Balada Sejuta Wajah: Jejak Seni dan Idealisme Edy Santoso
“Ndang wes, kapan maneh, mumpung ono waktu”
Begitulah motivasi dari Istri seorang pensiunan guru seni budaya yang pada puncak kejenuhannya hingga mencapai pameran tunggalnya saat ini.
Edy santoso, selain figur pendidik, juga dikenal sebagai musisi sekaligus perupa kharismatik yang berkontribusi karena banyak menorehkan prestasi dalam dunia seni terutama di wilayah Pasuruan Raya. Jejak karyanya tersebar di berbagai Lembaga Pendidikan dan melekat di pelosok masyarakat. Idealismenya dalam menjunjung tinggi Pendidikan dibuktikan dengan membongkar konspirasi saat diberlakukan sistem Evaluasi Belajar Tahap Nasional (Ebtanas) atau Ujian Nasional (UN/Unas). Menurutnya ketimpangan yang ditentukan Negara untuk memutuskan layak atau tidaknya peserta didik lulus sekolah tidak sesuai dengan kondisi pada masing-masing sekolah daerah. Hingga ia menjadi saksi terjadinya konspirasi hitam tersebut. Lalu memberanikan diri mengungkapkan pada media sesuai fakta yang terjadi, dengan kesiapan segala resiko yang akan menimpanya.
Selain itu, jiwa berkesenian yang menggelora menjadikannya sebagai salah satu pendiri kelompok Forum Musisi Pasuruan bernama “Formasi” pada masa reformasi yang kini masih aktif dan menjadi Pembina pada kelompok tersebut. Rekam jejaknya makin melesat sebagai pencetus dan pemecah rekor kegiatan “carnival on the river” yang berjalan di SMAN 1 Kejayan pada tahun 2010 sampai 2019. Eksistensi memilih jalan hidup yang ditempuh atas dasar kecintaannya pada jalur seni membawanya hingga saat ini. Sampai pada balada sejuta wajah.
Balada sejuta wajah adalah tema yang dipilih dalam pameran tunggalnya. Merupakan sebuah representasi, mitologi: konsepsi-konsepsi, dekonstruksi estetik: pemikiran kontradiksi, tafsir artistik: makna indrawi dari perjalanan panjang seorang Edy Santoso. Balada adalah sebuah kisah. Balada sejuta wajah merupakan pemaknaan dari beragam kisah yang ditemui. Dari masa ke masa, dari satu keadaan menuju keadaan berikutnya yang belum tentu sama, ekspresi demi perubahan ekspresi, hingga pada transisi dirinya saat ini. Mengkatalisis menjadi goresan, bentuk-bentuk, warna-warna, ekspresi-ekspresi, entitas baru, citra rasa artistik pada visual yang dihasilkan. Menjadi bentangan karya yang tidak hanya pajangan. Melainkan simbol untuk dikaji, dipahami, direnungi, merefleksi lebih dalam dari sebatas kebendaan sebuah karya visual. Menjadi lebih penting dari sekedar seremonial sebuah perhelatan pameran seni.
Sebagian besar karya-karya Edy terilhami oleh tokoh-tokoh penting dunia seperti Nelson Mandela, Fidel Castro, Einstein, Gandhi, Bung Tomo, Bung Karno, Habibie, Gus Dur, Mbah Moen sampai Joker dan idolanya si Albar vokalis grup band God Bless. Tentu bukan hanya sekedar persoalan kemampuan tehnik goresan untuk memindahkan objek terhadap media gambar semata. Tapi lebih dalam dari itu adalah makna dibalik wajah tokoh-tokoh yang dipilihnya. Melalui pertimbangan dan proses kreatif pada karyanya. Meskipun gambar wajah merupakan pilihan visual favorit bagi kebanyakan orang dalam menggambar. Tapi ada sesuatu yang penting dari potret-potret karya Edy. Yaitu tatapan mata yang menjadi objek utama.
Baginya, begaimanapun ekspresi wajah yang dihadirkan seseorang, tidak bisa dipungkiri bahwa tatapan matalah yang tidak bisa ditipu untuk menentukan keadaan sebebarnya yang dialami seseorang tersebut. Kejelian dan ketepatan karakter wajah yang dititik beratkan pada tatapan mata itulah kemudian sebagai representasi filosofis ekspresi yang menjadi pembeda karya-karya Edy Santoso dengan karya potret lainnya. Selain membutuhkan kedetailan pada goresan, ketepatan dan ketelitian anatomi wajah sangat dipertaruhkan. Tidak hanya karakter wajah manusia, Ia juga menghadirkan karakter dari hewan-hewan dan sesuatu indrawi yang memiliki keunikan baik peran dan makna filosofis penting bagi dirinya.
Pameran tunggalnya dihelat selama satu pekan mulai 27 November – 2 Desember 2023, di ruang pamer Mie Sambal Spesial Jl. Diponegoro, No: 15 Kebonsari, Kota Pasuruan. Sebanyak 36 karya di atas kertas dari goresan pensil warna berukuran rata-rata 60cm x 50cm berjajar rapi di ruang pamer bukan sekedar keisengan aktualisasi diri semata, tapi juga sebagai bentuk syukur dan nazar yang harus dipenuhi untuk memperingati hari jadi pernikahannya yang ke 36 tahun. Layaknya lirik lagu andalan dari musisi yang rupawan ini berbunyi:
“… Semut-semut hitam yang berjalan
Melintasi segala rintangan
Satu semboyan di dalam tujuan
Cari makan lalu pulang…”
Ya, tentu hidup ini bukan sekadar cari makan, meski makan memang perlu untuk hidup. Tapi bagi pria kelahiran 27 November 1962 seperti Edy, mencari makan yang dimaksud adalah agar kita sebagai manusia dengan segala anugrah kemampuan yang dimiliki untuk mendapat makan, kemudian mampu melintasi segala rintangan untuk berbagi, menyebarkan apapun yang kita bisa untuk lebih berarti dan bermanfaat bagi siapa saja. Sebagai bekal untuk Kembali pulang.
Semoga pameran Tunggal Edy Santoso merupakan sarana membawa dirinya dan orang-orang terdekatnya menuju kebaikan sebaik-baik keadaan yang tak terduga. Juga sebagai motivasi bagi seluruh pemirsa untuk menangkap pesan lebih dalam tentang segala sesuatu yang memberi kemanfaatan. (Yudha Prihantanto, penulis seni yang tinggal di Pasuruan)
Advertisement