Bandara Kulprog
Saya berselisih waktu dengan Presiden Joko Widodo. Saat ia meresmikan Bandar Udara Yogyakarta International Airport (YIA).
Ia meresmikan bandara keren itu pagi hari. Saya mendarat siangnya. Tak ada hubunganya sih. Tapi itulah saya pertama merasakan hebatnya bandara tersebut.
Setelah terpaksa naik pesawat untuk urusan ke Jakarta. Yang saya hindari sejak awal pandemi Covid-19. Pagebluk yang membikin lumpuh bandara di seluruh dunia.
Saat ke Jakarta, saya ingin berangkat dari Bandara Adisucipto. Bandara lama. Ke bandara baru di Kulonprogo terlalu jauh dari pusat kota.
Kebetulan masih ada penerbangan dari situ. Pakai pesawat baling-baling ke Halim. Tinggal pesawat kecil yang terbang dan mendarat di bandara lama.
Bayangan saya, meski pakai pesawat kecil tapi tetap physical distancing. Ternyata pesawat penuh. Semua kursi terisi. Terpaksa berdempetan.
Wah bikin paranoid. Untung saya saya pakaian lengkap. Masker, faceshield, dan sarung tangan. Hanya lupa pakai baju lengan panjang.
Eh...di dalam ada yang batuk-batuk lagi. Sepanjang penerbangan 1,25 menit jadi tak jenak. Seakan ingin cepat turun dari pesawat. Tapi mana mungkin?
Akhirnya pulang kembali ke Yogyakarta saya memilih naik pesawat besar. Berangkat dari Halim mendarat Bandara YIA. Sekalian pingin tahu bandara yang Jumat kemarin, 28 Agustus 2020, diresmikan Presiden Jokowi.
Inilah badara terbaik yang pernah saya kunjungi. Di pinggir laut selatan dan menghadap perbukitan. Begitu landing di runway sampai keluar bandara tak terasa seperti di Indonesia.
Apalagi Kulonprogo yang selama ini dikenal sebagai kabupaten terbelakang di DIY selain Gunung Kidul. Bandara yang sangat indah, modern dengan ornamen keraton Yogyakarta.
Bayangan horor seperti di Bandara Adi Sucipto dan Halim Perdana Kusuma sirna sama sekali. Setelah keluar garbarata melewati koridor yang sangat luas.
Sebelum turun ke lantai bawah tempat pengambilan bagasi dan pintu keluar kedatangan berderet kursi yang di tata rapi. Seperti tempat ujian yang ditata secara berjarak.
Itulah tempat para penumpang yang baru turun pesawat untuk duduk antri sambil mengisi form Ehac. Form data base untuk mengendalikan penyebaran virus corona.
Bagi yang telah mengisi form digital juga bisa antre sambil duduk agar tak jadi kerumunan. Ada tiga meja petugas kesehatan yang mengecek form tersebut. Layoutnya membuat para penumpang terpaksa antre dengan disiplin protokol kesehatan.
Inilah bandara baru yang dibangun di atas tanah 600 hektar. Dengan luas terminal 210 ribu meter persegi, bandara ini mampi menampung 20 juta per tahun.
Hanggarnya bisa menampung 28 unit pesawat. Juga bisa melayani pesawat berbadan jumbo seperti B777, B747, A380. Punya jalan bertingkat untuk lajur keberangkatan dan kedatangan sendiri.
Arsitekturnya keren. Banyak ornamen interior maupun eksterior yang membuat nyaman selama di bandara. Tempat pengambilan bagasinya lapang dan indah.
Saya setuju dengan Jokowi yang menyebut bandara ini terbaik di Indonesia. Pengerjaannya sempurna sampai ke detil. Istimewa.
Sayang begitu keluar dari tempat pengambilan bagasi banyak agen transportasi umum yang berebut penumpang. Sambil berteriak-teriak menawarkan jasa. Jadi berisik.
Bandara ini dilengkapi gedung parkir tiga lantai. Di sisi depan kanan dan kiri. Juga ada stasiun kereta api di dalamnya.
Jika sudah ada kereta bandara pasti akan banyak penumpangnya. Sebab, bandara YIA di Kulonprogro itu cukup jauh dari kota Yogyakarta. Butuh perjalanan darat hampir sejam.
Yang pasti, bandara ini betul-betul mengungkit pertumbuhan wilayah sekitarnya. Banyak usaha kuliner baru di sepanjang jalan menuju tengah kota.
Mulai dari coffee sampai dengan tempat makan enak. Padahal baru tahun 2018 lalu bandara ini mulai dibangun.
Saya tak menyesal mendarat di Bandara ini. Apalagi beberapa saat setelah diresmikan Jokowi. Tak rugi meski jaraknya lebih jauh dari bandara lama.
Tapi saya tak suka menyebut Bandara YIA. Lebih suka menyebutnya Bandara Kulprog. Seperti trend anak Yogya sekarang yang menyebut jalan dan tempat khas dengan singkatan.
Seperti menyebut Jalan Kaliurang menjadi Jakal, Jalan Magelang menjadi Jamal, Jalan Solo dengan Jasol, dan seterunya.
Sungguh saya merasakan Yogya makin istimewa.
Advertisement