Balada Emak dan Minyak Goreng
Oleh: Sirikit Syah
Mak Sarwendah lagi ngrumpi sama para tetangga di kampungnya, tentu ditemani cangkir-cangkir kaleng isi kopi atau teh nasgitel alias panas legi kentel. Emak-emak ini gak patuh blas anjuran dokter Puskesmas untuk menghindari gula. Apalah arti hidup tanpa manisnya kehidupan? Begitu pikir mereka. Nyoba minum teh atau kopi tanpa gula, hanya bertahan tiga hari. Emak balik lagi cari sesendok dua sendok gula. Mak Manti yang badugannya dipakai jagongan juga mengeluarkan sebaskom jajanan rebusan. Mereka cangkruk di badugan yang mepet jalanan gang. Siapa punya teras di kampong sumpeg ini?
Nah, topik mak-emak kok masih minyak goreng ya? Gak bosen tah? Coba kita dengarkan obrolan mereka.
Mak Sarwendah: “Alhamdulillah ya, minyak goreng sudah muncul lagi.”
Mak’e Slamet: “Wis, percuma. Wis kadung biasa nyantap sukun kukus, gedang kukus, tempe rebus penyet sambel miri. Gak pakai minyak gak papa, malah sehat.”
Mak Manti: “Kita gak papa, tapi kasihan penjual gorengan.”
Mak Sarwenda: “Lha iya, kita syukur saja apapun kondisinya. Ada minyak syukur, gak ada mnya ya syukur. Wong ada atau gak ada presidennya ya sama saja. Gak krasa.”
Mak’e Slamet: “Negara iki pancen aneh. Ada minyak 400 juta liter diekspor dengan harga murah. Trus Menterinya ngomel-ngomel. Siapa yang diomelin? Kan itu terjadi di kementrian yang dipimpinnya? Trus. minyak yang sudah diekspor itu diimpor lagi dengan harga mahal. Siapa yang dapat selisihnya?”
Emak-emak mikir, ngitung 400 juta liter minyak haknya rakyat Indonesia yang dijual murah lalu dibeli dengan harga mahal, selisihnya berapa ya? Masuk kantung mana? Mumet mereka ngitung bathi segitu banyaknya. Kira-kira bisa untuk biaya kampanye Pemilu 2024.
Mak Sarwenda: “Ada juga yang ditimbun digudang, biasanya partai melakukan ini, terus dibagi-bagi ke konstituen kayak sinterklas.”
Mak Manti: “Seharusnya kita lega ya, minyak sudah kembali ke pasar. Tapi kaget gak sih emak-emak, harganya 1,5 sampai 2 kali lipat? Aku tadi ke supermarket ada beberapa emak yang batal beli lihat harganya.”
Mak’e Slamet: “Sampeyan lihat video Megawati yang viral? Yang malah marahin kita-kita yang susah payah antre sampai lupa ancaman covid, corona, omicron? Kok tega ya ibuk kita itu nyalahin kita. Selama ini kukira dia ibuknya wong cilik. Pas wong cilik kesusahan, kok dia tidak carikan solusi, dia kan berkuasa. Eh malah marah-marah sambil ngelus dada.”
Mak Manti: “Dia mah, gak pernah kosong stok minyaknya, meskipun gak pernah masak. Kalau mau makanan kukus ya tinggal telepon restoran bintang 4, kirim tim ikan kakap.”
Mak Sarwenda: “Yang paling menyakitkan, ibuk kita itu tidak mengucapkan bela sungkawa pada emak yang meninggal saat rebutan minyak. Itu bias saja emak di kmpung kita, atau malah kita. Kasihan banget kita ya. Nyawa tidak penting, kecuali saat Pemilu.”
Sore-sore bakda Ashar gini memang waktu yg pas buat para emak membicarakan kehidupan sehari-hari. Jelang magrib nanti suami-suami pulang. Bukan, bukan pulang kerja, melainkan pulang dari mencari kerja. Para suami bagaikan pungguk merindukan bulan mengharapkan 10 juta lapangan kerja, kartu prakerja, kartu sembako murah, kartu jaminan ter-PHK, dan kartu-kartu lainnya. Mungkin sebentar lagi Presiden akan mengeluarkan kartu sabar. Rakyat harus sabar apapun kondisinya.
Mak Manti: “Dik, monggo lo didhahar, mbothe dan tales rebus ini, enak gurih. Cocok untuk teman teh hangat.”
Mak Sarwendah: “Sampun mbakyu, pamit dulu, mau ngrebus kangkung saja taksambelno gula abang trasi asem, enak wis, lawuhe krupuk. Tadi pagi gak uman tahu tempe nang bakul mlijo.”
Maka, parlemen kampung yang anggotanya mewakili dirinya sendiri-sendiri itupun bubar.
*Sirikit Syah, pengamat social
19 Maret 2022