Bahaya Pikiran yang Paradoksal
Kadang kehidupan itu bergerak secara tak beraturan. Pokoknya jalan! Titik. Pokoknya tidak sama dengan lawan, ya sudah. Yang penting jangan sampai lawan kita mendahului, cilaka. Atau yang penting akulah yang harus punya nama, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi pada lingkungan strategisnya.
Memang itulah kadang watak kekuasaan yang dungu; sepi dari ilmu pengetahuan, seni, dan teknologi. Watak dungu itu bisa menjangkiti siapa saja, bisa terjadi pada orang seperti Donald Trump, Tukimin, Marjunit atau bahkan Tukiyem. Jadi bisa terjadi pada siapa saja. Tak pandang bulu.
Oleh karena itulah, Rasulullah Muhammad mengajari umatnya sekian abad silam agar membaca (iqra). Iqra itu bukan sekadar ajaran Muhammad, tapi itu perintah langsung dari pencipta langit dan bumi ini. Siapa yang berani melawan perintah itu pastilah dia akan menjadi manusia dungu.
Orang dungu itu wajahnya saja lucu, ngomongnya suka lupa-lupa. Kenapa? Karena dia tidak membaca, tidak iqra'. Sedemikian pentingnya iqra' itu maka umat Muhammad tergerak untuk membangun sekolah, lembaga pendidikan, pesantren, lembaga kursus dan sejenisnya agar mereka melek kehidupan.
Agar mereka memiliki kemampuan untuk membaca realitas; dimana setiap ujungnya selalu berkaitan satu sama yang lain. Tindakan manusia yang satu akan berdampak kepada yang lain. Begitulah hidup itu selalu berinteraksi dan berasimilasi.
Dalam konteks itu pula agama mengajarkan kita untuk merenungi kalimat indah ini,
فَكِّرْ قَبْلَ أَنْ تَعْزِمَ
“Berfikirlah sebelum bertindak”.
Berfikir sebelum bertindak itu sangat dalam maknanya agar kita tidak terjerumus pada parodoks-paradoks yang kita ciptakan sendiri; mungkin juga karena tidak disengaja. Namun lebih karena sebuah kebodohan belaka. Mari kita lanjutkan perbincangan ini dengan melihat bahaya pikiran yang paradoksal itu.
Pikiran Paradoksal
Orang yang tidak memiliki tradisi membaca yang baik kerap hidup dalam paradoks-paradoks yang berbahaya dan menggelikan.
Berbahaya karena langkah-langkahnya akan merugikan banyak orang. Mengapa? Karena langkah-langkah tersebut tidak dilandasi oleh ilmu pengetahuan yang baik dan memadai.
Menggelikan karena akibat dari pikiran yang paradoksal itu kerap menunjukkan kelucuan-kelucuan yang tak memenuhi prasyarat untuk ditertawakan.
Tapi bagaimana dengan kehidupan bangsa kita ini. Adakah kelucuan-kelucuan yang ta memenuhi prasyarat untuk ditertawakan itu?
Rasa-rasanya tidak bisa dihitung dengan jari karena saking banyaknya. Mari kita sisir satu demi satu dengan mencari jarak terdekat dengan hari-hari yang telah kita lewati.
Pertama, soal istilah pandemi. Secara terminologi pandemi dimaknai sebagai epidemi penyakit yang menyebar di wilayah yang luas, misalnya beberapa benua, atau di seluruh dunia. Jika WHO sudah mengatakan bahwa Virus Corona itu sifatnya pandemik, maka tindakan meremehkan dan menyangkal sebagaimana yang ditunjukkan oleh para pejabat kita itu adalah pikiran paradoksal yang tak masuk akal. Itu yang pertama!
Kedua, mengenai istilah Lockdown. Secara terminologi Lockdown diartikan sebagai kuncian. Di mana, sebuah negara yang sudah terjangkit virus Corona mengunci akses masuk dan keluar negaranya, untuk mencegah penyebaran virus Corona agar tidak semakin meluas.
Oxford University Press juga mengartikan lockdown sebagai sebuah perintah resmi, yang dikeluarkan untuk mengendalikan pergerakan orang-orang atau pun kendaraan, yang berada di dalam wilayah dan situasi berbahaya. Oleh karena itu, fenomena yang terjadi dinegeri kita dengan segala kerumitan yang kita hadapi saat ini adalah potret dari kekacauan pikiran paradoks itu juga. Anda mengakui atau menyangkalnya. Tapi itu adalah fakta.
Itu yang kedua.
Ketiga, soal skala kecepatan (Speed). Dalam konsep fisika dasar yang kita pelajari di bangku SMA dulu, kita dikenalkan dengan konsep kecepatan (V) dan percepatan (a). Pemahaman yang 'clear' atas dua konsep itu sangat penting bagi seorang pemimpin dalam memutuskan kebijakan publik.
Apa itu kecepatan? Kecepatan adalah besaran vektor yang menunjukkan seberapa cepat benda berpindah. Besar dari vektor ini disebut dengan kelajuan dan dinyatakan dalam satuan meter per sekon. Kecepatan biasa digunakan untuk merujuk pada kecepatan sesaat yang didefinisikan secara matematis sebagai V= S/t. ,(v itu kecepatan, S itu jarak dan t itu waktu tempuhnya). Jadi kecepatan itu adalah jarak dibagi waktu tempuhnya. Soal percepatan tak begitu penting lagi dibahas disini.
Tapi apa manfaat kecepatan itu dalam kehidupan sosial kita hari ini? Dalam masa krisis akibat wabah Covid 19 ini perkara kecepatan itu sangatlah penting. Seorang kepala daerah misalnya, jika tidak cepat mengantisipasi merebaknya korban Covid 19 itu bisa kewalahan. Mereka bisa panen orang sakit dan orang mati dalam waktu yang mendadak dan bersamaan.
Rumah sakit bisa kewalahan mendadak jika sebelumnya mereka tidak menyiapkan Alat Pelindung Diri (APD) yang cukup, aman dan memadai. Bisa-bisa para tenaga medisnya akan jadi korban kecepatan dan keganasan Covid 19 itu.
Bagaimana jika di suatu daerah tidak ada lagi dokter dan perawat, karena mereka juga korban Covid 19 akibat tiadanya APD yang memadai? Apa yang akan terjadi? Pikirkan sendiri!!
Jadi kecepatan bersikap dan bertindak itu sangat penting, sebelum semuanya berakhir fatal. *
Fathorrahman Fadli
(Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang)
Advertisement