Bahaya ‘Fatigue’ Pemilu-Pilpres
Kata ‘fatigue’, bahasa Perancis, lazimnya dilekatkan pada kata benda seperti tubuh atau pikiran untuk menggambarkan kondisi tubuh maupun pikiran yang kelelahan. Melekatkan kata ‘fatigue’ di depan kata Pemilu-Pilpres memang tidak lazim. Saya sengaja menggunakannya karena Pemilu-Pilpres kali ini juga tidak lazim. Selain panjang, bertele-tele, tak bermutu, dan terasa sangat melelahkan, juga miskin tujuan; mau dibawa ke mana bangsa ini? Dampaknya, sangat melelahkan pikiran maupun fisik rakyat bangsa ini. Dikhawatirkan, seperti lazimnya pula, pada saat seseorang berada dalam puncak kelelahan, konsentrasinya, pikirannya, mutu produktivitasnya, dipastikan menurun dan bahkan sering kali memproduksi error.
Kondisi puncak kelelahan dalam Pemilu-Pilpres yang kaya akan kegaduhan dan adu mulut maupun hoax yang miskin mutu ini, agaknya tengah berjalan menuju titik jenuh ketika kampanye yang berisik dan meresahkan ini masih menyisakan waktu sekitar 45 hari ke depan. Akan sangat menghawatirkan bila pada hari H, hari pencoblosan, rakyat bangsa ini, sudah terjerembab ke dalam lingkaran ‘fatigue’ yang over dosis. Dalam keadaan demikian tentunya akal sehat pun tergerus. Budi dan perilaku masyarakat pun akan lebih diwarnai oleh adegan emosional dan amarah ketimbang yang rasional produktif dan bermutu.
Celakanya situasi dan kondisi ini merupakan produk dari kebijakan politik para politisi dan petinggi negara yang entah mengapa, memilih sebuah desain politik (Pemilu-Pilpres) yang menggiring masyarakat untuk bermain-main dalam sebuah pesta demokrasi yang di sana-sini berhamburan ‘minuman keras’ dan ‘sabu-sabu politik’. Maka jangan heran ketika banyak rakyat yang mabok dan teler politik, sehingga terbangun suasana di mana setiap individu warga negara dicetak menjadi binatang politik pendukung Pemilu-Pilpres yang sangat tidak mencerminkan sedikitpun hadir sebagai pengemban amanah cita-cita Indonesia merdeka.
Bayangkan saja, apa tidak miris menatap realita bahwa siapa pun yang bakal menang dalam Pemilu-Pilpres kali ini, bangsa ini dijuruskan untuk terperosok dalam kekalahan yang substantial. Tidak ada kemenangan yang bakal diraih bangsa ini lewat Pemilu-Pilpres yang sangat destruktif. Salah satu alasan kuat yang melatarbelakangi kesimpulan saya ini adalah ingatan saya kepada pesan para pendiri Republik, para Bapak Bangsa. Salah satunya adalah pesan bahwa kekuatan bangsa Indonesia terletak pada persatuan dan kesatuan rakyat dalam barisan rakyat sadar yang bersatu menyelesaikan cita-cita revolusi Indonesia secara bergotongroyong dalam semangat kekeluargaan yang dinamis dan revolusioner. Ditambah bahwa bangsa Indonesia harus dibangun lewat natur dan kultur bangsanya sendiri. Hal ini yang dilenyapkan dalam desain politik Pemilu-Pilpres kali ini. Yah, beginilah ketika demokrasi hyper liberal dijadikan pilihan!
Itulah sebabnya mengapa Pemilu-Pilpres kali ini menjadi sangat jauh dari harapan, jauh panggang dari api. Pembodohan lewat gelaran Pemilu yang Panjang, bertele-tele dan miskin mutu ini, sudah secara nyata membuahkan hasil divmana rakyat terbelah menjadi dua kelompok yang saling berhadapan, saling hujat, dan saling membenci. Pada sisi lain setelah emosi dan pikiran rakyat terkuras untuk hal-hal yang tak bermutu, pada hari H rakyat disodorkan pada sebuah kerja rasa dan pikiran untuk memilih. Tidak tanggung-tanggung, ketika mereka berada di Tempat Pemungutan Suara, mereka dihadapkan pada lima lembar kertas untuk memilih para calon dari mulai Presiden, DPR, DPD, DPRD I, dan DPRD II. Sungguh luar biasa mirisnya!
Bisa dibayangkan bagaimana pemerkosaan terhadap rasa dan pikiran bisa dibiarkan terjadi seperti ini. Seorang profesor sekali pun, terlebih yang sudah berumur, sangat rawan melakukan kekeliruan. Bisa dibayangkan bagaimana rakyat yang SD atau SMP pun tak lulus dan sehari-hari berada dalam lingkaran tak biasa memilih karena menjual tenaga kasar adalah pilihan satu-satunya, mereka dihadapkan pada kerja untuk memilih yang sulit mereka fahami. Dan celakanya, antara pilihan yang dijatuhkan oleh sang profesor dan seorang pengangguran yang buta huruf, nilainya sama…one man one vote! Bisa dibayangkan bagaimana runyamnya hasil (mutu) yang bakal muncul.
Lebarnya gap antara pilihan sang profesor dan sang pengangguran ini, mengundang terbukanya celah yang lebar menganga di mana money politic bisa berperan memainkan fungsinya sebagai pembeli suara. Sehingga kejahatan dan kecurangan pemilu ini bukan dihadirkan oleh keinginan dan mentalitas rakyat kita, tapi justru secara sistemik dirancang untuk memungkinkan terjadinya berbagai kecurangan termasuk money politic. Sehingga tidak berlebihan bila saya simpulkan bahwa siapa pun perancang desain Pemilu-Pilpres yang tidak bermutu ini, adalah kumpulan politisi dan petinggi negara yang tak mengenal rakyatnya berikut tujuan Indonesia merdeka. Apalagi dengan dihadirkannya Presidential Threshold 20 persen, jelas membuktikan bahwa yang ada di dalam otak mereka hanya pemikiran bagaimana memenangkan diri, kelompok, dan partainya lewat pemilu yang telah melelang Kedaulatan Rakyat melalui kekuatan hegemoni partai-partai besar, yang menempatkan kepentingan mereka di atas kepentingan bangsa dan negara.
Dari pengamatan selama ini, dikhawatirkan bila tidak ada fihak ketiga yang tetap berpijak pada merah-putih dan bersiteguh tetap berada di atas relnya tujuan Indonesia merdeka; sebagaimana yang dipesankan oleh para Bapak Bangsa, kemunduran yang dilahirkan oleh terjadinya perpecahan, akan dialami bangsa ini. Untuk itulah, diharapkan gerakan akal sehat versi akal sehat yang minus manipulasi dan kepentingan yang lebih mewakili akal kotor, perlu dibangun. Tentu bukan sebagaimana gerakan akal sehat yang ditawarkan lewat acara di salah satu program teve yang ternyata hanya sebuah gerakan akal-akalan yang sama sekali tidak sehat!
Kunci dan caranya, lewat akal sehat ayo kembali memahami dan menghayati tujuan Indonesia merdeka; yang menempatkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, sebagaimana pidato Bung Karno, 1 Juni 1945!
*) Oleh Erros Djarot-dikutip sepenuhnya dari laman watyutink.com