Balada Tukang Sepeda Digerus Cerita Majunya Zaman (Bagian 3)
Berapa banyak orang kini yang punya sepeda. Pernahkah ada yang mencoba menghitung? Pernahkah ada survei secara statistik? Sepertinya tidak ada. Mungkin juga tidak perlu ada. Sebab, selain tak berpajak sepeda kini tak harus menjadi barang yang kudu dimiliki.
______________
Dulu sepeda punya peneng. Sebuah istilah yang sepertinya peninggalan zaman old. Peninggalan Belanda persisnya. Karena ber-peneng itu maka sepeda termasuk barang kena pajak.
Biasanya peneng tertempel di badan sepeda. Jadi bisa dilihat siapa saja, termasuk Polisi dan Hansip Kelurahan yang bisa dan biasa merazia sepeda tak berpeneng atau masa berlaku penengnya sudah kadaluarsa.
Dengan kata lain, peneng adalah semacam surat ijin mengendari sepeda di jalan-jalan milik fasilitas umum. Becak, juga dokar yang ditarik kuda, dikenakan peneng serupa. Hingga pertengahan 1990-an, peneng masih berlaku. Setelah tahun-tahun itu, peneng hilang tanpa bekas.
Bisa dibayangkan, betapa pentingnya sebuah sepeda pancal, sepeda onthel, sepeda angin, atau apalah nama sebutannya. Kala itu. Kala semono. Dan mungkin juga sudah disebut kalabendu. Sebab itu, bengkel sepeda juga bermunculan seperti jamur. Lebih banyak dari toko sepeda itu sendiri.
“Sepeda selalu rijik. Sepeda selalu mulus. Sepeda selalu terawat. Tak pernah ada rem tidak pakem. Tak pernah ada stang sepeda yang mencong. Tak pernah ada kartengkas sepeda yang nggoser dengan tuas pedal. Tak pernah ada rantai sepeda yang terlihat teyengnya. Ibaratnya sepeda selalu sempurna. Mbengkel sepeda adalah perkejaan favorit. Ke bengkel sepeda bahkan harus rela antri,” kata Supardi mengenang kejayaan bengkelnya masa lalu.
Sejak peneng sepeda menghilang, kata Supardi, itulah permulaan surutnya bengkel sepeda. Bengkel menjadi suram. Suram itu menjadi makin berkepanjangan manakala mendapatkan kendaraan bermotor makin mudah. “Bawa uang 500 ribu sudah bisa bawa pulang motor. Utang pun juga semakin gampang. Sejak utang atau kredit motor semakin gampang, sepeda pancal menjadi kalah berharga dengan brambang (bawang merah, red),” kata Supardi.
Ini bulan-bulan ramadan. Kata Supardi, bulan begini adalah waktunya mencari uang. Bengkel menjadi rame dadakan. Hampir sebulan penuh malah. Kenapa, karena banyak anak-anak yang ingat lagi sepedanya. Setelah makan sahur biasanya mereka tak balik tidur. Tapi mainan sepeda rame-rame keliling kampung sampai pagi. Setelah byar padang baru berangkat sekolah.
Karena sepeda lama mangkrak sudah pasti penyakitnya macam-macam. Mulai hanya teyeng di beberapa bagian onderdil, gemuk-gemuk yang mengering, hingga harus mengganti dan merombak banyak orderdil. Para orang tua biasanya mengizinkan untuk apapun yang dilakukan dengan sepeda anaknya. Mereka umumnya ogah berdebat, sebab salah-salah si anak minta sepeda baru malah repot. Malah kehilangan bujet lebaran. Padahal lebaran sudah di depan mata.
Hanya untuk perbaikan kecil-kecilan, Supardi hanya memungut biaya antara 5-10 ribu rupiah. Perbaikan agak besar hingga besar hanya 15-20 ribu rupiah. Kalau soal orderdil, Supardi selalu menyarankan untuk membeli sendiri di toko sebelah bengkelnya. Ringan bukan? Biaya itu jauh lebih murah dibanding kalau harus membeli sepeda yang baru.
Tiba waktunya setelah lebaran, pendapatan Supardi kembali suram seperti sediakala. Hanya mengandalkan dari mbekel sepeda jelas tidak mungkin. Sebab itu, dia juga membuka jasa tambal ban motor.
“Anak-anak yang mainan sepeda setelah makan sahur tak ada lagi. Sepeda yang pernah dibawa ke bengkelnya kembali mangkrak tak terurus. Gantinya adalah sepeda anyar gres yang kinclong dibeli dari toko. Mereka biasanya membeli dengan uangnya sendiri setelah mendapatkan angpao kanan-kiri dari para saudaranya.”
Saat itulah banyak tukang rombeng berkeliaran keliling kampung. Memberi angin segar. Sepeda-sepeda yang mangkrak itulah yang jadi santapannya. Dibeli sekadarnya, dibayar sekenanya. Ketimbang menyumpal jadi sarang tikus diteras atau di dalam rumah. (selesai)