Balada Wedus
DI AWAL sekolah SD Kakek mengantar saya membeli kambing gibas yang berbulu tebal putih. Di desa kami gibas juga lazim disebut Wedus Strali (Australia). Satu induk betina dengan dua anaknya. Dari Pasar Peterongan saya seret susah payah sejauh 5 km ke Menturo desa saya. Bagi yang ingin tahu betapa ‘sengsara’-nya menyeret kambing menempuh jarak sejauh itu, satu-satunya jalan adalah mencobanya sendiri.
Beberapa tahun saya memeliharanya, angon, menggembalakannya setiap usai sekolah bakda shalat Dluhur hingga sore menjelang Maghrib. Saya bergabung dengan banyak para penggembala senior. Kambing saya beranak pinak sampai lebih 20 ekor. Kami menggembalakan kambing di arena tangkis, lapangan bola atau jalanan ke kuburan. Kami bekerja sama menjaga beberapa titik dan area, karena para kambing sering tersesat atau menyesatkan diri dalam mencari rumput.
Kalau saya ingat masa itu, sering tersenyum-senyum sendiri. Pasalnya, kami para penggembala kambing gibas selalu merasa cemburu kepada teman-teman kami para penggembala Wedus Jowo, yang warnanya biasanya coklat dan hitam. Memang kambing gibas lebih menggairahkan untuk dilihat, karena mereka terlepas bebas di seluas apapun padang rumput. Sedangkan kambing Jowo ditali lehernya. Area rumput yang bisa mereka nikmati hanya sejauh lingkaran sepanjang tali antara pathok dengan leher mereka. Tetapi itu berarti para penggembalanya tidak perlu mengawasi mereka. Mereka bisa santai, main kartu, atau bahkan bisa tidur sepuasnya.
Sementara kami para penggembala kambing gibas harus terus-menerus mengawasi kambing-kambing kami. Jangan sampai mereka melanggar batas tanah lapang, masuk ke sawah-sawah atau kebun orang, atau minggat menyusuri galengan-galengan, atau keluar ke jalanan umum. Kambing-kambing gibas kami harus diawasi jangan sampai tersesat.
Ini pasal berikutnya yang membuat saya tersenyum-senyum sendiri kalau mengingatnya: kambing jangan sampai tersesat. Sebab mana mungkin ada kambing tersesat. Kambing tidak ada urusan dengan jalan yang benar dan jalan yang sesat. Kambing tidak hidup dalam jagat kebenaran atau kesalahan, kebaikan atau keburukan, kepatuhan atau pelanggaran. Kambing, sebagaimana semua hewan yang lain, bersama seluruh penghuni alam semesta, kecuali Jin dan manusia: adalah bagian yang otentik dan utuh dari organisme ciptaan Tuhan.
Kalau pakai Bahasa Agama: mereka adalah bagian dari qadla dan qadar Allah. Bahasa populernya: bagian dari takdir dan nasib yang ditentukan oleh iradat dan amarnya Allah. Termasuk kakak-kakak kita para Malaikat: mereka ya’malu ma yu`marun, menjalani apa yang dititahkan oleh Tuhan. Alam dan binatang ‘autopiloted’ tanpa kesadaran, sedangkan Malaikat mungkin dengan sistem kesadaran khusus yang manusia belum diperkenankan saat ini untuk mengetahui dan memahaminya.
Jadi kalau ada kambing tersesat, maka mereka bukan kambing. Yang bisa tersesat hanya manusia dan Jin. Yang punya kemungkinan tersesat, menyesatkan diri atau melanggar ketentuhan Tuhan Yang Maha Esa adalah makhluk yang berakal, yang punya logika, pengetahuan dan ilmu, yang punya kemungkinan untuk mengerti bahwa mereka tersesat. Kalau ada manusia berjalan menuntun kambing dan tersesat di suatu wilayah, maka yang tersesat hanyalah manusianya, sedang kambingnya tidak. Sebab kambing tidak terlibat dalam nilai-nilai yang mengikat Jin dan manusia: gara-gara dia punya akal, bisa berpikir, mampu membedakan sesuatu berdasarkan jarak intelektual.
Meskipun demikian tidak dijamin bahwa kalau kita manusia, maka kita pasti tahu sedang tersesat atau tidak. Bangsa yang sedang mengalami – misalnya – Bedhol Negoro, justru tidak menyadari bahwa mereka sedang mengalaminya. Bisa saja bagi mereka Negoro tidak Bedhol. Kalau Jebol Negoro, lebih langsung bisa dipahami: misalnya Negara hancur, dan mereka ikut hancur. Beda dengan Bedhol Negoro: bisa jadi keadaan Negoro tampak dari permukaan semakin maju, semakin banyak kemewahan. Mereka mungkin serba sedikit turut maju dan makmur. Tetapi mereka bukan lagi pemilik Negoro. Mereka menjadi bukan lagi "penduduk asli" Negoro itu. Mereka buruh, pembantu rumah tangga Negoro, di atas tanah dan di dalam 'rumah' yang juga semakin bukan milik mereka lagi.
Ibarat kambing gibas, mereka hanya ternak. Dilepas makan rumput sekadarnya, di tanah lapang yang dulunya milik mereka, tapi kemudian perlahan-lahan menjadi milik para penggembala. Atau kalau kambing Jawa, mereka diikat dengan tali di lehernya, ujung tali lainnya diikat di pathok atau tonggak. Para penggembala menjaga pathok serta batas area rumput yang boleh dimakan oleh kambing piaraan.
Seluruh padang rumput itu aslinya adalah hak para kambing, dalam posisi Hak Guna Pakai dari Tuhan. Tetapi kemudian dibeli oleh penggembala, sehingga kambing-kambing hanya bisa makan sebagian kecil rumput belaka. Negoro rumput itu sudah bedhol dari hak dan pemilikan mereka. Dalam posisi itu kemungkinannya tinggal dua: para domba itu setia pada pathok, tali dan batas rumput, sebagai ternak para penggembala. Atau mereka coba jebol pathok itu kemudian berlari makan ke seluruh padang rumput semau mereka. Tetapi apa ada kemungkinan kambing-kambing melakukan Jebol Pathok untuk memerdekakan dirinya?
Kalau umpamanya besok-besok kita ternyata diterima menjadi penduduk dan warga negara Sorga, mudah-mudahan ada kesempatan untuk tanya-tanya kepada para Nabi, yang hampir semuanya berpengalaman hal-hal yang berkaitan dengan kambing atau domba. Di antara masyarakat bumi yang terinspirasi oleh salah satu Nabi, memiliki istilah “Menggembalakan Domba-domba Yang Tersesat”.
Boleh kita tanya kepada Nabi inspiratornya: “Sangat jelas maksud istilah itu. Cuma kenapa kebanyakan penggembala terlalu terkonsentrasi pada kata ‘sesat’. Apa tidak ada kemungkinan bahwa titik beratnya sebenarnya adalah pada ‘domba’. Jangan-jangan berulang-ulang peradaban ummat manusia mengalami kegagalan selama sejarah ini gara-gara kita sibuk dengan tema ‘sesat’, sehingga kita sangat sedikit belajar tentang domba atau kambing atau wedus.
Berapa kurun waktu diperlukan oleh proses peradaban manusia untuk membumikan Taurat, Zabur, Injil dan Qur`an. Untuk mensosialisasikan dan menginkulturisasikannya. Dan sampai abad 21 sekarang ini sejarah ummat manusia lebih banyak menghasilkan kekuasaan dibanding keberbagian. Lebih melimpah kepandaian dan kehebatan, tetapi sangat minimal kearifan dan kebijaksanaan. Amat tinggi frekuensi kebencian dan kedalaman dendam, sementara amat tipis penyebaran kasih sayang dan pengayoman.
Informasi yang paling populer yang diawali oleh statement Malaikat yang kemudian di-Iblis-kan oleh Tuhan bahwa “profesi utama manusia adalah merusak bumi dan menumpahkan darah” sama sekali tidak terbantahkan faktanya hingga hari ini. Ada kemungkinan salah satu sebabnya adalah karena para penggembala terlalu menghabiskan waktu dan energinya mengurusi kebenaran dan kesesatan, kebaikan dan keburukan, serta tidak tega hati dan kekejaman.
Para penggembala lupa bahwa mereka mengungkapkan itu semua kepada domba-domba. Mereka membacakan Taurat, Zabur, Injil dan Qur`an kepada kambing-kambing. Mereka tidak cukup ingat bahwa partner dialektika mereka dalam menjalankan sejarah adalah wedus-wedus. (bersambung)