Balada Petugas Rumah Pompa, Diprotes Nelayan dan Tani Tambak
Martono, pengawas di Rumah Pompa Medokan Ayu Hilir, Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya, siang itu sedang berjaga. Tangannya tak lepas dari Handy Talky. Lewat radio panggil itu, Martono tahu jika cuaca sedang buruk di hilir, meski di tempatnya cuaca panas kerontang. Informasi awal membuatnya sigap memutuskan, kapan menutup pintu dan memompa air, agar pemukiman penduduk sekitar Wonorejo selamat dari banjir akibat luapan sungai.
“Musim hujan dan kemarau, saya selalu menjaga kestabilan air di sini dengan memompa. Kalau tidak dijaga, daerah lain bisa kebanjiran” kata Martono.
Laki-laki berusia 57 tahun ini telah menjaga rumah pompa Medokan Ayu sejak 7 tahun terakhir. Jam kerjanya 24 jam, dengan dua hari libur selama sepekan. Ada dua tenaga honorer yang menemaninya menjaga pompa air, yakni Sumadi dan Faris.
“Saya setiap harinya harus ada kopi dan rokok. Kalau nggak ada saya nggak bisa kerja” katanya sambil tertawa, ditemui Selasa 28 Januari 2020.
Rumah pompa tak asing di Kota Surabaya. Ada 59 rumah pompa yang berfungsi mengatur ketinggian air sungai di hilir, dengan memompa air ke luar, sekaligus membendung air laut jika sedang pasang.
Ada pompa dan pintu air di Rumah Pompa Medokan Ayu. Jika curah hujan sedang tinggi di hilir, air sungai harus dipompa ke luar menuju laut. Sementara, pintu air harus tertutup, agar air pasang di laut tak membanjiri sungai.
Rumah pompa Medokan Ayu menerima air dari Rungkut Industri, UPN, Kedungbaruk, Tenggilis, Medokan, Wonorejo, dan Kedung Asem. Namun, banjir tetap bisa muncul, meski pompa telah dinyalakan.
Martono mengingat, sekali ia sempat berkeringat dingin lantaran air tetap meluap meski pompa telah dinyalakan. Warga Wonorejo datang dengan amarah. Rumah mereka direndam banjir pada Desember 2019. Mereka menduga Martono tak becus dan terlambat menyalakan pompa.
“Saat itu warga protes ke saya, padahal pompanya masih jalan. Akhirnya setelah dicek, ada batang kayu besar yang membuat alirannya terhenti” kata Martono.
Siang itu kopinya tak lagi penuh. Ia duduk bersila menghadap 6 pompa di tempatnya. 4 pompa banjir berukuran besar, dan 2 pompa selat untuk menyedot lumpur berukuran lebih kecil.
Ada gambar smiley warna kuning pada masing-masing pompa. Mural bertema luar angkasa juga menghiasi dinding luar rumah pompa. Ada gambar bulan, astronot, dan pesawat ulang-alik.
Antara banjir di rumah warga atau tambak
Didampingi Sumadi, mereka berkisah sulitnya menjaga rumah pompa Medokan Ayu. Tak seperti rumah pompa lainnya, Medokan Ayu jadi jalur keluar masuk nelayan Wonorejo. Arusnya yang landai membuat perahu nelayan bisa keluar ke laut, dan pulang kembali sambil membawa berkwintal ikan tangkapan, melalui pintu air rumah pompa Medokan.
Masalah muncul jika nelayan meminta pintu air dibuka, sedangkan kondisi laut sedang pasang. Hal ini membuat Sumadi terpaksa mengabaikan perintah dari HT, dan membuka sesaat pintu air, agar nelayan bisa masuk.
“Petani tambak dan nelayan memiliki keinginan masing-masing. Masalah ini selalu membuat saya pusing,” katanya.
Topi cokelat melindungi kepalanya dari terik matahari siang itu. Kulitnya hitam, ia cekatan menunjukkan sudut rumah pompa pada Ngopibareng.
Sumadi menerima upah lebih dari cukup untuk menghidupi istri dan dua anaknya. Meski berstatus honorer di Dinas Pekerjaan Umum, Bina Marga, dan Pematusan, ia menerima upah sesuai standar upah minimal Kota Surabaya, sejak bekerja tahun 2012.
Namun, sejak itu, ia selalu pusing dengan keluhan petani tambak di Wonorejo. Meski rumah pompa menyelamatkan warga di Selatan Surabaya dari kemungkinan banjir, namun pompa air sering membanjiri tambak warga tak jauh dari rumah pompa.
Sumadi selalu gamang, ketika laut sedang pasang namun ia juga harus memompa air keluar dari sungai. Praktis, tambak milik petani bakal terendam air lantaran limpahan air dari sungai. Tambak itu berada di pesisir Pantai Medokan, tak jauh dari rumah pompa Medokan.
"Tahun 2013 mereka rugi besar karena ikannya mati terendam air tawar dari sungai. Waktu itu laut sedang pasang dan air sungai saya pompa ke luar," ingatnya.
Saat itu, ia meminta maaf kepada petani tambak. Meski, masalah tak juga selesai. Terakhir, tiga minggu lalu. Guyuran hujan di Surabaya menyebabkan Sumadi sering menyalakan pompa, mengeluarkan air dari sungai ke laut. Air laut yang juga pasang di saat yang sama, membuat banyak tambak lagi-lagi terendam air.
"Satu warga protes ke saya, dia mencak-mencak di sini. Saya hanya minta maaf. Saya di sini kan hanya bekerja, kalau protes coba diomongkan ke petugas PU” kisahnya.
Kemalangan petani tambak selalu mengusik hatinya. Baginya, tak masalah bekerja 24 jam sehari. Asalkan, tak ada lagi petani tambak yang mengeluh lantaran sumber penghidupannya terendam air.
Namun, statusnya sebagai tenaga honorer membuatnya takut melapor ke Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini. Ia hanya bisa mengadu pada pengawasnya, Martono.
"Saya meminta agar petani tambak mengadu bersama-sama ke kelurahan dulu, jangan hanya satu orang saja. Setelah itu, dari kelurahan akan melanjutkan ke dinas (DKRTH)," kata Martono.
Ia yakin, jika aduan itu disampaikan bersama-sama, dinas PU bakal memberikan solusi atas kegaduhan itu. "Saya yakin Dinas PU punya solusinya," yakinnya.
Advertisement