanan dengan Aspero ini, hebatnya tidak berasa goncangan yang berarti. Enak pakai sepeda gravel. Beda dengan road bike carbon atau steel bike.
Ada jargon comfort is speed itu benar. Karena sepeda ini nyaman, jadi saya bisa ngebut. Hasilnya? Saya berhasil merebut 5 KOM (King of Mountain) di aplikasi Strava! Padahal ini pertama kali saya pakai sepeda Aspero dan pertama kali juga lewat rute ini.
Akhir kata, ternyata dalam even model Audax begini yang tercepat dan terkuat bukan jaminan finis duluan. Beberapa kali saya kaget karena semua yang saya susul saat menuju ke checkpoint 1 dan 2 dan yakin mereka jauh di belakang, eh di checkpoint berikutnya dia sudah ada di sana.
Padahal saya tidak merasa disalip olehnya. Hahaha… Seru dan pingin ikutan lagi dengan persiapan yang lebih matang!