Balada Perantau Bertahan di Kampung Inggris Selama Pandemi Corona
Pandemi virus corona atau Covid-19 belum berakhir. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memang menuju tatanan baru atau new normal, tapi nyatanya, ada sebagian orang yang tak bisa pulang kampung.
Salah satunya ialah Alfilindo Talakua. Pria asal Ambon ini tengah menempuh pendidikan di Kampung Inggris, yakni sebuah julukan bagi suatu perkampungan yang terletak di sepanjang Jalan Anyelir, Jalan Brawijaya, Jalan Flamboyan, Jalan Kemuning di Desa Tulungrejo dan Desa Pelem, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Perkampungan tersebut berkembang menjadi tempat belajar Bahasa Inggris.
Pria yang akrab disapa Ino itu "terjebak" di Pare, sejak Maret 2020. Ino tengah mengambil program khusus intensif TOEFL selama empat bulan. Baru dua bulan berjalan, pembelajaran dialihkan melalui sistem daring. Penyebabnya, virus corona telah menyebar hingga ke Kabupaten Kediri.
Ino tidak menyangka jika hari-harinya akan diisi dengan metode pembelajaran yang dia belum terbiasa. Bahkan dirinya mengaku kesulitan dalam memahami pelajaran dengan metode tersebut.
“Saya baru dua bulan kursus, tiba-tiba ada Covid di Kediri dan pembelajaran dialihkan ke sistem online. Offline saja terkadang susah nangkep dan memahami, apalagi online,” cerita Ino kepada Ngopibareng.id pada Kamis, 11 Juni 2020.
Pembelajaran online yang berdurasi dua minggu itu membuat Ino jarang mengikuti kelas. Ino menjelaskan dia tidak siap dengan sistem baru tersebut. Konsentrasi Ino semakin buyar ketika mengetahui pemberitaan satu orang positif Covid-19 di Kediri.
Ino bertekad untuk balik ke Ambon. Dia pun memesan tiket pesawat. Apesnya, pesawat yang harus dia tumpangi lepas landas dari Bandara Juanda, Surabaya. Sementara, Kota Pahlawan sudah masuk zona merah pandemi corona.
Pria lulusan Filsafat itu akhirnya mengurungkan niat pulang kampung. Tak terasa waktu pun berlalu. Wabah yang dikira Ino akan segera berakhir justru berubah menjadi malapetaka. Corona tak kunjung mereda. Pria berkaca mata ini pun tertahan di Pare.
“Waktu itu saya sudah beli tiket, tapi karena Surabaya zona merah akhirnya tiketnya saya refund. Saya memilih bertahan di Pare saja,” tambahnya.
Rindu keluarga begitu membuncah. Ino mengakalinya dengan menelepon adik dan ibu angkatnya. Selain itu, untuk mengobati kangen kepada kampung halaman, Ino biasanya bermain game online dengan temannya di Ambon.
"Cara inilah berasa seperti berada di rumah. Bisa ngobrol dan bercanda dengan teman-teman, ya sedikit banyak bisa mengobati kesepian dan kerinduan kampung halaman," tutur Ino.
Pengalaman Baru di Kampung Orang
Suatu saat, Ino sempat berencana pulang kampung. Sialnya, giliran akses ke Ambon yang ditutuo karena zona merah. Terjebak di Pare, Ino mengaku punya pengalaman baru dalam hidupnya. Bulan Ramadhan lalu menjadi puasa pertama Ino jauh dari keluarga di Ambon. Dia sempat mengikuti ibadah puasa yang dilakukan temannya yang muslim. Setelah 30 haru berpuasa, Ino akhirnya merasakan momen Lebaran dengan makan bersama teman-temannya di Kampung Inggris.
“Saya non-muslim jadi merasakan ternyata puasa itu berat ya. Selain itu turut mengetahui suasana lebaran umat muslim yang dirayakan dengan makan bersama dan bisa akrab antara teman," kenangnya.
Pengalaman lain, Ino mengaku harus beradaptasi dengan makanan khas Pare. Dia juga biasa mendengarkan gemercik air hujan di Kota Ambon di kanal YouTube, agar bisa tidur nyenyak sebagai pengobat rindu.
Jika bisa memilih, Ino berharap terjebak di Ambon selama pandemi corona. “Ya kalau bisa memilih saya ingin di Ambon saja, walau nggak melakukan apa-apa tapi ada keluarga. Ada yang bisa dilihat, nggak pemandangan itu-itu mulu,” tutupnya.
Bertahan Demi Mengajar Kelas Online
Berbeda dengan Ino, perantau lainnya asal Kendari, Sulawesi Tenggara, justru beruntung selama terjebak di Kampung Inggris. Grasland Aristho Santho Academica mengaku lebih produktif dan mengembangkan diri selama pandemi corona.
Pria kelahiran 1996 ini sengaja tak pulang kampung karena khawatir jadi pengangguran. Saat ini dia tengah sibuk mengisi kelas online speaking, baik kelas privat maupun reguler.
“Saya sudah ditelepon orangtua empat kali tetapi memang saya nggak mau pulang. Kalau di sini saya malah banyak pekerjaan, ada saja saya kerjaka. Takutnya di rumah saya malah nganggur,” kata pria yang akrab disapa GC itu.
Meskipun terkadang merasa kesepian karena beberapa teman dekatnya sudah pulang kampung, GC bersyukur masih ada beberapa perantau lainnya masih bertahan di Pare.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, GC mengandalkan pemasukan dari kelas online. GC dan beberapa teman perantau hidup hemat. Mereka patungan untuk membeli bahan makanan dan memilih masak sendiri daripada beli di warung.
Beruntung, lanjut GC, selama bulan puasa mereka mendapatkan makanan gratis dari ibu kos. "Seminggu dua kali dikasih makan gratis sama ibu kos. Menunya beragam ada opor ayam, lele bakar, ikan dll," ujarnya.
Advertisement