Bahlul 'Si Bodoh' Penuh Kearifan
Oleh: Ady Amar
“Seumpama oase, kisah-kisah Sufi tidak akan pernah kering digali. Kisah-kisah yang selalu muncul dari generasi ke generasi, baik melalui lisan maupun tulisan. Sufi adalah pribadi yang unik, yang berusaha memberi makna ajaran Islam dengan caranya sendiri.” -- Idries Shah.
Bahlul dalam istilah bahasa ia bermakna bodoh atau sejenisnya. Tapi kisah berikut ini tentang tokoh bernama Bahlul. Nama panjangnya Bahlul bin Amr ash-Shairafi Wahib (w. 190 H., ada pula yang menyebut 197 H.). Tidak diketahui dengan pasti tahun berapa tepatnya ia dilahirkan. Yang pasti ia lahir dan besar di Kufah, pada masa Khalifah Harun al-Rasyid, Dinasti Abbasiyah.
Bahlul pada mulanya dikenal sebagai pribadi cerdas dan seorang hakim, namun dalam perjalanannya ia mengalami gangguan jiwa. Ia lalu dikenal dengan sebutan yang tidak mengenakkan, Bahlul al-Majnun (Bahlul si Gila). Namun meski mengalami gangguan jiwa, Bahlul mampu bersyair dengan baik, mensyairkan aforisme penuh hikmah, juga petuah-petuah bijak yang dalam dan bernas.
Kisah-kisah Penuh Ibrah
Ada kisah menarik yang disarikan dari buku Kisah Para Wali, terjemahan dari buku al-Atqiya al-Akhfiya al-Asfiya, karya Muhammad Ali, sebuah percakapan antara Sari as-Saqati dengan Bahlul. Saat Sari as-Saqati menemui Bahlul yang sedang termenung di pekuburan umum sambil tangannya mencoret-coret tanah. Entah apa yang ditulisnya.
“Oh, engkau rupanya berada di sini, Bahlul.”
“Ya,” jawabnya, “Aku berada di tengah-tengah kaum yang tidak pernah menyakiti fisik dan pikiranku. Juga ketika aku tidak sedang di tempat ini, mereka tidak menggunjingku.”
Bahlul acap dipermalukan anak-anak kecil di Baghdad, yang menjulukinya Bahlul ya Majnun... Bahlul ya Majnun... sambil dilempari batu. Ia tidak membalas perlakuan anak-anak kecil itu, kecuali ia bersyair:
Cukuplah aku pasrah kepada-Mu, Tuhan. / Dari segala apa yang dilakukan mereka kepadaku. / Tidak ada tempat pelarian abadi kecuali menuju kepada-Mu.
Oleh karenanya, berdiam di pekuburan umum baginya lebih aman.
Mendengar jawaban Bahlul di atas, as-Saqati merasa iba melihatnya, dan lalu mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Apakah kamu tahu, harga roti saat ini sudah amat mahal.”
“Aku tak peduli meski satu biji gandum seharga 1 mitsqah sekalipun. Kewajiban kita itu beribadah kepada-Nya, ikuti perintah-Nya. Dan kewajiban-Nya memberi rezeki pada kita. Itu sesuai janji-Nya.”
Lalu, Bahlul meninggalkan Sari as-Saqati yang masih terbengong dengan jawabannya, sambil ia bersyair:
Hai mereka yang menikmati dunia dan perhiasannya. / Kedua mata tidak pernah terlelap dari berbagai kenikmatan. / Habiskan usia yang tidak engkau ketahui. / Lalu, apa yang akan engkau ceritakan kepada Allah saat menjumpai-Nya?
Kisah-kisah Sufi senantiasa dibangun dengan kisah tidak biasa. Terkadang menggunakan nama tokoh terkenal yang tidak bisa dirunut jejak sejarahnya. Tapi kisah Bahlul dengan Harun al-Rasyid jejak sejarahnya jelas, dan itu bisa dilihat dari berbagai buku yang mengisahkannya.
Di antaranya kitab Uqala al-Majanin, karya Ibnu Habib an-Naisaburi, mengisahkan kisah di bawah ini.
Suatu waktu Harun al-Rasyid mencari Bahlul yang cukup lama tidak dijumpainya. Tampaknya ia rindu untuk mendengar nasihat-nasihat Bahlul. Dan lalu Harun al-Rasyid mencarinya, di mana lagi kalau tidak di pemakaman umum.
“Wahai Bahlul, sampai kapan engkau itu berakal, dan tidak tinggal di pekuburan?”
Mendengar itu Bahlul beranjak, dan lalu memanjat pohon. Tidak tahu persis kenapa ia memanjat pohon untuk menjawab pertanyaan itu. Bisa jadi, menurutnya, jika jawabannya nantinya tidak disuka Khalifah, ia tidak lalu ditangkap.
Dari atas pohon itu, Bahlul menjawab dengan mengeraskan suaranya, “Wahai Harun, yang gila itu engkau... Sampai kapan engkau sadar?”
Lalu Harun al-Rasyid mendekati pohon itu, dan berkata, “Aku atau engkau yang gila yang selalu tinggal di pekuburan?”
“Aku yang berakal, dan engkau yang gila,” sergah Bahlul.
“Bagaimana engkau bisa katakan bahwa aku yang gila?”
“Aku tahu istanamu akan hancur, tapi pekuburan ini akan tetap abadi. Aku memakmurkan kuburan ini sebelum aku mendapatkan istana. Sedang engkau memakmurkan istanamu, dan lalai pada kuburan. Padahal engkau tahu, bahwa engkau akan menjadi penghuninya. Maka, katakan, wahai Harun, siapa yang gila di antara kita?”
Bergetarlah hati Harun al-Rasyid, berlinang air mata hingga membasahi jenggotnya, lalu berkata, “Demi Allah, ucapanmu itu yang benar. Tolong tambahkan nasihatmu untukku, wahai Bahlul.”
“Jadikan al-Qur’an itu pedoman, itu sudah cukup.”
Ada kisah lain yang menarik, dialog antara Bahlul dan Harun al-Rasyid, “Mencari Api di Neraka”, yang ditemukan dalam buku Thinkers of the East, karya Idries Shah, Penguin Books, Great Britain, Reprinted 1988.
Suatu hari, Bahlul bertemu dengan Khalifah Harun al-Rasyid. Tanya Khalifah, “Dari mana kamu, Bahlul, kok keadaanmu tampak awut-awutan?”
“Dari neraka,” tukas Bahlul sekenanya.
Khalifah kaget, dan kemudian bertanya, “Apa yang kau lakukan di sana?”
“Aku perlu api, lalu aku pergi ke neraka untuk meminta api dari mereka. Tapi, malaikat yang berjaga di sana berkata, ‘Kami tak punya api di sini.’ Tentu aku bertanya pada malaikat penjaga itu, ‘Bagaimana mungkin, bukankah neraka adalah tempat api?’
‘Kuberitahu kamu, ya,’ sergah malaikat, ‘Di sini sungguh tidak ada api. Setiap orang yang datang ke sini membawa apinya sendiri-sendiri’.”
Dalam keadaan terpana, Khalifah Harun al-Rasyid bertanya lagi, “Katakan, Bahlul, apa yang harus kulakukan agar aku tak membawa api ke sana?”
Bahlul meninggalkan Khalifah dengan lari terbirit, sambil berteriak, “Berbuat adil... Berbuat adil... Berbuat adil...”
Izinkan, untuk menutup “kisah Bahlul”, kami hadirkan sebuah dialog antara Bahlul dan Harun al-Rasyid, yang bisa jadi i’tibar mendapatkan rahmat-Nya.
Suatu hari, Harun al-Rasyid bertanya pada Bahlul, “Apa rahmat Allah yang terbesar?”
“Berkah terbesar dari Allah adalah akal,” jawab Bahlul. Lalu lanjutnya, “Khawajah Abdullah Anshari berkata dalam doanya, ‘Ya Allah! Mereka yang Engkau beri kecerdasan, (sesungguhnya) telah Engkau beri segalanya. Dan mereka yang tidak Engkau beri pemahaman, (sesungguhnya) tidak Engkau beri apa-apa’.”
“Dalam salah satu hadits shahih, ketika Allah memutuskan untuk mengambil kembali rahmat-Nya, maka terlebih dahulu Dia akan mengambil kecerdasan mereka,” nasihat Bahlul.
“Adalah menyedihkan bahwa Allah mengambil rahmat ini dariku,” ujar Harun al-Rasyid penuh penyesalan.
Kisah-kisah sufistik terkadang tampak absurd, tapi punya substansi yang bisa diambil sebagai pelajaran, meski terkadang diselingi satire dan humor.
Kisah “Bahlul” di atas sebagian menggunakan bahasa metafora (Kisah Mencari Api di Neraka), sehingga kata atau kalimat yang ada sarat perumpamaan. Tentu tidak untuk diperdebatkan, “masak orang bisa ke neraka”, misal. Tapi lebih pada makna yang dikandungnya, yang bisa jadi bahan renungan dan evaluasi diri.
Wallahu a’lam.**
*Ady Amar, penikmat dan pemerhati buku, tinggal di Surabaya.
Advertisement