Balada Tukang Sepeda Digerus Cerita Majunya Zaman (Bagian 2)
Pedal itu akhirnya dilepas. Penuh perjuangan untuk melepasnya. Juga butuh tenaga agak besar. Lalu tetesan keringat. Melepasnya tak cukup hanya memakai kunci engkol, tapi juga dengan pukulan palu di pokok pangkal tuasnya. Akhirnya lepas juga. Akhirnya juga diketahui, apa persisnya penyakit sepeda itu.
_____________________
Sebagian orang mungkin menyebutnya bukan pedal, tetapi kayuh. Dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia sering tertulis begini: Kayuh sepedamu kuat-kuat agar bisa melaju kencang seperti kereta api. Pun, tak pernah ada tertulis: Pedal sepedamu kuat-kuat agar melaju kencang seperti kereta api.
Tetapi ini tidak berlaku kalau sudah di depan toko onderdil sepeda. Yang datang dari calon pembeli adalah kalimat: beli pedal. Maka dengan cekatan permintaan segera terlayani dengan baik. Coba kalau bilang: beli kayuh. Pelayan toko pun akan blingsatan, tak kurang juga pemilik tokonya. Pasti segera ada pertanyaan balik: kayuh pedal sepeda maksudnya?
Lucu juga ya. Seperti lawakan gaya Srimulat yang sering membolak-balik kata dan kalimat untuk mengundang renyah tawa.
Supardi pun juga demikian, kalau pedalnya rusak dia akan meminta pedal pengganti. Tak pernah dia minta dibelikan onderdil bernama kayuh. Kasihan si pemilik sepeda yang awam istilah per-sepeda-an, bisa-bisa digoda-goda para pelayan toko onderdil di sebelah bengkelnya yang kadang centil juga genit.
Sepeda si bocah – jenis BMX – yang siang itu jadi pasien di bengkelnya bukan bagian pedalnya yang rusak. Tetapi organ dalam di balik tuas pedal itu yang bermasalah.
Dimungkinkan mangkokannya yang ndak beres. Bisa jadi konesnya yang pecah. Atau gotri-gotri yang bersarang di mangkokan itu yang aus dan berhamburan dari tali pengikatnya. Sebab itu Supardi memutuskan untuk membuka pedal, baru kemudian mengecek setelahnya.
Satus persen dugaan Supardi benar. Penyakit ternyata berada di mangkokan, kones, dan gotri. Karena kurangnya perawatan, bagian penting dibalik pedal yang harusnya berstempet atau minimal penuh gemuk alias oli pelumas itu mengering. Karena mengering maka mangkoan, gotri, dan kones beradu langsung dengan besi di sekitarnya.
“Itu yang membuat pedal menjadi bunyi klotak-klotak saat dikayuh. Menjadi tak nyaman, menjadi rusak sepedanya," kata Supardi.
Supardi pun lantas menggerundel. Gerundelan yang tak jelas sebenarnya. Sebab, gerundelannya tak menemukan obyek yang dituju. Kepada siapa? Kepada pemilik sepeda yang kurang merawat miliknya? Itu jelas bukan. Sebab bagaimana mungkin customer digerundeli di tengah minimnya orang membawa sepeda rusak/bermasalah ke bengkel sepeda.
Andai disarikan, gerundelan itu lebih ditujukan kepada pabrikan sepeda. Betapa sepeda zaman sekarang tiada yang awet. Rasanya sepeda zaman sekarang seperti sekali pakai. Ampuh di tongkrongan, ambyar di kualitas. Rusak sedikit tak perlu dibawa ke bengkel, tapi rombengkan saja ke tukang rombeng. Selesai. Lalu beli yang anyar lagi.
"Sepeda sekarang bagus-bagus mas. Warnanya juga elok. Modelnya ampuh-ampuh. Bikin mata sekali pandang rasanya ingin membeli. Padahal aslinya juga bukan harga terjangkau. Aslinya juga mahal. Tapi jangan sampai tertipu mata mas, yang model-model baru begitu biasanya tidak awet. Bagus di model rapuh di kualitas," kata Supardi.
Kalau begitu enak di tukang sepeda dong. Karena sepeda zaman sekarang gampang rusak maka bengkel sepeda jadi laris manis. Tukang sepeda jadi banyak duit. "Justru tidak!" Jawab Supardi yang masa mudanya dihabiskan di Kampung Dupak Surabaya itu dengan mantap.
Lanjut Supardi, justru yang bawa duit banyak adalah tukang rombeng. Tukang barang bekas. Mereka wegah ke bengkel sepeda. Kalau hanya rusak sedikit, misalnya ban bocor, ada baut yang ilang satu, atau rem tak berfungsi maksimal memang dibawa ke bengkel. Tapi kalau jeruji putus, ban depan atau belakang slering alias tidak senter, stang alot untuk berbelok, panggil tukang rombeng, beres urusan. Besok tinggal beli yang baru lagi.
"Saya ngeri aslinya kalau sudah bongkar produk sepeda zaman sekarang. Rapuhnya minta ampun. Gampang ambyar. Begitu juga kualitas orderdilnya, seperti mangkokan, kones, dan gotri yang mau saya pasang ini, kualitasnya sangat beda dengan dulu. Begini paling dua bulan sudah minta ganti lagi. Begini tukang sepeda yang punya perasaan tak enak, bisa mbengkel tidak, masak baru dipakai sudah masuk bengkel lagi," aku Supardi.
Kualitas sepeda tahun 80-an hingga awal 90-an masih pada bagus. Modelnya pasti gagah. Kuat. Bakuh. Ambruk berkali-berkali pun tak ada yang peyok. Paling banter hanya catnya yang beset. Stangnya yang muntir sedikit. Tapi performa masih tetap oke. Dipancal masih tetap melaju kencang tanpa hambatan.
Apalagi kalau sudah bicara merk. Merk RRT yang paling jempolan. Buatan China. Itu paling mahal. Ada juga merk Phoenix. Mahalnya minta ampun. Slebornya sebagai penanda. Ada mentholnya di dalam di dekat tuas pedal. Ini ciri yang mengagumkan. Tapi awetnya minta ampun. Sebab itu laku mahal. Meski sudah jadi bekas sekalipun. Sebab itu juga, gampang jadi sasaran pencuri sepeda. Gemboknya mesti rangkep dua.
Sepeda sekarang, ah tak nempil blas. Kualitasnya jauh. Seperti atas sama bawah. Bertolak belakang. Padahal sama-sama buatan China. "Kali memang beda ya, buatan China asli yang pabriknya disana, sama buatan China sini yang pabriknya disini," tanya Supardi yang sebenarnya cukup gampang dijawab. (bersambung)