Balada Tukang Sepeda Digerus Cerita Majunya Zaman (Bagian 1)
Nyempil di pojokan perempatan. Penampakannya seperti susuh manuk. Atau, seperti juga bedeng-bedeng milik tunawisma. Tapi jangan salah, itu adalah bengkel sepeda legendaris di kawasan Pasar Pacuan Kuda.
__________________
Tahu Pasar Pacuan Kuda? Mungkin tahu, mungkin juga tidak. Tapi "orang lawas" umumnya, pasti tahu Pasar Pacuan Kuda.
Letaknya di Sawahan. Ikut Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya. Bukan kategori pasar resmi sebenarnya, lebih afdol kalau dibilang pasar bubrah. Usai warga sak kecamatan belanja sehari-sehari, maka bubrahlah seisi pasar. Wujudnya kembali seperti sediakala, yaitu menjadi jalanan fasilitas umum.
Bertahun-tahun seperti itu adanya, dan Pasar Pacuan Kuda terkenalnya bukan main. Karena itu, dalam radius teritorinya, menjadi magnitud segala usaha. Termasuk bengkel sepeda yang kini wujudnya seperti sarang manuk itu.
Supardi namanya. Kini usianya 60-an tahun lebih. Pak Pardi dia biasa dipanggil, dan panggilan Su bagi para kawan seumuran yang iseng-iseng nakal memanggilnya (sembari berharap Su bisa dipelesetkan menjadi nama panggilan yang mengundang tawa nakal). Dialah pemilik bengkel itu.
Pojokan jalan yang ditempatinya menjadi bengkel sepeda sebenarnya tak persis lurus dengan Pasar Pacuan Kuda. Arahnya ke barat beberapa puluh meter. Kelokan pertama ke kiri sampai ke perempatan. Nah, ujung pojokan Jalan Petemon II itulah Supardi bersarang.
Tak ada papan nama di bengkel sepeda ini. Penunjuk satu-satunya bahwa dia adalah bengkel sepeda adalah gantung menggantung ban-ban bekas. Juga beberapa jajar sepeda-sepeda bekas yang bisa ditukartambahkan.
"Sudah sejak sebelum sunat saya sudah bisa dan biasa otak-atik sepeda mas. Sudah bisa mbengkel. Bisa begini ya belajar sendiri mas, karena memang tak ada yang mengajari. Setelah saya kawin tahun 70-an, baru saya resmi buka bengkel sepeda," terangnya kepada ngopibareng.id, suatu siang, disela peluhnya yang dleweran karena memperbaiki sepeda jenis BMX yang begitu disuka oleh anak-anak.
Coba bayangkan, sebelum sunat, Pardi kecil sudah biasa memperbaiki sepeda. Usia berapa kala itu? "Lupa mas," jawabnya pendek sembari tersenyum kecut dan sedikit merona wajahnya. (Pasti ada kenangan indah di pusaran waktu itu. Rona dan kecut wajahnya mengisyaratkan penampakannya).
Sunat, untuk generasi Pak Pardi, berbeda dengan ukuran sekarang. Sunat kala itu pasti menginjak usia remaja. Sudah berkumis tipis-tipis sebagai penanda hampir baliq. Kalau sekarang mah anak bayi, seumuran TK, sudah pada disunat.
Tahun 70-an, usai menikah, Pardi resmi mendirikan bengkel sepeda untuk menyambung hidup. Padahal, secara otodidak, dia bisa juga menjadi tukang kayu, tukang batu, dan sejenisnya. Namun, bengkel sepeda, tetap jadi pilihannya mengingat inilah transportasi satu-satunya yang banyak dimiliki masyarakat. "Pasti rame, pasti mengundang rejeki, pasti bisa membawa penghidupan yang lumayan," katanya.
Memang sejak dulu bengkel Supardi hanya dipinggir jalan. Hanya berputar di wilayah itu. Hanya beringsut sedikit dari tempatnya mangkal andai ada masalah dengan akselerasi lingkungan sekitar. Kenapa tidak berupaya pindah dari pingir jalan? Mengontrak sebuah tempat misalnya? Jawabnya pun mantap, Tidak ada modal cukup untuk itu!
Tak dimungkiri, kawasan Pacuan Kuda, kawasan Kecamatan Sawahan, seantero Kelurahan Petemon dan sekitarnya, adalah kawasan mahal. Sangat mualah malah.
Jangankan ngontrak rumah, atau sewa bedak untuk usaha, atau juga untuk sekadar sewa kos saja mahalnya bukan main. Bukan apa-apa, ya karena kawasan ini cukup persis berada di jantung Kota Surabaya. Kawasan yang gampang ditempuh dari sudut manapun.
Padahal lho, kawasan ini aslinya menakutkan buat siapa pun bagi yang tahu. Kenapa? Karena kalau sudah banjir airnya bisa sepinggang orang dewasa. Tanyalah para sopir taxi kalau tidak percaya. Sebab mereka paling anti masuk kawasan ini kalau sudah mendung dan hujan. Air banjir seketika bisa masuk kabin taxi kalau nekat.
Meski selalu berada dipinggir jalan, toh Supardi cukup nyaman dengan keadaan ini. Menurut dia, ini juga karena untuk njagani kalau dia bosan dengan sepeda-sepeda yang harus dipermak. Bosan dengan stempet-stempet yang harus dileletkan, bosan dengan gotri-gotri yang njlimet untuk dipasang, gemuk hitam yang sulit hilang ditangan, dll.
Kalau bosan, dia tinggal loncat dengan keahlian yang lain. Malih rupa jadi tukang kayu. Kadang, jadi tukang kayu lebih mudah cari duit. Tinggal ukur-ukur, siku-siku lalu gergaji, haluskan sedikit, pasah sedikit, amplas sedikit, lalu jadi uang.
"Namun tetap sepeda yang paling puas ketika sudah mencapai hasil akhir. Soal kayu, ya itu karena kebutuhan selain pingin ada aktivitas lain," terangnya sembari tetap fokus dengan BMX di depannya yang perlu diganti kones setelah aus dari pemakaian. (bersambung)